Lelaki tua itu masih menggerakkan mulutnya. Sutinah memindahkan perhatian pada tiang-tiang stasiun, mengabsen bayangannya satu per satu.
Kabut melayang. Berputar. Mengusapi stasiun, bangku, manusianya. Lampu-lampu sepanjang atap stasiun hanyalah buram dan sayu. Sutinah masih dapat melihat kelopak mata si lelaki tua separuh mengatup menahan kantuk. Kepalanya terangguk-angguk. Dia tidak mengenakan topi atau penutup kepala dan untai-untai rambut putihnya menggeriap liar dalam serbuan angin.
Sutinah sudah terbiasa melek sampai lewat tengah malam. Nanti saja membaringkan tubuhnya, menjelang subuh. Setengah malam lebih suka ia selesaikan dalam merdeka kembara, dan stasiun ini adalah tujuan favoritnya. Kali ini matanya melirik ke arah keresek putih bermerek mal besar dalam genggaman temannya. Bergerak-gerak. Rupanya penghuni keresek tak kerasan di dalam. Sebentar diam, lalu bergerak-gerak.
"Aku tak yakin cucumu bakal turun dari kereta."
Lelaki tua itu kelihatan terganggu. Tapi matanya masih mengatup. "Kucing ini ingin segera menemukan majikan baru, cucuku,"
Sutinah menggeleng. "Buatku saja."
"Anak kucing ini?"
"Ya, kucing itu."
Si lelaki tua mengibaskan tangannya. Menggenggam lebih erat keresek putihnya. Mendekatkan ke dadanya. Menghentikan pembicaraan.
Sutinah merasa aliran hangat membersit di dadanya. Ngawur sekali, tiba-tiba dia menginginkan anak kucing itu.
Peluit kereta memekik dari sebelah utara dan bergaung memenuhi peron hingga ke sekitar tikungan jalur. Kedua orang ini bangkit seirama dari bangku, bergerak mendekati tepian peron. Sutinah membiarkan lelaki tua itu sedikit terpincang. Keresek putih mulai menyentak-nyentak di tangannya, tak tertahankan dan kemudian kepala si anak kucing mendorong bagian atas. Secepat itu pula si anak kucing menyembul dan melompat keluar dari keresek, selanjutnya mendarat pada jalur kereta.Â