Mata anak kucing itu nampak mengejut ketika melihat Sutinah. Gerak-gerak mengeong tanpa suara. Sutinah berjingkat patah-patah menuruni peron, mata si anak kucing terus siaga membuntuti setiap gelagatnya. Tak ada jejak keresek putih bertuliskan nama mal atau handuk kecil, Sutinah harus meraih anak kucing dengan kedua tangannya. Sangat hati-hati. Tak ada perlawanan dari binatang mungil itu. Mengangkatnya dengan lembut kemudian menutupinya dengan kain sarung dari lehernya sehingga hanya sebagian kepalanya yang menyembul. Kucing itu masih gemetar kedinginan. Sutinah mendorong kepala anak kucing ke dalam sarung, memberinya usapan sampai akhirnya ia mendengkur pelan.
Tak akan ada lagi kereta lewat malam ini. Tak ada alasan untuk tergesa. Direngkuhnya anak kucing lebih merapat. Mendekapnya ke dada, mencoba memindahkan hangat tubuhnya ke anak kucing itu, menghangatkan dirinya sendiri. Tak perlu waktu lama, perempuan itu sudah memanjat naik ke atas peron. Selasar. Kantor kepala stasiun. Pintu keluar. Parkir. Gerbang besar. Berjalan lebih cepat meninggalkan stasiun kereta.
Sutinah merasakan kegembiraan mengaliri tubuhnya. Tak akan ada lagi malam sepi.
Kabut menipis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H