“Iblis laknat! Sukertaning bawono! Menungso ora tatanan! Wani ngilani dadane Prabu Bolodewo kowe? Gelandang Nenggolo ora pecah ndasmu dadi papat ojo diundang Bolodewo, keparat!*”
Gayeng. Penonton bersorak melihat sosok wayang warna jambon itu melesat keluar pakeliran. Pasewakan dibubarkan dalang, gamelan melenting-lenting nadanya membarengi ajang tempur yang hendak digelar. Empat orang pemuda yang sedang duduk di bakul bakso sampingku sampai berhenti menyuap. Mereka menanti sabetan lincah dalang saat Baladewa menyiksa musuhnya. Rokokku di tangan juga belum lagi kuisap, abunya melengkung belum kusentil.
Pakeliran kini hanya diisi sosok Baladewa yang sedang sumbar-sumbar, memaki-maki buto yang sebentar lagi jadi mayat. Semakin keras makian Baladewa, semakin bersorak penonton, semakin napsu sang dalang menggetar-getarkan gapit dan kecrekan. Tak terbayang betapa mencuat urat leher dalang saat menyerukan suara tokoh ini.
Benar saja, hanya sebentar nasib buto itu sebelum lumat digiling pusaka Nenggala. Kali ini, Prabu Narayana tak perlu turun tangan membantu strategi perang kakaknya. Cukup dikejar Baladewa, ditangkap, digebuki, lalu ditiban senjata pamungkas. Selesai perkelahian. Penonton pun sorak-sorai. Hatiku pun puas, Baladewa Berjaya. Kini rokokku bisa kuhisap lagi.
“Aneh Baladewa itu.”
Seorang bapak-bapak berbaju hitam-hitam berbicara tanpa teman. Ia duduk disamping kananku, entah sejak kapan. Karena kebetulan kami bertatap muka, maka kuanggap ia sedang memancing pembicaraan denganku. Lakon sedang budalan, gamelan diatur agar menyerupai derap-derap langkah prajurit. Tak terlalu menarik untukku, jadi kualihkan saja perhatianku pada bapak disampingku ini.
“Aneh bagaimana, Pak?”
“Itu, sumbar-sumbarnya.” Tangannya menjulurkan bungkus rokok 3 digit. Ia perhatikan puntung di tanganku tak patut lagi kuhisap, baranya nyaris kena jemariku. Segera kusentil puntung itu dan kusambut tawarannya. Terasa hangat jari bapak itu, sebelum kubilang terima kasih.
“Memang begitu, Pak. Baladewa kalau sedang ngamuk tak ingat status sebagai Raja Mandura.” Mungkin bapak ini belum lama tertarik nonton wayang. Jadi, ada baiknya kubabarkan pengetahuanku tentang tokoh satu itu. “Isi kepalanya hanya membantai musuh yang membuat resah hatinya. Terkadang ia di jalur yang benar, terkadang luput dan gelap mata.”
Bapak itu menatapku tajam seolah meminta penjelasan lebih lanjut. Ada percik ganjil dari matanya. “Jika sudah melenceng, biasanya Kresna yang akan membimbing kembali ke jalan lurus.” Baladewa bukan favoritku, kemunculannya tak pernah kunanti. Berbeda dengan Antasena atau Wisanggeni. Tapi, kalau muncul ia, pasti aku girang dibuatnya. Cukup untuk membuatku mengerti banyak tentang tokoh ini.
Bapak ini tersenyum, lalu menggeleng. “Maksudku bukan itu, Mas.” Pantat puntung ia selipkan ke bibirnya, lalu ia Tarik panjang asap kedalam tenggorokan. Panjang sekali macam nikmat tak berputus. Lalu ia hembus asapnya sedikit saja. “Ia melaknat-laknat iblis. Macam kenal saja dia.”
Giliran aku yang tersenyum. Bukan karena mengerti, tapi aku heran dibuatnya. “Tak perlu kenal iblis, Pak, untuk bisa melaknat-laknatnya. Iblis itu pantas disumpahi.”
“Karena apa? Dendam masa lalu?”
Aku sampai-sampai harus menahan tertawa. Cerita tentang iblis sudah lumrah di masyarakat kita, bapak ini sebegitu inginnya mengobrol denganku sehingga hal aneh begini pun dibicarakan.
“Agama mengutuk kelakuan iblis, Pak. Karena dia lah manusia harus kesulitan menjalani hidup di dunia, tak bisa menikmati enaknya kehidupan surga.”
“Maksudmu, peristiwa Adam itu?”
Semakin melenceng omongan orang ini. Betapa enteng lidah manusia ini menyebut-nyebut Nabi Adam AS seperti kawan dekatnya saja. Bapak ini memasuki ambang kurang ajar terhadap ajaran agama.
“Ya tidak hanya itu, Pak. Semua keburukan di dunia ini bersumber dari bisikan iblis yang menjerumuskan manusia. Apa tidak layak iblis dilaknat?” Nada bicaraku sedikit kutinggikan. Sudah lewat momentum humornya. Hanya sebatas tipis satu pertanyaan saja bisa mengubah komedi menjadi tragis.
“Semua keburukan? Semua? Kau yakin, Mas?”
Asap yang ia kepulkan kali ini lebih banyak dari sebelum-sebelumnya. Kuperhatikan lagi, bapak ini buruk rupa, tapi penuh pesona. Komposisi wajahnya jauh dari ganteng, tapi aku terpikat. Sorot matanya menyebalkan, tak ada teduh-teduhnya, namun ada kenyamanan yang janggal saat ia menatap.
“Semua datang dari-Nya,” sambil ia angkat telunjuknya satu, mengarah ke langit, “Baik dan buruk semua datang dari Allah. Kau jangan menyepelekan keesaan-Nya.”
Selesai sudah. Aku kehilangan semua minatku pada dirinya. Kebetulan dalang sedang limbukan. Mbok Cangik sedang meminta sinden menyanyikan request dari penonton. Dagelan sudah siap-siap di pinggir panggung. Lebih baik kuperhatikan tanggapan wayang ini daripada bapak-bapak sinting disebelahku.
“Kau tahu siapa aku, Mas?”
Aku melirik angkuh dari sudut mataku, biar ia tahu aku tak acuh pada pertanyaannya.
“Kau jangan marah dulu. Malam masih panjang.”
“Aku disini untuk menikmati wayangan, Pak. Melepas stress, bukan menambah.”
Tangan kanannya kini menjulur padaku. Senyumnya mengembang. Memang dasar orang Indonesia, sulit sekali menolak ajakan penuh sopan santun begini. Dengan wajah malas aku ulurkan juga tangan kananku.
“Eko, Pak.” Aku perkenalkan namaku.
“Iblis.” Jabat tangannya sangat erat, tapi aku tak merasakan sakit. Sedikit terasa hangat seperti jagung rebus yang masih beruap. Tak kutemukan raut dusta di wajahnya. Ia yakin sekali memperkenalkan dirinya dengan nama itu. Entah kenapa, senyumnya menular. Tak bisa kutahan bibirku mengembang. Seharusnya kutertawakan leluconnya, tapi aku tak menemukan satupun alasan untuk itu. Jujur dari lubuk hatiku, ada rasa lega saat mendengar namanya.
“Sudah lama jadi Iblis, Pak?” Kuikuti saja permainan ini. Garis batas humor sudah lewat, batas kurang ajar pun bablas. Ini ranahnya obrolan seenak jidat. Percuma dimasukkan dalam hati dan akal, tak masuk sama sekali.
“Dari sebelum jaman kakek moyangmu itu.”
“Dari neraka naik apa kesini, Pak?” Bicara sama orang sableng harus ikut sableng. Tak perlu kudengarkan dagelan yang sedang jumeneng. Disini ada dagelan yang lebih orisinil lagi.
Bapak Iblis tertawa, ada kesenangan tersendiri saat membuat orang gila tertawa. “Neraka adanya di akhirat, Mas Eko. Belum saatnya sekarang.”
“Sering nonton wayang, Pak?”
“Lakon wayang selalu hitam putih. Kebaikan selalu menang. Kurang menarik.” Diambilnya lagi sebatang rokok 3 digit, lalu api menyala. Angin kebetulan berembus, namun api koreknya tidak terganggu. Dengan sekali sundut sudah membara ujung tembakaunya.
“Tidak, Pak. Semua tokoh wayang punya kelebihan dan kekurangan. Mereka selalu ditampilkan dengan penuh kekurangan dan khilaf.”
“Aku berbicara tentang lakon tadi. Para tokohnya menjadi menarik di tangan dalang. Abu-abu. Itu lah yang membuatku sering menonton wayang. Berbeda dalang berbeda pula jiwa tokohnya.”
Giliran aku yang mengeluarkan bungkus rokok 1 abjad. Angin masih berembus, butuh beberapa saat api korekku menari-nari menyambar ujung puntung. Beberapa kali sundut baru apiku menyala.
“Setiap manusia berhak berbuat salah, Pak. Itulah yang ditunjukkan oleh dalang dalam setiap tokohnya. Tokoh jahat mampu berbuat benar, tokoh baik mampu berbuat salah.”
“Dan setiap tokoh punya kesempatan bertobat, Mas Eko.”
“Betul, Pak. Meskipun tak semuanya cukup pintar untuk mengambil kesempatan itu dengan baik.”
“Jika begitu, lalu, dimana salahnya Iblis, Mas Eko?”
“Iblis menggoda manusia keluar dari jalan yang benar. Ia tak suka sendirian di neraka, Pak. Curang dia! Dia yang dulu angkuh, lalu dia pula yang membangkang dan menggoda-goda manusia menjauhi Tuhan.”
“Semua itu bisa terjadi tanpa restu dari Allah?”
Aku terdiam sesaat. Kuberi jeda agar nikotin terserap sempurna ke darah, lalu mencapai tujuannya ke sel otakku. Disana mereka bisa membantu otakku berpikir menjawabi si tua gemblung ini.
“Allah memberi pilihan pada semua makhluk-Nya. Iblis memilih jalan yang salah.”
“Allah merestui iblis memilih jalan yang menurutmu salah, Mas Eko.”
“Menurutmu, Iblis tidak salah, Pak??” Kuhentak sekalian nada bicaraku.
“Salah benar hanya Allah yang berhak menentukan, Mas. Ia Yang Maha Adil, Maha Menghakimi. Kita ini siapa dihadapan-Nya? Dihadapan makhluk-Nya?”
“Iblis menolak sujud dihadapan Nabi Adam AS karena sombong. Sombong itu pakaiannya Allah!”
“Kau hanya paham separuh cerita.”
“Aku memahami apa yang ada di kitab suci, Pak. Ajaran para ulama pun demikian.”
“Aku menolak sujud pada Adam karena menurutku tak pantas makhluk bersujud pada makhluk.”
“Karena apa? Syirik? Jadi maksudmu seluruh makhluk Allah yang bersujud pada Nabi Adam kala itu syirik, termasuk para malaikat?”
“Tak pantas ciptaan Tuhan menghakimi atau menilai-nilai ciptaan-Nya yang lain. Jika Allah menganggap mereka syirik, maka syirik lah mereka. Jika tidak, maka kau dan aku tak boleh menuduh-nuduh.”
“Tapi Tuhan jelas murka pada Iblis karena membangkang!”
“Aku hanya mempercayai apa yang menurutku benar kala itu. Saudara-saudaraku juga membangkang kala Allah mengabarkan penciptaan manusia. Mereka boleh protes, mengapa aku tidak?”
“Para malaikat tidak membangkang, mereka hanya bertanya.”
“Mereka mempertanyakan maksud Allah! Mereka pikir Allah tidak tahu bahwa manusia akan menumpahkan darah sesama? Mereka pikir Allah tidak tahu bahwa manusia akan berbuat kerusakan di bumi? Kau pikir dengan Allah berfirman, ‘Aku mengetahui apa yang kalian tidak ketahui’, itu berarti Allah ridho dengan pertanyaan mereka? Itu teguran keras, Mas Eko.”
Nikotin dalam aliran darah otakku mengalir deras. Kucoba membantah apa yang ia katakan, tapi aku kalah cepat.
“Sama seperti orang tuamu dulu waktu kau kecil. Dilarang main pisau! Bapak ibu lebih tahu bahayanya pisau untuk kulitmu. Kau harus patuh! Kalau kau tak patuh, orang tua pasti menghukum. Begitu kan, Mas Eko?”
“Ya mungkin saja. Tapi itu tak membuat Iblis berhak sombong dihadapan Tuhannya!”
“Hei, aku tak sedang berbicara kesombongan, Mas. Ini masalah keridhoan Allah saat melihat hamba-Nya mempertanyakan keputusan-Nya. Justru karena aku tak melihat Allah melarang malaikat menyampaikan pendapat, maka saat kudengar keputusan Allah yang bisa membuat timbulnya kesyirikan dalam hatiku, saat itulah aku mempertanyakan-Nya.”
“Abaa wastakbaro…”
“Yaa yaa yaa… itulah enaknya malaikat. Tidak diberi hati tempat bermukim perasaan. Aku diberkahi Allah untuk memendam perasaan. Jujur saja kuakui, ada rasa iriku saat Allah memutuskan manusia yang menjadi wakil-Nya di bumi. Maklum lah, senior mana yang mau dilangkahi promosi oleh juniornya. Merasa enggan dan merasa lebih agung, aku masih muda kala itu.”
“Sebegitu julidnya kau, Pak Iblis, sampai-sampai kau akali Nabi Adam dan Siti Hawa hingga diusir dari surga.”
“Diusir?? Dangkal sekali pemahamanmu atas sikap Allah, Mas Eko!”
Kulempar rokok yang masih menyala ke tanah. Dengan tangan kananku, kurenggut kain di bahunya. “Sudah kutahan dari tadi kemarahanku. Kau pancing sampai ke titik ini, sedikit lagi akan kuhajar tampangmu!”
Matanya melirik kiri kanan. Aku tak perduli jika harus berkelahi disini dengan tua Bangka ini. Namun, dagelan sedang ger-gernya, tak ada yang melihat kejadian ini. Paling-paling kami dianggap bercanda atau mabuk. Lain ceritanya jika aku sudah menyodok rahangnya.
“Sabar, Mas Eko. Tak semua harus diselesaikan dengan gelut. Aku belum sampai pada maksudku.”
“Bicara yang jelas, cepat! Sampaikan maksudmu, sialan!” Kuguncang sedikit bahunya sebelum kulepaskan. Ia rapihkan duduknya dan kain bajunya sedikit, sebelum Tarik napas dan lanjut bicara.
“Mas Eko, Allah sedari awal berniat menciptakan manusia untuk menjadi wakil-Nya di muka bumi.” Tiga kata terakhir itu dipertegasnya. “Sedari awal memang spesies kalian itu tidak diciptakan untuk hidup di surga. Dilanggar atau tidak perintah Allah itu, Nabi Adam memang akan diturunkan ke bumi, cepat atau lambat.”
Aku mendengus, “Dan kelakuan iblis lah yang mempercepatnya!”
“Tidak. Sekali lagi jangan kau anggap aku lebih berkuasa dari Allah. Allah yang tentukan kapan Adam dan Hawa diturunkan ke bumi. Tak ada kuasaku disana. Adam dan Hawa diturunkan ke bumi setelah melalui proses trainee di surga. Allah memberi masa probation sebelum Adam dan Hawa diberi kuasa perwakilan penuh mengelola planet bumi. Termasuk diantara program training tersebut adalah, bagaimana Adam dan Hawa menghadapi aturan-aturan yang membatasi. Pohon keabadian itu tidak bisa memberikan manfaat maupun kecelakaan pada mereka, namun larangan tetap diberikan. Pohon keabadian itu berada dalam jangkauan mereka, namun Allah melarang untuk mendekati. Tanpa perlu dorongan godaanku pun, aturan itu tetap menggoda untuk kalian langgar, bukan? Anak turunan Adam sudah membuktikannya sekarang. Spesies kalian tak bisa hidup di laut, namun ada diantara kalian yang hidup dari mengelola dasar laut. Kalian tak bisa terbang, tapi betapa mudahnya kalian mempersingkat jarak perjalanan dengan menguasai udara. Bahkan, jelas-jelas Allah turunkan kalian ke bumi, kalian malah mengirimkan beberapa manusia untuk turun di bulan! Mengapa kalian menurunkan derajat nenek moyang kalian dengan menganggap bahwa mereka lemah terhadap godaanku?”
Sinden sedang berjoget-joget di panggung. Penonton semakin ramai, banyak yang baru berdatangan. Perhatianku teralihkan sebentar karena lantunan music gamelan menyita perhatianku. Beberapa hembus asap rokok kami kepulkan. Jujur saja, aku tak punya kata-kata untuk menanggapi ocehan Iblis tadi.
“Lagipula, kau pikir segala makhluk Allah yang ada di surga kala Adam diciptakan, mereka masih di surga sekarang? Semua transmigrasi kesini, Mas Eko.” Sambil tangannya menunjuk tanah. “Kami semua ikut wakil Tuhan turun kesini. Peristiwa turunnya manusia ke bumi itu bukan azab, bukan ujian atau cobaan. Apalagi penghinaan. Itu pertanda dimulainya episode paling menarik dalam hidupku!”
“Menarik karena kau punya kesempatan menjebloskan sebanyak-banyaknya manusia ke neraka, bukan?”
“Aih aih aiiih, Mas Eko. Apa surga dan neraka itu bagian dari kuasaku? Coba kau dengar lagi baik-baik perkataan Yang Mulia Rasulullah. Beliau saja tidak bisa masuk surga jika hanya bergantung pada amalannya. Yang bisa memasukkan beliau ke surga hanya ridha Allah, Mas Eko! Tak lain, tidak! Begitu pun mereka yang masuk neraka! Apa kuasaku? Apa pernah kau lihat ayat Tuhan yang menyatakan bahwa kuasaku lah yang membuat manusia terjerumus ke neraka?”
“Kau adalah makhluk Allah pertama yang diputuskan masuk neraka.”
“Kau kira aku khawatir? Kalau Allah memutuskan aku menjadi jangkrik sekarang, dengan ikhlas akan kuikuti kemauan-Nya. Kalau Allah memutuskan mencabut nyawaku dan menyiksaku di neraka dari sekarang, apalagi yang bisa kuperbuat? Keputusan Allah memasukkanku ke neraka tak jadi soal buatku, Mas Eko.”
“Kau yang merengek minta diperpanjang usia hingga akhir masa manusia, untuk menggoda kami! Jangan kau cuci tangan, brengsek!”
“Lalu, bukankah Allah menyetujui keinginanku? Menurut Allah, itu keputusan terbaik yang Ia berikan padaku dan juga manusia, bukan? Coba pikirkan baik-baik, Mas! Jika keputusan Allah bukan yang terbaik, lalu apa lagi?”
“Cuci tangan terus! Kesialan yang terjadi pada hidupmu, kau limpah-limpahkan pada Allah. Kau tak hanya sombong, namun juga pengecut!”
“Nama-namai lah diriku ini, Mas Eko. Memang begitu lah Allah memberi kalian kelebihan dibandingkan makhluk-Nya yang lain. Kalian diberi keunggulan bisa menamai semua hal. Setiap spesies yang hadir di bumi ini saja, kalian punya system nama. Binomial nomenklatur. Aku tak heran.”
“Semua nama itu punya dasar, Pak Iblis. Nama yang dibuat-buat tidak akan melekat lama. Karena tingkah lakumu itulah kau dinobatkan sebagai musuh manusia dalam ibadah.”
“Begini, Mas Eko. Allah tahu bahwa aku takkan pernah berhasil menjerumuskan hamba-Nya yang terus-menerus berdekatan dengan-Nya. Buktinya? Adam akhirnya bertaubat. Meskipun pemuda Adam waktu itu mengambil keputusan salah dengan mendengarkan godaanku, namun akhirnya kalian semua mengingat Adam sebagai manusia yang pertama mengakui kezhaliman pada dirinya sendiri. Indah sekali doa Adam kala itu. Indah sekali permintaan tobat Adam kala itu. Dari situlah aku memahami fungsiku dalam dinamika hubungan Iblis dengan manusia. Aku menjadi musuh penggoda agar manusia bisa menemukan kasih sayang Allah dalam ampunan-Nya! Aku menjadi musuh penggoda manusia agar manusia banyak belajar dari kesalahannya!”
“Huh, memang begitulah cara pengecut mengakui kekalahan; menganggap seolah-olah ia yang memberikan jalan kemenangan bagi lawannya.”
“Mas Eko, kitab suci meminta spesies kalian menjadikanku musuh. Kau pikir, ada ayat dalam kitab sucimu yang memintaku menganggap kalian musuhku?”
Aku melontarkan ta’awudz, berharap ia akan terganggu dengan kalimat thayibah itu.
“Kau puntir-peluntir tafsiran Qur’an pun, takkan menghentikanku melaknatmu, Iblis. Kau berikan penjelasan-penjelasan tentang betapa bermanfaatnya dirimu untuk kaum manusia pun, kau masih tetap pantas mendapat laknat dan siksa neraka, Iblis.”
“Oh, jangan kau ragu, Mas Eko! Jika kau merasa proses melaknatku itu bagian dari ibadahmu pada Allah, terus lakukanlah! Jika kau merasa lebih dekat pada Allah dengan melaknatku, aku tak keberatan.”
Ia beringsut duduk simpuh, bersiap meninggalkan tempat duduknya.
“Hanya saja, jangan kau lakukan itu atas dasar kebencian! Kekasih Allah sang paripurna diutus kepadamu untuk menjadi panutan. Sang paripurna diutus ke dunia untuk menjadi kasih sayang bagi seluruh alam semesta. Aku adalah bagian tak terpisahkan dari alam semesta, dan Muhammad putra Abdullah tak pernah membenciku. Muhammad sang utusan pamungkas sayang kepadaku. Jadi, jika kau manut pada Kanjeng Nabi, laknatlah aku dengan penuh kasih sayang, Mas Eko!”
Dengan satu gerakan mulus, ia berdiri dan meninggalkan alun-alun. Pakeliran sudah diisi oleh para Pendawa berhadapan dengan Punakawan. Semar sedang memberikan wejangan pada Prabu Puntadewa, “Mlegegeg ugeg-ugeg, sak ndulito mel-mel. Suro diro joyoningrat lebur dening pangastuti, Sinuwun…*”
Notes:
*“Iblis laknat! Bencana alam semesta! Manusia biadab! Berani-beraninya kau mengukur dada (menantang) Prabu Baladewa? Kalau tak pecah kepalamu jadi empat kena Nenggala, jangan kau panggil aku Baladewa, keparat!”
*”Segala sifat angkara murka akan dikalahkan oleh kehalusan sifat dan sikap, Sinuwun…”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H