"Dimas..."
Adikku sedang termenung diatas karang. Ia berjongkok bersandarkan pada tongkatnya. Pandangannya lurus ke seberang laut, yang ombaknya bagai bernapas maju mundur di bibir pantai. Janggutnya hitam panjang sampai ke dada. Lirih panggilanku nampaknya tak terdengar olehnya, tersapu angin laut.
"Dimas, aku baru saja kembali dari pertemuan. Ada yang perlu aku sampaikan padamu."
Kepalanya menengok lemah. Ia bahkan tidak mengarahkan bola matanya padaku. Lumpur butek dalam hatinya masih belum bisa ia sapu.
"Kangmas, mereka tak ingin aku terlibat sedari awal. Dalam rangka apa engkau sampaikan kabar dari pertemuan itu?"
"Duh, Dimas, jangan merengut seperti itu! Kau ini terlalu pendek sumbunya. Belum sempat kami jelaskan alasan, tiba-tiba naik pitammu."
"Cukup, Kangmas. Lidahmu pintar menari, lidahku kaku. Sampaikan saja apa yang seperlunya. Bukan hanya sumbuku yang pendek, liang telingaku ini juga."
Hah, sulit sudah kalau hatinya mengeras melebihi karang tempatnya berpijak. Apalagi dirinya selalu saja beralasan ada bara gaib menggelantung di lidahnya. Ya, ada benarnya juga. Sudah tak bisa bermanis mulut, panas pula pilihan kata-katanya.
"Kami sepakat mengajukan tiga alternatif, Dimas. Pembahasan kami panjang dan berbelit, hingga mampu tiba pada tiga alternatif itu. Jika kau terlibat dari awal, Dimas, maka beban kerjamu menjadi-jadi. Kami ringankan bebanmu, Dimas, dengan tak perlu ikut bahasan sedari awal. Kau sebagai pemimpin dan pembuka jalan, dipersilakan memilih salah satu. Satu pilihanmu itulah keputusan bersama yang akan kami jalankan."
"Dipersilakan? Maksudmu, diperintahkan?"
"Ya Tuhan Maha Esa, ampunilah aku dan adikku atas dosa keras kepala kami, Ya Tuhan...!!!"
Aku menciduk segenggam pasir, dan kusiramkan kearah adikku. Pasirnya terlalu halus, jadi hanya sedikit saja yang mendarat di kainnya. Namun, yang sedikit itu sanggup menyemburkan murkanya melalui ubun-ubun.
Ia menerjang, dan dengan sedikit gerakan menghindar, aku sambut tinjunya. Meleset dari sasaran, ia kait sikunya ke leherku. Dalam keadaan terjepit, pilihanku hanya bergulat dengannya. Beberapa kali kami bertukar tinju. Janggutnya yang hitam dan janggutku yang putih kini lengket dengan darah dari luka-luka kami. Anggota suku kami berdatangan, dan membentuk lingkaran sebagai pembatas gelanggang tempat kami baku hantam.
Aku paham adikku ini luar biasa besar tenaganya. Namun, ia pun harus mengakui bahwa teknik gulatku tiada banding. Dalam keadaan dirinya kupiting dari belakang, aku melihat inilah kesempatan menghentikan perkelahian.
 "Aku lepas kuncianku, tapi kau harus berhenti menghajarku! Jika tidak, kucekik kau sampai pingsan, Dimas!"
Dengan suara tercekat, ia membantahku, "Kau... sedikit... lagi... habis... tenaga... Kang!"
"Ya, tapi masih sanggup membuat paru-parumu kempis."
Akhirnya, ia menyerah. Aku hempaskan ia ke samping kananku. Sorot matanya tajam padaku, lalu ia tebarkan pada warga suku yang membuat lingkaran. Napasku dan dia pagi-sore, terengah dan berat. Peluh dan darah mengalir dari wajah kami. Ia lalu kembali menatapku tajam, lalu tangannya terulur.
"Lumayan, Kangmas, untuk kakek-kakek 85 tahun!"
Aku sambut jabat tangannya.
"100 tahun lagi berkelahi denganmu pun aku masih sanggup!"
Tawa kami berdua pecah, lalu diikuti oleh seluruh warga Israil yang mengelilingi kami. Seseorang diantara mereka mengambilkan tongkat yang ia lemparkan sebelum menerjangku. Tongkat yang juga ia lemparkan ke laut sebelum kami menyeberang kesini. Untung saja tadi tidak menjelma jadi Anaconda, seperti waktu itu.
"Wahai, Utusan Tuhan! Lihat itu!"
Semua warga Israil menoleh ke sumber suara. Lalu, serempak mengikuti arah acungan telunjuknya. Kami berdua bangkit, lalu menerobos kerumunan kearah pandang mereka.
"Lihat itu, ada yang berjalan dari dalam laut!"
Mataku seperti terhalang kabut sihir ahli santet istana Firaun. Dimas Musa disampingku juga tercekat.
Awal mulanya hanya sebahu, lalu naik sepinggang, lalu sepaha. Orang berjubah tentara Mesir ini mentas dari laut. Ia terbatuk-batuk, muncrat-muncrat air laut. Berhamburan orang Israil dibelakang kami, sebagian masuk tenda ambil senjata, sebagian tak keluar lagi. Meringkuk. Dengan hati gusar aku mengambil kuda-kuda, bersiap menghadang tentara Mesir ini.
"Kangmas Harun, kau tenang saja disampingku. Tenangkan juga Bani Israil yang lain. Ia sendirian, biar jadi urusanku. Jangan turut campur!"
Aku mengambil selangkah mundur. Kuda-kuda kujaga menghadap prajurit itu, dengan tangan terentang. Jago-jago Israil di belakang punggungku siap mengacungkan segala senjata di tangan mereka, tunggu perintah dari aku atau Dimas Musa.
Tentara Mesir itu berjalan terjuntai, tak berapa lama kemudian ambruk, bersandar pada lutut dan sikunya. Dimas Musa mendekat, dengan tongkat teracung pada prajurit itu.
"Hei, orang Mesir! Belum lama yang lalu, tongkat ini kuhentak ke laut, dan ia terbelah, dengan mukjizat Tuhan. Untuk batok kepalamu, cukup ayunan tanganku yang membuat tongkat ini membelahnya!"
Dimas Musa memang tak pandai bermanis mulut. Tapi, kalau urusan menantang gelut, bahkan di Mesir pun belum ada tandingnya.
Prajurit itu mengangkat tangan kanannya, bagaikan meminta ampun pada Dimas Musa.
"Ya Rasul! Kau tahu tongkatmu tak bisa kau pukulkan padaku, bukan?"
Pernyataan kurang ajar dari prajurit calon bangkai. Sudah jelas-jelas hidupnya nyaris punah, justru malah menantang Nabi Musa. Namun, sekali lagi aku harus tercekat.
Nabi Musa menurunkan tongkatnya. Ia tersenyum, sikap berdirinya menjadi tenang kembali.
"Ternyata kau, toh!"
Setelah beberapa kali batuk-batuk, prajurit Mesir itu berdiri dengan bersusah-payah. Nabi Musa mendekat padanya, dan memberi isyarat padaku untuk ikut bersamanya. Jago-jago Israil dibelakang kububarkan.
Setelah mendekat, aku baru menyadari. Nyaris tak mungkin manusia bisa selamat dari himpitan Laut Merah setelah 2 hari 2 malam, lalu berenang sampai ke Tanjung Sinai ini. Jika tanpa izin dari Allah, tak mungkin ia bertahan hidup.
"Salam sejahtera kepada utusan Allah! Ya Nabi Musa dan Nabi Harun."
Semakin jelas, tak mungkin prajurit sejati Mesir memanggil kami dengan julukan Nabi. Prajurit Mesir sejati menyembah rajanya. Orang ini mesti telik sandi Dimas Musa.
"Aku terima salammu, semoga Allah mengabulkan. Namun, kau tahu aku tak bisa membalas salammu. Jangan kau sakit hati, kawanku!"
Prajurit Mesir ini melambaikan tangannya pada kami, tanda ia tak perduli. Sombong benar manusia ini.
"Dimas," bisikku pada Nabi Musa, "orang ini siapa?"
"Baru saja Jibril berkabar kepadaku, Kangmas. Kau tidak dimampiri?"
Aku menggeleng halus. Nabi Musa semakin mendekatkan bibirnya pada telingaku. Keterangannya membuatku mereda.
"Iblis, Kangmas."
***
Tangannya kuborgol dengan rantai, terikat pada patok tepat persis disamping api unggun utama perkemahan kami. Patok sengaja kutaruh dekat sekali dengan nyala api, agar petugas patroli bisa melihat tahanan ini dari segala sudut. Saking dekatnya dengan api, bagian punggungnya sudah tak tertutup baju lagi. Kain seragam tentaranya hangus jadi abu, terbang dibawa angin. Manusia biasa pasti sudah melepuh, tapi dia tidak. Kupandangi dia dari pinggir pintu tendaku. Bani Israil yang lain tak berani mendekatinya, takut tertular wabah sungai Nil yang mungkin ia bawa kemari.
"Kangmas Harun..."
Adikku datang dari samping tenda, langsung bahuku dirangkulnya. Setelah kedatangan Iblis tadi, duabelas kepala suku bersepakat untuk mengangkat Musa sebagai presiden, primus inter pares, ketua dewan kepala suku. Entah karena rasa takut yang menjadi-jadi, atau rasa cemas akibat mendamba tanah air, atau sekedar logika akal yang menyebabkan mereka akhirnya bersatu. Ya, akhirnya!
Kemerdekaan yang datang tiba-tiba tidak membuat sikap otak Bani Israil menjadi bebas seketika. Kedatangan sewujud prajurit Mesir yang berhasil menyebrang ke timur sudah membuat ketar-ketir satu kampung. Padahal, perjalanan dengan kapal laut setidaknya butuh sehari semalam kesini. Mesir yang sudah nun jauh disana, masih memiliki cengkraman pada isi otak Bani Israil. Perkiraanku, butuh waktu berabad-abad lagi sampai orang-orang ini hidup nyaman di tanah Kanaan yang dijanjikan. Perangai mereka harus cocok dulu sebagai orang merdeka, baru Tuhan berikan wilayah mandiri untuk diurus. Sebelumnya, tidak.
"Wonten dawuh, kanjeng Rasul Allah?"
"Sampai kapan kita ringkus dia seperti itu, Kangmas?"
"Kanjeng Rasul minta saranku?"
"Ay, Kangmas. Lalu siapa lagi yang kumintai? Penunjukanku sebagai presiden kuterima dengan syarat kau yang jadi mahapatihku. Penunjukanmu sebagai perdana mentri Bani Israil adalah perwujudan makbulnya doaku pada Allah. Ayo, Kangmas Mahapatih, katakan padaku mau sampai kapan Iblis kau rantai seperti itu?"
"Rantai, api, dan borgolnya tidak menyakiti Iblis sama sekali, Dimas. Dalam bentuk manusia, ia juga sepertinya tak merasakan lapar. Atau mungkin, berdekatan dengan api begitu justru malah mengenyangkannya. Biar saja dia disana sampai ada keputusan lain dari Allah atau kita tentukan lain waktu."
Rangkulan Nabi Musa semakin erat di bahuku. Kupandangi lagi adikku yang kucintai ini, dengan bantuan temaram sinar bulan dan tambahan semburat api unggun. Wajahnya jauh lebih tua dari usianya. Memang benar aku dibesarkan dalam keadaan prihatin, tak sepertinya yang tumbuh di istana. Namun, perjalanan hidup melanglang buana ternyata membebani punggungnya lebih berat lagi. Belum lagi tuduhan-tuduhan pembunuhan, nyawa bangsa sendiri yang berkorban demi melindungi dirinya dan pergerakan kemerdekaan, maupun rongrongan cengeng dari pemuka Bani Israil.
"Aku tidak sebaik hati engkau, Mahapatih. Yang kupikirkan keadaan masyarakat kita."
Dahiku mengernyit. Aku belum paham maksud Kanjeng Nabi Musa barusan.
"Begini, Kangmas. Yang kita rantai itu Iblis. Kau tahu sendiri masyarakat kita baru saja kita kenalkan dan dekatkan lagi pada Tuhan Yang Maha Esa. Sebelum wahyu turun, yang mereka tahu hanya menyembah dewa Firaun dan hal-hal klenik."
Kepalanya ia miringkan, berharap ada reaksi dariku.
"Maksud Kanjeng Nabi, keberadaan Iblis disini bisa mengganggu iman mereka? Iman yang baru saja kita ajarkan ulang pada Bani Israil?"
"Kira-kira begitu, Kangmas. Jika bukan melemah imannya, aku takut keberadaan Iblis dianggap pertanda buruk bagi jalannya pengungsian kita ke Kanaan. Karena, terbukti himpitan laut merah tak mempan terhadap prajurit Mesir satu ini."
"Dia bukan prajurit Mesir, Ya Rasul."
"Tidak begitu yang dilihat oleh mereka yang imannya masih tipis, Kangmas Patih. Beberapa orang menganggap dia adalah prajurit sakti yang mengaku-ngaku Iblis."
Otakku berpikir keras. Jika Nabi Musa mendapat bisik dari Jibril bahwa orang itu adalah Iblis, maka dia adalah Iblis. Jibril tak dibekali oleh Allah SWT kemampuan untuk berdusta. Memang Bani Israil saja yang otaknya bengal. Tapi, ada benarnya juga kekhawatiran adikku ini tentang umat yang imannya masih lemah.
"Kanjeng Nabi, usulku kalau boleh, lebih baik kita bincangkan dengan Iblis. Keberadaannya semata saja sudah menjadi godaan bagi umat-Nya. Apalagi kalau kita biarkan dia berlama-lama diantara kita. Semakin cepat kita tahu apa maksud dirinya kesini, semakin baik untuk pertimbangan kita memutuskan nasibnya kedepan."
Malam semakin gelap. Cahaya bulan dan semburat api unggun masih berjaya, hanya penerangan kemah-kemah yang berkurang. Usulku diterima Kanjeng Nabi, kami berjalan kearah Iblis untuk interogasi. Kami putuskan untuk dilakukan sekarang karena sedang sepi-sepinya. Setelah kami tiba ditempat Iblis mendekam, kepala regu patroli kusuruh menyingkir sebentar, agar isi pembicaraan ini tak jadi desas-desus di masyarakat.
"Hei, Iblis." Dimas Musa memanggil. "Tak perlu bermain peran lagi. Lepaskan dirimu dari rantai lemah itu!"
Terdengar bunyi denting kecil, lalu tangan Iblis bergerak sekedarnya menikmati kebebasan. Rantai yang pecah jatuh begitu saja didekat patok. Iblis berdiri tegak memungguni nyala api dibelakangnya. Siluet hitam kekar tinggi berada di hadapan kami. Ia mematung ditempatnya berdiri.
"Sujud kau dihadapanku!"
Pandanganku beralih pada Adimas Musa. Entah apa yang membuatnya menjatuhkan perintah begitu pada Iblis.
"Sujud kau, atau kupecahkan kepalamu saat ini juga!" Tongkat sakti beliau siap diayunkan. Meskipun Iblis lebih tinggi dari Nabi Musa, tapi kepala Iblis sudah dalam jangkau ayunan bonggol tongkat.
"Ya Nabiyullah," Iblis angkat suara, "maaf jika aku kurang santun padamu. Namun, coba kau pikirkan kembali 2 hal ini. Pertama, Allah sudah menjamin usiaku dipanjangkan hingga kiamat nanti. Dan, kau tahu sendiri, Sang Penutup para Nabi belum turun di bumi. Jadi, kau tak bisa sembarang mengubah takdirku, meskipun derajatmu jauuuuh diatasku."
Bunyi bara api meletik seperti bersemangat menyambut kalimat-kalimat Iblis.
"Kedua, jangankan kepadamu atas perintahmu, kepada moyangmu atas perintah Allah saja kutawar! Mau taruh dimana mukaku jika kuturuti perintahmu, Ya Nabi..."
"Bagus," Kanjeng Nabi Musa menurunkan tongkatnya, "Aku hanya ingin mengetahui isi kepalamu sebelum aku lanjutkan perbincangan. Kau masih tetap Iblis yang sama dengan yang dahulu berhadapan dengan Eyang Kakung Adam dan Eyang Putri Hawa." Sekilas beliau melirik padaku, "Kangmas Nabi Harun punya pertanyaan untukmu, Iblis."
Beliau mundur selangkah. Itu artinya, perintah telah turun untuk memulai pembicaraan pada makhluk Allah yang istimewa ini.
"Hai Iblis. Apa yang kau lakukan di tengah-tengah kaum kami? Dan, mengapa pula kau mewujud dalam tulang dan daging manusia begini?"
Iblis tersenyum sebentar, lalu wajahnya diturunkan menghadap tanah.
"Aku menanti-nanti tibanya waktu berbincang dengan Baginda Nabi Harun sang orator ulung. Namamu tersebar luas di kalangan pejabat tinggi Luxor. Mereka sudah menimbang-nimbang untuk mengangkat anggota dewan dari kalangan budak Yahudi, dan dirimulah yang mereka calonkan. Namun, keburu datang wabah. Keburu jadi bangkai senator-senator itu."
Lagi-lagi, api dibelakang Iblis menari ceria mengiringi kalimatnya.
"Kau belum jawab pertanyaanku, Iblis. Tak usah kau putar-putar, hari semakin malam."
Wajahnya masih menghadap ketanah. Entah mengapa sepertinya ia tak kuat memandangi mata manusia berlama-lama.
"Baginda pikir, aku disini untuk Bani Israil?"
"Kau punya ribuan alasan untuk menggoda kaumku. Kau tak ingin Bani Israil tiba di Kanaan, dengan cara menggoda iman mereka agar terpecah belah. Begitu yang dulu kau lakukan kepada Eyang Kakung, begitu pula yang kau lakukan pada kami para cucunya."
"Mohon maaf, Baginda Nabi. Jika Paduka sudah yakin dengan jawaban tersebut, maka Iblis yang laknat ini tak perlu lagi memberi penjelasan."
"Kau tidak membantah tuduhanku, Iblis?"
"Apakah aku diijinkan memberi penjelasan, Baginda Nabi?"
Iblis memang berbakat untuk mendorong manusia sampai tepi batas emosinya. Aku ambil centong kecil berisi air, lalu aku rapalkan doa-doa agar masuk energi suci kedalamnya. Lalu, tanpa buang waktu aku siramkan air itu ke kaki Iblis. Sebagian kena tanah, namun sebagian lagi kena ke kulitnya, mendesis menguap. Nampak Iblis menahan sakit.
"Kau kuberi ijin menjawab pertanyaanku, Iblis. Bukan untuk berputar-putar menguji kesabaranku. Lugas saja! Kalau tidak, kuceburkan badanmu ke gentong air disana itu! Paham kau?"
"Paham, Ya Nabi. Mohon maaf." Berkeringat. Iblis yang terbuat dari api bisa berkeringat badan wadagnya. Sebegitu kuatnya dampak doa terhadap Iblis.
"Begini, Baginda Nabi. Ketibaan hamba disini sesungguhnya diluar rencana. Tidak ada maksud sedikit pun untuk menyelusup, apalagi menggoda-goda Bani Israil. Jujur saja, Baginda, hamba tidak perlu beralih wujud begini untuk menggoda kaum Israil. Hamba yakin tubuh gaib saja cukup. Apalagi, perjalanan eksodus ke Kanaan masih jauh. Tubuh daging ini jelas mudah sekali lelah, mudah sakit dan ringkih."
Kanjeng Rasul Musa berjalan menjauh, lalu mengambil dua batang kayu berupa bangku, untuk dirinya dan aku. Setelah ia taruh bangku itu didekatku, maka kami berdua duduk. Iblis tetap berdiri ditempatnya, namun dari tempat kami duduk wajahnya nampak sedikit lebih jelas.
Wajahnya menyebalkan bukan main.
"Mengapa hamba berseragam tentara Mesir? Karena, memang disitulah misi hamba, Baginda."
Badik kecil di pinggang kucabut. Aku terjang leher Iblis, hingga tercekik dan keluar lidahnya.
"Mesir itu teritori dakwah kami, Allah yang turunkan kami berdua disana. Bohong kau jika mengaku dikirim Allah untuk menggoda kami di Mesir!"
Iblis tersenyum, lalu diangkat bahunya. Aku tak tahan lagi, kutebas saja lidahnya. Iblis menjerit tertahan, lidahnya jatuh didekat kakiku. Kulepas cekikan, kuhempas lehernya kearah api unggun, lalu kutendang lidahnya kedalam nyala api.
Melihat keributan ini, para penjaga pada bersiap, tapi Kanjeng Nabi Musa menyuruh mereka kembali menjauh. Urusanku dengan Iblis tak boleh diganggu.
Iblis terbatuk-batuk, lalu bangkit lagi. Sekarang ia duduk bersimpuh dihadapan kami berdua. Aku duduk kembali disamping Kanjeng Nabi Musa.
"Kangmas Mahapatih, kalau dipotong lidahnya, bagaimana mau berbincang?"
"Tenang, Adimas. Beri api waktu."
Tak berapa lama kemudian, Iblis kembali mengangkat wajahnya.
"Sakit, Iblis?" Kanjeng Nabi Musa menanti jawaban.
"Tidak, Baginda Nabi. Hanya terasa dingin menusuk. Terima kasih pada Baginda Nabi Harun sudah melempar lidah hamba ke api."
"Itu peringatan terakhir, Iblis." Aku angkat bicara, "Yang berikutnya gentong air."
"Mohon maaf, Baginda. Hamba bukan diutus Allah ke Mesir, tapi inisiatif sendiri. Dan hamba bersumpah demi Dia Yang Memanjangkan Umur, tak pernah sekalipun hamba menyelusup ke kampung budak Yahudi. Jibril sering seliweran disana, Baginda. Hamba pasti ketahuan."
"Inisiatif? Ada urusan apa kau di Mesir?"
"Ramoses, Baginda. Target hamba Firaun Ramoses II. Hamba masuk dalam jajaran Cakrabirawa, Paspamfir, bodyguard ring 1 istana. Dengan kelebihan yang Allah berikan, mudah saja hamba direkrut langsung oleh Senapati Ing Alaga Mesir."
"Haman?"
"Betul, Baginda. Aku selama ini tinggal di istana Kasenopaten. Menebarkan benih-benih ketololan disana."
Badik kusarungkan lagi, dari tadi kumain-mainkan di tangan kananku. Aku perbaiki dudukku agar nyaman.
"Ceritakan semua, yang lengkap!"
"Sendika, Kanjeng Nabi." Iblis menarik napas panjang, hal yang tak perlu dilakukannya. Dramatisir. "Kita semua tentu ingat betapa takutnya Ramoses atas kedatangan anak ajaib, prodigy, wonder boy, yang akan menggoyang tahta. Bisikan politik lah yang membuatnya jatuh pada putusan menghabisi putra-putra Yahudi yang baru lahir. Padahal, yang menggoyang tahta Ramoses ya lingkaran terdekatnya sendiri. Ramoses berpikir dia berdiri diatas istana berlian, megah kokoh tanpa tanding. Padahal, istananya hanya ditopang oleh bambu diatas tanah lumpur hisap."
Bambu? Lumpur hisap? Bicara apa Iblis ini...
"Istana Ramoses itu pekat sekali kabut intriknya, Baginda. Hamba hanya perlu memastikan kabut itu siap disulut kapanpun."
"Disulut olehku?" Kanjeng Nabi Musa urun rembuk.
"Sebegitu pekatnya kabut intrik kubuat, hingga jangankan engkau sang Nabiyullah, hanya sekedar petualang politik kemarin sore saja bisa menyulut kegegeran tiang istana."
"Coba jelaskan kabut pekat yang kau maksud!"
"Sendika, Kanjeng Nabi. Paranoia Ramoses membelah bangsawan Mesir di Luxor menjadi beberapa faksi. Yang paling kuat tentu faksi Haman. Tapi, tidak mayoritas, hanya seperempat. Sisanya, jijik dengan kelakuan Ramoses yang membunuhi bayi-bayi. Jika bayi yang jelas-jelas tak berdaya dan tak berdosa saja dengan tega bisa ia habisi, apalagi para bangsawan licik berlendir itu. Hamba tak terlibat dalam pembuatan keputusan itu. Tapi, hamba tahu jelas alasan kenapa bayi budak Yahudi yang diincar. Meminimalisir kegemparan. Penduduk kelas menengah atas di Luxor tentu boleh bernapas lega setelah tahu bahwa yang dibunuh hanya bayi merah laki-laki dari kalangan budak. Dengan begitu, paranoia Ramoses tetap terpuaskan oleh Haman, dan kondisi sosial masyarakat pribumi Luxor tak terganggu. Secara politik jangka pendek, Haman menang banyak."
Terlihat sekali Kanjeng Nabi Musa bergidik mendengar keterangan Iblis. Tentu saja, aku masih ingat betapa Mbakyu Miriam menangis menahan Ibunda Yukabad agar Dimas Musa yang masih merah tidak dimasukkan ke panci air mendidih. Dan betapa, kejadian yang sangat mengerikan itu hanya sekedar permainan kekuasaan segelintir orang diatas singgasana belaka.
"Namun, justru disitulah ayat Allah muncul, betapa lemahnya kehendak manusia. Jika Allah berkehendak, Firaun Ramoses II sebagai manusia terkuat sejagat pun tak berarti sebiji jagung. Secara politik jangka panjang, Ramoses dan Haman tidak memperhitungkan skenario sang pembalas dendam."
Tiga kata terakhir ia tekankan sambil jempolnya menunjuk Dimas Musa.
"The Avenger..."
"Teruskan, Iblis. Jangan ngelantur!"
"Secara jangka panjang, keputusan keji Firaun dan Ramoses justru jadi pintu masuk hancurnya kekuasaan istana Mesir. Kini, dengan morat-maritnya perekonomian dan sosial kemasyarakatan akibat wabah yang baru saja, serta lenyapnya semua punggawa ring 1 istana ditelan Laut Merah, maka Mesir jadi ajang perebutan kekuasaan. Free for all. Secara jangka panjang, mereka sudah kalah sedari dulu."
"Kau bahkan belum memulai cerita misimu, Iblis."
"Oh baik, tentu saja, Paduka Nabi Harun. Kekejian dan jebakan rasa aman itulah yang jadi jalan masuk hamba untuk merusak tatanan kekuasaan Firaun. Cekcok batin antara para bangsawan, napsu kekuasaan untuk mendapatkan proyek, saling merendahkan sesama manusia, hilangnya kepercayaan antara rakyat dengan pemerintahan, adalah resep paling jitu untuk menghancurkan sebuah peradaban."
"Ya, betul itu apa adanya." Kanjeng Nabi Musa memotong bicara, "masa remaja dan mudaku dikelilingi oleh pemakan daging bangkai. Saling sikut saling tusuk itu sudah biasa. Aku yang masih muda perjaka saja sudah ditarik-tarik sana-sini. Makanya, aku tak tahan. Alhamdulillah Tuhan memberiku perut yang lemah akan kelicikan. Setiap perutku mual melihat kelakuan bangsawan Mesir, aku pasti kabur keluar istana. Main ke pasar malah sampai ke kampung Yahudi."
Beliau mengenang. Mungkin teringat peristiwa Mbakyu Miriam membocorkan asal-usul Kanjeng Nabi saat tak sengaja ketemu di gang. Atau mungkin, mengingat betapa ia menjadi target kecurigaan Firaun karena semakin dewasa semakin tidak mirip orang Mesir. Dan semakin dewasa, semakin sering membela orang tertindas, yang kebetulan mayoritas etnis Yahudi. Padahal, kemurnian nurani beliau lah yang membawanya pada sikap tersebut.
"Hijrahnya Baginda Nabi Musa dari Luxor ke Midian pun berkah dari Allah agar jiwa kepemimpinan Baginda tumbuh di kalangan masyarakat petani egaliter. Namun, Kanjeng Nabi Harun tentu masih ingat betapa bobroknya moral bangsa Mesir sepeninggal Nabi Musa. Timbangan tak ada yang tera. Proyek negara semua dikemplangi. Hakim jaksa main mata dengan penjahat. Jangankan kaum Yahudi, Iblis saja bisa membayangkan betapa tersiksanya kaum budak ditengah-tengah masyarakat idiot begitu. Masyarakat Jahiliyah."
Giliran memoriku yang kembali terulang. Di masa hijrahnya Dimas Musa ke Midian, Luxor menjadi kuali panas. Momen yang kumanfaatkan untuk memperkuat tali persaudaraan diantara Bani Israil. Disaat pribumi Mesir gila-gilaan dalam kebatilan, aku dan beberapa saudara dakwahku membangun akhlak. Saling percaya, saling peduli, saling bantu, saling sayang. Meskipun masih ada kerak perpecahan, sekuat tenaga aku memberi motivasi dan alasan agar mereka mempunyai rasa persatuan. Sekembalinya Kanjeng Nabi pada kami, rakyat Bani Israil sudah hamil tua, siap merdeka dari cengkraman kebatilan Mesir.
"Hamba hanya bisa melihat dari jauh saat Jibril seliwar-seliwer naik turun ke perkampungan Yahudi. Kala itu hamba membatin, 'Dibawah situ orang-orang baik sedang bekerja, biar diatas sini sang penjahat menghancurkan kebiadaban.' Berita baik dan peringatan yang para Baginda berikan kala berdakwah di Balairung Istana Luxor, sudah pasti takkan masuk kuping para pembesar. Hamba sudah pastikan otak orang-orang Istana sibuk menggembungkan perut sendiri. Permintaan dakwah Nabi Musa dan Harun kala itu pun sebetulnya tak lebih dari panggung politik faksi yang ingin melemahkan posisi Haman. Gembar-gembor mereka adalah, kaum budak belian Yahudi punya pemimpin yang padu: Putra-putra Imran. Yang sulung orator ulung, yang bungsu pemimpin berkarakter. Dengan menggandeng dua orang itu, kamtibmas kaum Yahudi lebih terjamin. Solusi ini diharapkan makin mendekatkan faksi kontra-Haman kepada Firaun Ramoses. Namun, Haman bukan anak kemarin sore. Bisikan hamba semakin membuat hatinya terbakar. Baginda berdua masih ingat apa yang terjadi, bukan? Tengkuk hamba masih bergidik menyaksikan tongkat Baginda Musa berubah jadi ular naga."
Allahu akbar. Masyaallah. Alhamdulillah. Tak habis-habis aku berzikir mengenang kejadian tersebut. Mengerikan ular itu.
"Ah, pantas saja. Sampai barusan ini terkadang aku masih bingung bagaimana bodohnya orang-orang Istana Firaun itu. Jelas-jelas mukjizat Allah sudah turun kehadapan mereka, kenapa mereka masih ingkar juga? Sudah habis ular para penyihir itu dibantai Anaconda, masih juga tak mendengar dakwah kami. Ternyata, itu hasil kerjamu, Iblis?"
Kanjeng Nabi Musa tersenyum sumringah. Tak terbersit rasa ngeri sedikitpun di matanya kala mengenang peristiwa itu. Mungkin, bagi beliau, peristiwa itu merupakan hiburan. Hatiku tak sekuat hati beliau.
"Tidak, Baginda Yang Mulia. Sejujurnya hamba juga terkejut saat mengetahui reaksi Ramoses. Bisa-bisanya gengsi dan kesombongan menghancurkan nalar dan nurani. Hamba sempat khawatir, mukjizat itu akan serta merta menghapus intrik politik di Istana, sehingga menyebabkan jerih payah hamba selama itu sia-sia. Ternyata, mereka Jahiliyah sejati. Allah yang memberi petunjuk pada mereka yang dikehendaki-Nya, dan Ramoses serta Haman tak masuk dalam daftar."
Kepala patroli mendatangi kami dengan dua piring untuk kami masing-masing; sepotong roti gandum, minyak samin, dan segelas air. Kami lupa malam ini belum makan, dan sepertinya istri-istri kami dari dalam kemah yang mengutus kepala patroli.
"Makan, Iblis?"
"Tak perlu, Baginda Nabi Harun. Hamba sudah kenyang minum air laut 2 hari 2 malam."
Kami bertiga terkekeh. Kepala patroli sudah kembali menjauh. Lalu, Iblis melanjutkan.
"Aku masih ingat malam hari ketika Jibril turun ke kampung budak, dan baru kembali naik malam esoknya. Jika boleh kutebak, Jibril memberikan kabar datangnya bencana dan wabah, untuk membuka jalan eksodus bagi Bani Israil, betul Baginda?"
Sambil mengunyah roti gandum, Kanjeng Nabi Musa mengangguk membenarkan.
"Nah, berarti taruhan hamba tepat. Tak mungkin Jibril berlama-lama jika hanya memberi kabar ringan. Pasti akan ada peristiwa besar yang datang. Jadi, hamba kompori semua petinggi istana untuk menumpuk bahan makanan dan kebutuhan hidup di gudang mereka, agar begitu tiba masa paceklik, mereka bisa mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari persediaan mereka. Perlahan tapi pasti, dalam jangka waktu menengah, ketimpangan persediaan mulai terlihat. Mereka yang punya modal kuat, berhasil menumpuk hingga penuh gudangnya. Kalau boleh hamba peringatkan, Baginda Nabi, anggota kaum Israil yang punya bakat seperti itu adalah Qarun."
Aku dan Kanjeng Nabi Musa saling pandang. Demikian pula yang kami tandai dari orang yang disebut namanya oleh Iblis. Spekulan koin emas dan gandum itu beberapa kali nampak sifat tamaknya, meskipun lebih sering berbagi sedekah untuk tetangganya.
"Tapi, saking besarnya nikmat Allah untuk bangsa Mesir melalui sungai Nil, suplai dan harga di pasar bisa tetap terpenuhi tanpa mengganggu kestabilan. Sehingga, tak ada yang curiga atau muncul desas-desus tentang segelintir orang yang menumpuk persediaan."
"Hingga akhirnya meletuslah gunung di barat laut sana, diseberang Laut Tengah. Abunya menutupi sinar surya hingga tanaman tak bisa tumbuh. Banyaknya bangkai tanaman dan hewan besar yang hanyut menyebabkan suburnya bibit penyakit dan hama. Belalang dan katak kehilangan predator alaminya."
Iblis tiba-tiba tertawa cekikikan sendiri.
"Itu peristiwa menyeramkan, Iblis. Sadis sekali kau, bahagia diatas penderitaan orang lain."
"Tidak, Baginda Nabi, hamba tidak mentertawakan mereka yang menderita. Hamba tertawakan orang bermodal gemuk, yang menumpuk persediaan. Mereka mati busuk kena wabah, lalu keluarganya tak bisa menikmati makanan karena diserbu belalang. Yang tadinya berharap untung banyak, malah melarat miskin papa jadi gelandangan tujuh turunan."
Semakin deras tawa Iblis. Aku tak sampai hati mengikuti tawanya, dan dalam hati aku minta perlindungan dari Allah agar Bani Israil tidak mengalami kejadian serupa.
"Selain menertawakan orang bodoh dan naas itu, hamba juga menertawakan keberuntungan hamba setelah bertaruh dengan tepat. Pagebluk yang datang ternyata bukan paceklik, namun wabah! Istana tidak hanya geger, namun juga terkelupas-kelupas hingga keropos. Ramoses baru sadar kalau tempatnya berpijak selama ini ternyata mudah goyah. Tak hanya bertumbangan satu persatu, tapi yang tersisa juga sibuk menyelamatkan berok masing-masing. Ada yang kabur ke hulu, kabur ke hilir, kabur ke seberang, hingga tersisa hanya penjilat penuh napsu disekeliling Firaun Ramoses. Jika napsu sudah berkuasa, maka nalar tak terpakai. Dengan bodohnya mereka tuduh kaum Yahudi sebagai penyebab. Padahal, bahan makanan orang Yahudi berbeda dengan yang mereka makan. Itulah alasan mengapa wabah penyakit tak masuk ke perkampungan Bani Israil."
Memang Jibril sudah memberi kabar petunjuk dari Allah untuk tidak memakan bahan mentah dan memasak semuanya dengan air mendidih atau minyak panas. Sementara, warga pribumi Mesir senang sekali makan manisan, asinan, asapan, dan kacang-kacangan yang tak perlu dimasak. Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.
"Lalu, saat hamba mendapatkan kabar kampung Yahudi sudah kosong, hamba sempat berpikir bahwa Mesir akan mendapatkan bencana yang jauh lebih besar lagi. Kedua utusan Allah sudah tak ada lagi di negeri ini, maka perkiraan hamba akan segera tiba azab yang sesungguhnya. Bencana wabah dan hama kemarin mungkin hanya pemanasan saja. Nah, seperti yang Baginda berdua tahu, bukannya diam ditempat dan memperbaiki keadaan, Ramoses sudah tak menggunakan lagi kelenjar diantara kedua kupingnya. Otaknya sudah rusak parah. Haman memberikan bisikan yang hamba pun tak terpikirkan; mengejar rombongan pengungsian untuk dibantai sebagai tumbal kepada Dewa Nil. Rombongan ini dianggap sebagai sumber malapetaka. Demi memuaskan napsu mereka, istana dibiarkan suwung. Goblok betul memang, hamba saja heran. Berapa pun uang yang tersisa di bendahara istana, dikosongkan demi mengejar Bani Israil kesini. Semua Cakrabirawa dibawa, tak disisakan sebiji pun di Luxor. Banyak diantara kami yang sudah berkeluh kesah, karena mereka meninggalkan keluarga saat pagebluk. Tapi, gelap mata Firaun sudah tak menghiraukan lagi kesejahteraan balatentaranya. Semua harus siap dikorbankan demi ambisinya."
Piring kami letakkan di tanah, isinya sudah habis. Tinggal gelas air yang masih kami sesap isinya. Iblis kelihatannya makin semangat bercerita. Malam sudah setengah jalan.
"Persis seperti kejadian Anaconda itu, Baginda Nabi. Didepan mukjizat Laut Merah yang terbelah pun, Ramoses tak juga kembali pada akal sehatnya."
"Dahulu beliau bijak, aku masih tak habis pikir mengapa beliau ikut menyusul. Cukup saja ia suruh tentaranya yang menyeberang, beliau tinggal tunggu hasil di tepi pantai."
Ada nada penyesalan dalam kalimat Kanjeng Nabi Musa. Aku mencoba memahami, betapa dulu Firaun Ramoses sedikit banyak berjasa mendidik dan membesarkan Dimas Musa. Aura seorang raja mungkin menular pada diri Nabi Musa, sehingga Kanjeng Nabi pun punya wibawa yang agung.
"Sebetulnya, Baginda Nabi Musa, Firaun dalam hati kecilnya sudah memutuskan untuk kembali ke Luxor. Di mulut teluk Suez itu ia sempat meragu, apakah akan diteruskan atau tidak. Sebagai seorang raja, Ramoses mempertaruhkan segalanya dalam penyeberangan itu."
"Beliau tak mau pulang tangan kosong?" Kanjeng Nabi Musa sepertinya masih terganjal mengapa bapak angkatnya itu bertindak konyol sekali.
"Betul, Baginda. Haman yang meyakinkan Ramoses. Jika pulang tangan kosong, rakyat Mesir dan bangsawan akan kehilangan kepercayaan pada dirinya. Begitu lah ilusi yang dibangun Haman. Akhirnya, Ramoses memutuskan untuk mengejar. Hamba sudah memberikan usul agar, jika dipaksa mengejar, jangan melalui jalur laut terbelah, karena sudah jelas itu diberikan Allah untuk Bani Israil semata menyeberang. Hamba ingatkan lagi betapa tongkat Baginda Nabi bisa berubah menjadi ular raksasa dan tim Firaun tak berhasil mengalahkan mereka."
"Bohong kau, Iblis! Bukannya justru kau yang mengojok-ojok Firaun agar masuk jebakan?"
"Demi Allah hamba bersumpah, Kanjeng Nabi Harun. Hamba mengusulkan agar pengejaran dilakukan saja melewati tanah genting Suez di utara, lalu menghadang di jalur Sinai-Kanaan. Rombongan ini berjalan kaki, sementara balatentara Firaun semua menunggang kuda atau kereta. Jarak seminggu perjalanan Bani Israil dari Luxor ke tepian Laut Merah saja bisa kami tempuh dalam 2 hari. Sungguh tak sulit menghadang perjalanan rombongan ini ke Kanaan."
Aku baru tersadar, ternyata tanpa perlindungan dari Allah, jauh sekali perjalanan kami ini dari kata aman. Aku sampai berandai-andai, bagaimana jika Firaun mengirimkan surat resmi pada negeri Jiran di Mesopotamia sana. Lalu, belum sempat kami tiba di Kanaan, sudah diringkus sebagai tahanan budak yang kabur, dan dikembalikan ke Mesir untuk dihukum mati. Habislah sudah nasib Bani Israil.
"Namun, ternyata bibit yang hamba sebar bertahun-tahun lamanya terbayar lunas kemarin ini. Haman sendiri yang menaruh curiga pada hamba. Haman, yang berkali-kali hamba berikan masukan cemerlang, yang ratusan saran hamba ia kerjakan lalu berhasil gemilang. Ia sendiri yang tak terima ditikung oleh anak buahnya dari belakang. Itu, Baginda, hanya sekedar itu. Tak penting baginya apakah patut dipertimbangkan masukan hamba. Baginya, hamba adalah anak buah lancang yang mencoba menyerobot kekuasaan Haman sebagai Senapati Ing Alaga."
Ekspresi ceria Iblis muncul lagi seperti tadi saat berbicara bangsawan melarat.
"Haman ngotot agar balatentara Mesir ikut menyeberang jalur laut. Si bodoh itu meyakinkan Ramoses bahwa seorang Firaun tak boleh takut dengan ilmu-ilmu sihir kacangan. Menghindari lautan terbelah dan memutar jalan ke utara bisa dianggap pertanda kelemahan. Jika Firaun saja takut dengan sihir Musa, mana ada lagi ahli sihir yang akan mengabdi di istana Luxor. Mesir harus kembali berjaya dibawah Firaun yang kuat, harus bangkit dari pagebluk sebagai pemenang. Dan, hasilnya seperti kita semua tahu. Daging dan tulang melarut terhimpit dasar laut. Semua hanya karena ambisi bodoh dua-tiga orang. Biar mampus!"
Air di gelasku sudah habis, kuletakkan diatas piring yang menggeletak dekat kakiku. Kanjeng Nabi Musa sudah sedari tadi menaruh gelas kosongnya.
"Jadi, misimu itu sebenarnya apa, Iblis? Menghancurkan Firaun? Atau, merusak Mesir?"
Iblis menggeleng. "Hancurnya Firaun itu karena masyarakat Mesir sudah rusak, Baginda Nabi Musa. Misiku sebenarnya hanya satu: Membasmi Megalomaniak."
Dimas Nabi Musa tercekat, lalu matanya sembab. Kepalanya tertunduk beberapa jenak dengan napas yang berat.
"Ya, betul kau, Iblis. Aku berutang banyak pada Bapa Ramoses di tahun-tahun pertama kehidupanku. Tapi, satu hal yang betul-betul menghancurkan hatiku. Kau tahu apa itu, Iblis?"
"Ana robbukumul a'la..." Iblis menggeram.
"Tidak jauh berbeda dengan yang kau katakan dulu didepan Eyang Kakung Adam kan? Ana khoiru minhu..."
Iblis menggeleng keras, "Tidaaak tidak, Baginda Nabi Harun. Hamba bukan megalomaniak. Hamba tak pernah minta disembah. Justru malah hamba menolak menyembah-nyembah makhluk Allah. Silakan Baginda anggap hamba berlebihan, tapi alasan hamba menolak sujud pada Adam adalah keesaan Allah sebagai satu-satunya Yang Disembah. Firaun lebih menjijikkan dari kesalahan hamba kala itu."
"Lalu sekarang, setelah Firaun mati, kau takkan menggoda-goda Bani Israil untuk menyekutukan Allah?" Kanjeng Nabi Musa coba menekan Iblis.
"Jika umat Baginda menyelewengkan ajaran agama, tak patuh dan disiplin dalam beribadah, ya silakan saja salahkan hamba, Iblis laknat ini. Namun, jika umat Baginda mempersekutukan Allah, mohon diingat kontribusi Iblis dalam menghancurkan Firaun Ramoses yang mengaku-ngaku tuhan. Jangan terus-menerus menyalahkan Iblis untuk semua keburukan manusia. Apalagi, kemusyrikan! Tanggung sendiri dosanya."
Kayu bakar api unggun bergemeretak. Angin darat berembus semangat menusuk tulang. Malam ini sepertinya harus ditutup segera, sudah masuk paruh sepertiga terakhir.
"Kangmas Mahapatih, sepertinya kita harus kembali ke tenda masing-masing. Sembahyang malam dulu." Kanjeng Nabi Musa beranjak dari tempat duduknya.
"Makhluk Allah satu ini, tindakan apa yang harus kita ambil, Ya Rasul?" tanyaku sambil menunjuk Iblis.
"Besok setelah sembahyang pagi, kita lepaskan dia. Terserah dia mau kemana, asalkan pisah arah dengan kita."
Kepala patroli kuminta memborgol Iblis kembali. Kuminta Iblis untuk tetap diam ditempat sampai pagi. Ia mengangguk setuju seadanya.
Kami kembali ke kemah masing-masing.
***
Kemah-kemah sudah dirapikan. Hanya tersisa jelaga kayu diatas pasir pantai. Semua bersiap melanjutkan perjalanan kearah utara, menuju Kanaan. Presiden dan Mahapatih Bani Israil berada paling depan. Lalu, Iblis. Semua berjalan dengan santai, karena ancaman balatentara Mesir tak ada lagi.
Setiba di persimpangan jalan, Iblis hendak kami lepaskan. Seragam tentara Mesirnya sudah kami lucuti. Sekarang hanya tiga helai pakaian yang kami berikan padanya; satu bagian bawah, satu bagian tengah, satu bagian atas. Persis seperti halnya pakaian budak Yahudi dahulu di Luxor. Siapapun yang berpapasan dengannya, jika tertarik bisa mengambil dirinya sebagai budak.
"Kita berpisah disini, Iblis. Jika kulihat kau bergentayangan diantara kaumku, dalam bentuk gaibmu, maka akan kubakar kau!" Kanjeng Nabi Musa memberi salam perpisahan khasnya.
"Baik, Baginda. Hamba akan berusaha sebaik mungkin agar tak terlihat oleh Baginda saat bergentayangan." Iblis tersenyum. Kanjeng Nabi Musa tidak.
"Kau butuh bekal, Iblis?"
"Tidak, Baginda Nabi Harun. Hamba berterima kasih. Selesai hari ini hamba sudah tak bertubuh lagi. Aku tak tahan bau keringat tengik manusia."
Sekali lagi ia tersenyum. Aku tidak.
"Sebagai hadiah perpisahan, sekaligus ucapan selamat jalan, hamba hendak memberi masukan bagi Baginda Rasul berdua."
Aku menunggu jawaban dari Kanjeng Nabi Musa. Kutatap dalam-dalam mata beliau. Ia pun mengangguk.
"Terima kasih, Baginda. Yang pertama, di negeri Kanaan sudah berdiam bangsa Filistin. Kalian akan dianggap pendatang oleh mereka. Ketika kaum Bani Israil akan masuk ke tanah Kanaan, mereka akan menganggap kalian penjajah. Mereka akan menganggap kalian invasif. Mereka akan menganggap kalian tiran dan teroris. Tentara pendudukan. Mereka sudah berabad tinggal disana, dan kedatangan kalian akan mendapatkan perlawanan sengit. Pertumpahan darah akan terjadi. Masukan dariku, ajarkan anak-anak kalian menggunakan ketapel. Ditangan ahlinya, batu kerikil akan melesat cepat menjadi peluru yang bisa menembus kepala raksasa sekalipun."
Kanjeng Nabi Musa mendengarkan dengan serius. Itulah yang sempat kami bicarakan di Luxor sebelum eksodus, di kampung Yahudi. Bagaimana seandainya di tanah Kanaan sudah ada penduduk. Apakah akan kami usir, atau hidup berdampingan?
Tiba dulu di tepian, baru pikirkan cara ke seberang.
Itu yang jadi kesimpulan kami dulu. Kini Iblis punya warta yang serupa.
"Yang kedua, berhati-hatilah pada salah seorang Israil yang dahulu bekerja pada pembuat alat siksa. Aku melihat bibit megalomaniak dalam dirinya, meskipun tak separah Ramoses. Ia ahli membuat lembu perunggu, yang bisa mengeluarkan suara-suara. Jika Baginda berdua lengah, hamba yakin ia akan mencari-cari cara agar dagangannya laku. Salah satunya, membuat sesembahan dari lembu itu. Kali pertama Baginda berdua melihat gelagat brengsek orang itu, langsung tebas saja lehernya."
Samiri. Hanya satu nama yang kuingat. Dan, ada benarnya perkataan Iblis ini. Ia selalu membangga-banggakan hasil karyanya, berupa perangkat siksaan. Semakin menyayat jerit korban perangkatnya, semakin bungah hatinya.
"Terima kasih atas masukanmu, Iblis. Sekarang, pergilah segera! Kami sudah malas melihat mukamu."
Dengan sekali tarik, rantai itu pecah ditangan Kanjeng Nabi Musa. Ternyata, cengkraman Dimas Musa sama kuatnya dengan tenaga Iblis. Begitu rantai jatuh ke tanah, Iblis berlari sekencang-kencangnya, membuat debu gurun naik mengepul dibelakangnya.
"Mari, kita lanjutkan, Kangmas Mahapatih."
"Mari, Kanjeng Rasul."
Dibelakang kami, Bani Israil berbisik-bisik. Bergosip. Desas-desus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H