"Wahai, Utusan Tuhan! Lihat itu!"
Semua warga Israil menoleh ke sumber suara. Lalu, serempak mengikuti arah acungan telunjuknya. Kami berdua bangkit, lalu menerobos kerumunan kearah pandang mereka.
"Lihat itu, ada yang berjalan dari dalam laut!"
Mataku seperti terhalang kabut sihir ahli santet istana Firaun. Dimas Musa disampingku juga tercekat.
Awal mulanya hanya sebahu, lalu naik sepinggang, lalu sepaha. Orang berjubah tentara Mesir ini mentas dari laut. Ia terbatuk-batuk, muncrat-muncrat air laut. Berhamburan orang Israil dibelakang kami, sebagian masuk tenda ambil senjata, sebagian tak keluar lagi. Meringkuk. Dengan hati gusar aku mengambil kuda-kuda, bersiap menghadang tentara Mesir ini.
"Kangmas Harun, kau tenang saja disampingku. Tenangkan juga Bani Israil yang lain. Ia sendirian, biar jadi urusanku. Jangan turut campur!"
Aku mengambil selangkah mundur. Kuda-kuda kujaga menghadap prajurit itu, dengan tangan terentang. Jago-jago Israil di belakang punggungku siap mengacungkan segala senjata di tangan mereka, tunggu perintah dari aku atau Dimas Musa.
Tentara Mesir itu berjalan terjuntai, tak berapa lama kemudian ambruk, bersandar pada lutut dan sikunya. Dimas Musa mendekat, dengan tongkat teracung pada prajurit itu.
"Hei, orang Mesir! Belum lama yang lalu, tongkat ini kuhentak ke laut, dan ia terbelah, dengan mukjizat Tuhan. Untuk batok kepalamu, cukup ayunan tanganku yang membuat tongkat ini membelahnya!"
Dimas Musa memang tak pandai bermanis mulut. Tapi, kalau urusan menantang gelut, bahkan di Mesir pun belum ada tandingnya.
Prajurit itu mengangkat tangan kanannya, bagaikan meminta ampun pada Dimas Musa.