Si lelaki tua mencoba mengejar, berusaha meraih binatang kecil itu hingga tubuhnya membungkuk, terhuyung-huyung. Sebelah kakinya tersangkut pada ujung peron. Kepayahan melepaskan diri. Sebaliknya, dia malah jatuh terguling ke atas jalur kereta tepat pada saat kereta mendadak muncul bagai kilat di tikungan stasiun. Lampu besarnya menyorot benderang menyilau menembus temaram malam.
Teror memenuhi mata si lelaki tua pada saat dia berbalik dan merentangkan kedua lengannya. Sutinah juga melambai-lambaikan tangan seperti ingin mengirimkan isyarat, tapi sudah terlambat -- tak ada gunanya; kereta telah tiba tepat di hadapan mereka, kemudian melewati mereka. Menghantam sangat kuat si lelaki tua.
Lantai peron terasa bergetar.
Teriakan Sutinah terbungkam oleh raungan roda-roda menggemuruh panjang besi bergesekan bergemerincing, bunyi rem ngilu beberapa menit mendengking, suara mendesis-desis di ujungnya. Sebelum segala suara itu berakhir, sebelum kereta benar-benar berhenti, Sutinah menjelma dari kepulan asap dan kabut. Dalam terguncang ia berusaha keras memanjat tangga, berseru-seru kepada kepala stasiun sambil berlari tergopoh ke arah kantor.
Paramedis dan seregu polisi muncul entah dari mana sekitar lima menit kemudian. Perempuan yang masih terperangah itu bernapas sengal menjawab serangkaian pertanyaan terstruktur dari seorang polisi di ujung bawah tangga. Tubuhnya menggigil, entah akibat udara malam atau karena sebab lain.Â
Di seberang, dilihatnya petugas lain membimbing seorang wanita muda dan seorang gadis kecil meniti tangga. Kedua orang itu menangis; sang wanita melingkarkan lengan ke tubuh si gadis kecil; kepala si gadis kecil umur 8 tahun itu terbenam dalam lembar-lembar mantel sang wanita, rupanya terisak-isak. Polisi berusaha menenangkan. Membawakan tas-tas besar. Mengarahkan mereka ke selasar di seberang kantor kepala stasiun yang lantainya basah embun, lanjut ke pintu depan yang mengarah gerbang lalu lurus ke jalan.
Beberapa menit kemeriahan di Stasiun Timur. Dalam remang orang-orang berlintasan ke segala arah. Bukan malam biasa.
Sutinah mengucek kelopak matanya, menggosok-gosok pipi, mengedikkan kepala, meniupkan napas kuat-kuat dan berusaha kembali ke kesadaran.
Malam beringsut lagi. Sutinah duduk sendirian pada salah satu bangku panjang stasiun. Terpaku. Kedua tangannya berlabuh pada pangkuan, memandang kosong pada suatu jarak yang dekat beberapa lama. Mobil-mobil polisi dan ambulans sudah lenyap; kereta terakhir melanjutkan perjalanan dan menghilang di tikungan meninggalkan jejak kabut yang terburai, memecah kemudian kembali bergulung; kepala stasiun sudah bersembunyi ke balik pintu ruangan di sebelah loket tiket.Â
Tempat ini kembali senyap. Ketika kelambu garis-garis pada jendela loket dibentangkan, Sutinah memaksakan dirinya berdiri pada kedua kakinya, menapaki lagi tangga-tangga meninggalkan peron.
Stasiun kini bisu, mati. Kabut lembab meninggalkan butiran keringat pada wajah Sutinah. Dia berjalan menuju tempat di mana dia tadi berdiri bersama si lelaki tua, memandangi tempat terakhir dia melihat orang itu. Menyesali bekas hantaman kereta pada tubuh si lelaki tua. Lelaki tua pecundang. Kemudian dia bergeser ke arah jalur kereta, meneliti seksama jajar rel-rel besi hitam panjang itu. Akhirnya ekor matanya menangkap si anak kucing tengah bergelung pada lantai semen peron. Rupanya binatang itu menemukan tumpukan hangat mewah abu sisa pembakaran sampah dekat ujung tangga.