Aku melontarkan ta’awudz, berharap ia akan terganggu dengan kalimat thayibah itu.
“Kau puntir-peluntir tafsiran Qur’an pun, takkan menghentikanku melaknatmu, Iblis. Kau berikan penjelasan-penjelasan tentang betapa bermanfaatnya dirimu untuk kaum manusia pun, kau masih tetap pantas mendapat laknat dan siksa neraka, Iblis.”
“Oh, jangan kau ragu, Mas Eko! Jika kau merasa proses melaknatku itu bagian dari ibadahmu pada Allah, terus lakukanlah! Jika kau merasa lebih dekat pada Allah dengan melaknatku, aku tak keberatan.”
Ia beringsut duduk simpuh, bersiap meninggalkan tempat duduknya.
“Hanya saja, jangan kau lakukan itu atas dasar kebencian! Kekasih Allah sang paripurna diutus kepadamu untuk menjadi panutan. Sang paripurna diutus ke dunia untuk menjadi kasih sayang bagi seluruh alam semesta. Aku adalah bagian tak terpisahkan dari alam semesta, dan Muhammad putra Abdullah tak pernah membenciku. Muhammad sang utusan pamungkas sayang kepadaku. Jadi, jika kau manut pada Kanjeng Nabi, laknatlah aku dengan penuh kasih sayang, Mas Eko!”
Dengan satu gerakan mulus, ia berdiri dan meninggalkan alun-alun. Pakeliran sudah diisi oleh para Pendawa berhadapan dengan Punakawan. Semar sedang memberikan wejangan pada Prabu Puntadewa, “Mlegegeg ugeg-ugeg, sak ndulito mel-mel. Suro diro joyoningrat lebur dening pangastuti, Sinuwun…*”
Notes:
*“Iblis laknat! Bencana alam semesta! Manusia biadab! Berani-beraninya kau mengukur dada (menantang) Prabu Baladewa? Kalau tak pecah kepalamu jadi empat kena Nenggala, jangan kau panggil aku Baladewa, keparat!”
*”Segala sifat angkara murka akan dikalahkan oleh kehalusan sifat dan sikap, Sinuwun…”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H