Giliran aku yang tersenyum. Bukan karena mengerti, tapi aku heran dibuatnya. “Tak perlu kenal iblis, Pak, untuk bisa melaknat-laknatnya. Iblis itu pantas disumpahi.”
“Karena apa? Dendam masa lalu?”
Aku sampai-sampai harus menahan tertawa. Cerita tentang iblis sudah lumrah di masyarakat kita, bapak ini sebegitu inginnya mengobrol denganku sehingga hal aneh begini pun dibicarakan.
“Agama mengutuk kelakuan iblis, Pak. Karena dia lah manusia harus kesulitan menjalani hidup di dunia, tak bisa menikmati enaknya kehidupan surga.”
“Maksudmu, peristiwa Adam itu?”
Semakin melenceng omongan orang ini. Betapa enteng lidah manusia ini menyebut-nyebut Nabi Adam AS seperti kawan dekatnya saja. Bapak ini memasuki ambang kurang ajar terhadap ajaran agama.
“Ya tidak hanya itu, Pak. Semua keburukan di dunia ini bersumber dari bisikan iblis yang menjerumuskan manusia. Apa tidak layak iblis dilaknat?” Nada bicaraku sedikit kutinggikan. Sudah lewat momentum humornya. Hanya sebatas tipis satu pertanyaan saja bisa mengubah komedi menjadi tragis.
“Semua keburukan? Semua? Kau yakin, Mas?”
Asap yang ia kepulkan kali ini lebih banyak dari sebelum-sebelumnya. Kuperhatikan lagi, bapak ini buruk rupa, tapi penuh pesona. Komposisi wajahnya jauh dari ganteng, tapi aku terpikat. Sorot matanya menyebalkan, tak ada teduh-teduhnya, namun ada kenyamanan yang janggal saat ia menatap.
“Semua datang dari-Nya,” sambil ia angkat telunjuknya satu, mengarah ke langit, “Baik dan buruk semua datang dari Allah. Kau jangan menyepelekan keesaan-Nya.”
Selesai sudah. Aku kehilangan semua minatku pada dirinya. Kebetulan dalang sedang limbukan. Mbok Cangik sedang meminta sinden menyanyikan request dari penonton. Dagelan sudah siap-siap di pinggir panggung. Lebih baik kuperhatikan tanggapan wayang ini daripada bapak-bapak sinting disebelahku.