"Maaf, Pak, nggak ngasih tau, soalnya kemaren sore saya mau izin buat pulang, tapi bapaknya nggak ada. Awalnya saya nggak pergi, sampai akhirnya saudara telepon kalau ibu saya masuk rumah sakit. Karena bapak nggak ada di tempat, jadinya saya pergi tanpa izin," jelas pria itu.
Wajah itu tampak tenang, penjelasan dia memang masuk akal. Ditambah lagi dengan keterangan salah satu warga tadi bahwa dia keluar tengah malam dengan wajah tergesa-gesa, bisa jadi itu karena ibunya.
 "Ada apa, Pak?" tanya Aryo. Pria itu masih tak mengerti dengan situasi.
"Saya kemalingan." Wajah Aryo tampak terkejut setelah mendengar penjelasan itu.
"Kamu yakin tak terlibat dalam kasus ini?"
"Yakinlah, Pak, saya mana berani kayak begituan, Pak." Memang, tak ada pencuri yang mau mengaku, tapi dari raut wajahnya, ia seperti tak berdusta, kecuali dia orang yang sangat pandai dalam drama.
"Semoga kamu dapat saya percaya, sekarang kita menunggu Bayu, ada yang ingin saya bicarakan dengan dia."
Istri Andrian yang sepertinya sudah pulih dari shoknya pun menggigiti kuku, ia seperti ingin mengatakan sesuatu tapi tak berani, tapi sekarang saat yang tepat untuk menyatakan argumen.
Wanita itu menarik lengan suaminya, menjauhkan pembicaraan mereka dari banyak telinga.
"Kamu merasa ada yang aneh nggak sama Bayu?" Andrian mengerutkan dahinya. Sebenarnya ia juga menyadari sesuatu.
Pertama, dia adalah satu-satunya orang yang mengetahui kepergian Andrian. Dua, bisa jadi ia menelepon pukul 10 itu hanya akal-akalan saja. Memastikan bahwa Andrian tak pulang sehingga dia bisa mencuri dengan tenang. Fakta ketiga, Bayu adalah satu-satunya orang kepercayaan Andrian yang selalu menjemput uang dari rumah ke pabrik beras, karena itu dia tahu dimana letak persis tempat penyimpanan uang.Â