“Kau tahu siapa aku, Mas?”
Aku melirik angkuh dari sudut mataku, biar ia tahu aku tak acuh pada pertanyaannya.
“Kau jangan marah dulu. Malam masih panjang.”
“Aku disini untuk menikmati wayangan, Pak. Melepas stress, bukan menambah.”
Tangan kanannya kini menjulur padaku. Senyumnya mengembang. Memang dasar orang Indonesia, sulit sekali menolak ajakan penuh sopan santun begini. Dengan wajah malas aku ulurkan juga tangan kananku.
“Eko, Pak.” Aku perkenalkan namaku.
“Iblis.” Jabat tangannya sangat erat, tapi aku tak merasakan sakit. Sedikit terasa hangat seperti jagung rebus yang masih beruap. Tak kutemukan raut dusta di wajahnya. Ia yakin sekali memperkenalkan dirinya dengan nama itu. Entah kenapa, senyumnya menular. Tak bisa kutahan bibirku mengembang. Seharusnya kutertawakan leluconnya, tapi aku tak menemukan satupun alasan untuk itu. Jujur dari lubuk hatiku, ada rasa lega saat mendengar namanya.
“Sudah lama jadi Iblis, Pak?” Kuikuti saja permainan ini. Garis batas humor sudah lewat, batas kurang ajar pun bablas. Ini ranahnya obrolan seenak jidat. Percuma dimasukkan dalam hati dan akal, tak masuk sama sekali.
“Dari sebelum jaman kakek moyangmu itu.”
“Dari neraka naik apa kesini, Pak?” Bicara sama orang sableng harus ikut sableng. Tak perlu kudengarkan dagelan yang sedang jumeneng. Disini ada dagelan yang lebih orisinil lagi.
Bapak Iblis tertawa, ada kesenangan tersendiri saat membuat orang gila tertawa. “Neraka adanya di akhirat, Mas Eko. Belum saatnya sekarang.”