Mohon tunggu...
Ibrar Mufti
Ibrar Mufti Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Siswa MAN 2 Kota Padang Panjang

Menulis sebagai pengisi waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dia Seekor Kutu

5 September 2022   13:45 Diperbarui: 5 September 2022   13:58 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dia Seekor Kutu

Braak ....

Pintu kamar didobrak begitu saja. Pemandangan awal yang Andrian lihat adalah kamarnya dengan jendela yang sudah terbuka.

"Kita kemalingan!" lirihnya dengan badan yang lesu.

Orang yang sedang dirundung kesedihan itu bukanlah orang sembarangan. Ia adalah pemilik pabrik beras yang lumayan besar di desa itu. Sebut saja namanya, tak ada yang tidak kenal dia.

Andrian dikenal sebagai orang yang ramah, bijaksana dan juga sederhana. Saking sederhananya, banyak orang yang meragukan kekayaannya. Seolah-olah dia sengaja menutupi jubah kekayaan itu, tapi tampaknya lelah menyembunyikan saja, rumahnya sudah disapu oleh pencuri.

Anehnya, keadaan kamar itu tidak acak-acakan sama sekali. Semua tersusun rapi kecuali jendela yang terbuka, lampu yang menyala dan pintu lemari yang sudah rusak. 

Celengan milik anak Andrian juga masih ada, tidak bergeser dari tempatnya. Seolah-olah pencuri sudah mengetahui seluk-beluk rumah ini. Semua fakta berusaha dia olah dengan matang di kepalanya dan muncullah kesimpulan bahwa pencuri tentulah orang dalam, orang-orang yang sudah sering, atau mungkin menetap di rumah ini. 

Tak mungkin jika orang asing sudah mengetahui tempat penyimpanan uang miliknya, seolah-olah yang dia lalukan setelah membobol jendela kamar adalah langsung menuju lemari pakaian dan langsung menuju jaket tempat Andrian menyimpan uang itu. Pun, tak mungkin orang asing mengetahui nilai celengan anaknya yang tak seberapa, hingga memutuskan untuk tidak mengambilnya juga. 

Kalaupun yang mencuri adalah orang asing, pasti dia akan meraup celengan itu juga.

"Ada apa?" Seseorang dibelakangnya bersuara. Ia cukup kenal dengan suara itu. Ia adalah karyawan Andrian yang teramat dia sayangi. Ia juga merupakan sepupu jauh Andrian. 

Mereka sangat dekat hingga masalah pribadi pun sudah menjadi konsumsi berdua. Mereka seperti jari telunjuk dan jari tengah yang didekatkan.

"Saya dirampok, Bayu, uang kemarin sudah pupus." Wajah Andrian tampak lesu sekali, ia mengusap wajahnya beberapa kali, berusaha menyadarkan bahwa ini bukanlah nyata, tapi sia-sia saja, masalah yang dia hadapi memang betul-betul nyata.

Cepat kabar menyebar bagai angin kencang tertiup langsung menuju telinga warga, membuat semua warga kini berkumpul menyaksikan duka Andrian. Mereka juga menenangkan orang yang sedang kehilangan itu.

Setelah sekian lama tenggelam dalam kabut kesedihan. Akhirnya 3 karyawannya muncul. Raut wajah mereka juga dibaluti kekhawatiran. Mereka tahu akan seperti apa jadinya jika bos mereka itu mengalami masalah.

"Aryo mana?" tanya Andrian dengan wajah memerah.

"Tadi saya liat ke rumahnya, Pak, tapi dia nggak ada," sahut salah seorang karyawan.

Mendengar itu, Andrian pun mengeratkan rahangnya. Dari dulu ia sudah curiga dengan orang ini. Mulai dari tatapan datarnya, sipat yang tidak ramah, dan minim komunikasi. Ditambah bahwa dia tak hadir pada hari ini. Itu membuat Andrian bertambah curiga.

"Saya bukannya ingin menuduh, tapi sejak semalam Aryo ke sini. Dia seperti ingin mencari sesuatu. Saya pikir itu atas izin kamu," kata seorang tetangga. Kepergian Andrian memang tak banyak yang tahu, toh pria itu pergi juga sembunyi-sembunyi.

"Saya juga lihat Aryo kemaren. Dia keluar tengah malam seperti tergesa-gesa."

"Tak salah lagi, Aryo pelakunya!" seru Bayu memperpanas suasana.

Memang tak ada alasan lagi untuk tidak mencurigai Aryo. Saksi mata sudah ada.

"Bayu, kamu cari Aryo sampai ketemu, saya tak mau kesalahpahaman ini berlarut-larut."

***

Semuanya berawal dari undangan pernikahan saudara. Istri dan anak-anak Andrian sudah pergi terlebih dahulu, karena dia sedang ada urusan dengan pelanggan. 

Pelanggan satu ini juga salah satu pelanggan setianya, yang pasti harus dilayani dengan istimewa pula. Setelah melakukan deal dengan pesanan, uang diterima, dan dia pun bergegas menemui anak dan istrinya.

Tampaknya nasib baik tak menjemputnya kala itu. Motornya tiba-tiba tidak bisa dinyalakan dan terpaksa dibawa ke bengkel dan itu membutuhkan waktu yang sangat lama.

"Bayu, saya pinjam motor kamu, ya, motor saya rusak," ucapnya dibalik telepon. Seperti itulah kedekatan mereka. Mereka sudah tidak seperti bos dan karyawan, melainkan persahabatan. Bos mana yang sudi menunggangi motor karyawannya.

Sembari menunggu, Andrian pun bersiap-siap untuk pergi. Uang hasil deal dengan pelanggan tadi sengaja di selipkan di jaket dulu karena di pikirannya, mandi, ganti baju dan lain-lain ini memerlukan waktu sebentar, tak mungkin dalam waktu sekejap uang ini bisa raib.

Tak selang berapa lama, Andrian selesai beberes dan Bayu pun datang membawa motor miliknya.

"Nih, motor yang sudah dicuci secepat kilat, saya harap tuan bisa menungganginya dengan nyaman." Lelaki itu membungkukkan badannya tanda penghormatan sebagai bahan candaan.

"Jagain pabrik beras sama rumah saya, ya?"

"Emang bos mau kemana?"

"Ke nikahan saudara, jangan kasih tau siapa-siapa." Bayu paham betul dengan sikap bosnya yang seperti ini. Ia tak akan memberitahu jika dia sedang tidak ada di rumah. Ini mencegah sesuatu yang tidak diinginkan, ditambah lagi dengan siasat lampu rumah yang dihidupkan terus menerus, meyakinkan banyak orang bahwa rumah itu masih dihuni.

Bayu pun mengangguk. Semenit setelahnya ia pun menyaksikan punggung Andrian yang sudah tenggelam dimakan perempatan jalan.

Tak ada yang spesial dari acara pernikahan itu. Alunan lagu daerah nan merdu pun menggetarkan gendang telinga, ditambah dengan bau masakan yang sudah terjamin kelezatannya. Semua berpadu di dalam tenda megah berwarna putih dan biru.

Senyuman bahagia menghiasi seluruh wajah, terutama orang yang akan menempuh hidup baru itu. Orang-orang mengobrol sana-sini, menertawakan masa lalu, bertanya kabar. Yaa, kental sekali dengan keramahan.

 Sampai akhirnya malam menjemput, semua orang tentunya sudah lelah dengan pesta besar itu. Tepat pukul 10 malam, ponsel Andrian berbunyi.

"Hallo, Bos, Pelanggan kemaren udah datang malam-malam begini, di cek ke rumah katanya nggak ada." Ah ya, pelanggan itu akan memberikan sisa uang dagangan Andrian, loh tapi katanya menunggu seminggu lagi.

"Aduh, kenapa mendadak begini bukannya dia bilang seminggu lagi? Kenapa nggak ngomong langsung ke saya? Suruh dia telepon saya ya."

Setelah itu hening sejenak, tampaknya Bayu sedang menyampaikan apa yang Andrian katakan. "Katanya nggak apa-apa, Bos, besok aja, dia juga mau ke rumah saudara, kebetulan lewat sini. Bos pulangnya besok, kan?

"Oh gitu yaa, yaudah deh. Saya pulangnya besok." Kemudian larutlah 2 insan itu kedalam perbincangan ringan, bercerita tentang pesta tadi sampai ke keadaan motor Bayu. 

Memang kalau sudah mengobrol bisa jadi lupa waktu. Sudah setengah jam waktu dihabiskan dengan mengobrol, dan itu pun dirasa sudah cukup. Andrian mematikan ponselnya, merebahkan badan membiarkan mimpi menarik pria itu masuk ke dalamnya.

Tak terasa, baskara pun menampakkan dirinya di ufuk timur. Kehidupan di desa pun sebenarnya sudah dimulai beberapa jam sebelum itu. Keadaan ini memungkinkan kita untuk melihat indahnya cahaya jingga yang dipancarkannya.

Tapi ini bukanlah saatnya untuk menikmati fajar. Ada sebuah urusan yang mengharuskan Andrian dan keluarga untuk pulang, tentu saja perkara pelanggannya tadi. Ia tak ingin membuat pelanggannya itu menunggu terlalu lama. 

Setelah berpamitan dengan keluarga, Andrian pun melesat meninggalkan kawasan pernikahan.

Dan terjadilah semuanya. Kejadian-kejadian itu seperti tak ada keanehan, tapi uang yang ia simpan andam karam. Ditambah satu perkara, ia harus membeli padi lagi, stok juga sudah tidak cukup.

Terlintas satu ide di kepalanya. Pria itu pun mengambil benda pipih yang dari tadi setia menunggu di sakunya lantas menelepon seseorang.

"Bapak katanya ke sini, ya, kemarin malam?"

"Tidak, Pak," jawab seseorang di balik telepon. Aneh, bukannya kemarin Bayu bilang bahwa orang ini datang membawa sisa uang?

"Tapi karyawan saya bilang bahwa bapak ke sini kemarin malam, sekitar pukul 10an."

"Tak mungkinlah, Pak Andri. Nggak enak bertamu malam-malam. Lagian saya janjinya seminggu lagi, kan?" Andrian sekarang mengerutkan dahinya lantas menutup telepon. 

Belum genap dengan keheran, seseorang pun berjalan mendekat. Wajahnya tampak tak berdosa, menyapa setiap wajah dengan dinginnya.

"Ada apa ramai-ramai?" tanya pria itu.

"Kamu dari mana aja?"

"Maaf, Pak, nggak ngasih tau, soalnya kemaren sore saya mau izin buat pulang, tapi bapaknya nggak ada. Awalnya saya nggak pergi, sampai akhirnya saudara telepon kalau ibu saya masuk rumah sakit. Karena bapak nggak ada di tempat, jadinya saya pergi tanpa izin," jelas pria itu.

Wajah itu tampak tenang, penjelasan dia memang masuk akal. Ditambah lagi dengan keterangan salah satu warga tadi bahwa dia keluar tengah malam dengan wajah tergesa-gesa, bisa jadi itu karena ibunya.

 "Ada apa, Pak?" tanya Aryo. Pria itu masih tak mengerti dengan situasi.

"Saya kemalingan." Wajah Aryo tampak terkejut setelah mendengar penjelasan itu.

"Kamu yakin tak terlibat dalam kasus ini?"

"Yakinlah, Pak, saya mana berani kayak begituan, Pak." Memang, tak ada pencuri yang mau mengaku, tapi dari raut wajahnya, ia seperti tak berdusta, kecuali dia orang yang sangat pandai dalam drama.

"Semoga kamu dapat saya percaya, sekarang kita menunggu Bayu, ada yang ingin saya bicarakan dengan dia."

Istri Andrian yang sepertinya sudah pulih dari shoknya pun menggigiti kuku, ia seperti ingin mengatakan sesuatu tapi tak berani, tapi sekarang saat yang tepat untuk menyatakan argumen.

Wanita itu menarik lengan suaminya, menjauhkan pembicaraan mereka dari banyak telinga.

"Kamu merasa ada yang aneh nggak sama Bayu?" Andrian mengerutkan dahinya. Sebenarnya ia juga menyadari sesuatu.

Pertama, dia adalah satu-satunya orang yang mengetahui kepergian Andrian. Dua, bisa jadi ia menelepon pukul 10 itu hanya akal-akalan saja. Memastikan bahwa Andrian tak pulang sehingga dia bisa mencuri dengan tenang. Fakta ketiga, Bayu adalah satu-satunya orang kepercayaan Andrian yang selalu menjemput uang dari rumah ke pabrik beras, karena itu dia tahu dimana letak persis tempat penyimpanan uang. 

Ditambah dengan fakta keempat, hidup Bayu bisa dikatakan orang menengah kebawah, setiap hari berjudi dan foya-foya. Dimana dia mendapat uang? Apalagi dengan perekonomian yang semakin sulit, itu memperkuat tekat dia untuk mencuri.

Menyadari tentang fakta itu, Andrian pun terduduk. Ia memutar memori-memori lama. Tentang beras yang selalu hilang setiap minggunya. Apa jangan-jangan Bayulah pelaku dibalik ini. Tanpa dia sadari, ia sudah memelihara kutu. Menghisap darah terus-menerus tanpa disadari, memang tak sampai mati, tapi cukup membuat rugi.

Identitas Penulis :

Nama lengkap : Ibrar Mufti

Instagram : @Ibrar_Mufti

No. WA : 082170656578

Email : Ibrarmufti99@gmail.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun