Dalam mempraktikannya seorang bisa menendat atau menandai seseorang dengan membayangkan orang yang bakal ditendat dalam kondisi yang sama ketika pernah terlihat oleh si penandai. Maka agar terhindar dari ilmu tersebut orang mesti melepas atau merubah bentuk getangnya (dalam perihal tersebut, getang dianggap mewakili jiwa si pemiliknya) maka bentuk getang selalu tidak sama pada setiap orang dan setiap orang selalu merubah bentuk serta "gaya".
Perihal gaya pada getang secara fisik tentunya disesuaikan selera dan kebutuhan si pemiliknya, tak aneh jika penamaan getang satu sama lain menjadi berbeda sesuai bentuk dan "semangat" yang tersirat di dalamnya. Namun peniruan bentuk tentu saja tak terpungkir selalu ada, namun karena getang dibuat secara spontan tentulah memiliki perbedaan, maka orang akan menyebutnya "serupa tapi tak sama".
Ada lagi seorang memakai getang bertujuan untuk melakukan penghormatan terhadap orang lain. Hal ini berlaku ketika seseorang itu mengunjungi orang yang pernah memberinya hadiah berupa selembar kain, selendang atau seting, atau kain yang memang peruntukan getang itu sendiri. Maka kain pemberian itu bakal digetangkan di kepalanya sehingga si pemberi merasa senang bahwa hadiahnya telah diberlakukan secara istimewa.
Bagi orang Belitong di masa lampau hadiah "cita" (kain yang belum dijahit) merupakan hadiah yang sangat disukai. Lalu ia akan memerlakukan cita itu sebagai getang yang terjunjung di kepalanya. Tak aneh jika pertemuan kedua orang antara pemberi dan penerima bakal selalu penuh "suka cita".
S e b a g a i I d e n t i f i k a s i D e r a j a d d i M a s a n y a
Getang sebagai penutup kepala dari selembar kain yang diikat serta dibentuk sedemikian rupa tapi tak sama itu, bukan hanya karena demi keamanan seacara "kebatinan" namun juga disesuaikan secara fungsi serta derajat seseorang yang memakainya. Maka getang seorang pemimpin tentunya berbeda dengan bawahannya. Secara umum pun begitu, getang seorang peladang bisa saja berbeda dengan getang perasuk (pemburu).
Getang pelaut bisa berbeda dengan nelayan, getang seorang awam akan berbeda dengan para awang. Getang encik-encek akan berbeda dengan pakcik-makcik. Getang panglima bisa berbeda dengan laskar. Getang syarbandar bisa tak sama dengan saudagar, dan seterusnya.
Selain perbedaan pemakainya, tentulah juga dibedakan oleh bahan dan bentuk dari getang itu sendiri, misalnya seorang saudagar yang kaya biasa memiliki bahan getang yang terbuat dari kain mahal ketimbang seorang peladang atau pemburu. Selain itu, perbedaan yang lainnya tentulah berkait dengan adat (hukum atau aturan) Maka seorang di masa lampau ketika mengenakan getang akan sesuai siapa si pemakainya.
Namun seorang penguasa atau raja tentunya memiliki ketentuan yang sudah "dijenangkan" (dimaklumatkan) sehingga rakyat dapat mengetahuinya sebagai sebuah adat maka akan menjadi sebuah pelanggaran apabila ada yang meniru atau menyamai getang sang penguasa. Getang atau destar raja di tingkat vassal (wilayah bawahan) berbeda dengan raja di tingkat pusat atau otonom. (untuk di luar Belitong penyebutan "destar" tentu akan berbeda satu sama lainnya)
Maka atas derajat tersebut mulai dari para bangsawan, pengguruh, menteri, panglima dan laskar, syahbandar dan saudagar, juga para ngabehi, parong, batin, serta penduduk biasa, secara tradisional akan mengenakan getang yang berbeda satu dengan lainnya, baik jenis kain dan bentuk, bahkan warnanya. Dalam ketidaksamaan itu, akan lebih tampak tidak samanya ketika getang berhiaskan asesoris seperti peniti emas, perak, atau ikatan batu permata.
Perbedaan tersebut menandai status dan kehormatan seseorang yang mesti terjaga derajadnya maka tak heran etika tata krama dan tata busana menjadi adat ketat di zaman itu. Derajat tersebut menandai seseorang mesti tahu diri atau paham menempatkan posisinya di tengah masyarakat.