Mohon tunggu...
Ahong
Ahong Mohon Tunggu... -

?

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kwee Tek Hoay: Harta Terpendam Sastra Indonesia

25 Maret 2012   16:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:29 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Bisa dikatakan dari tahun 2004 ketika kami memilih memainkan naskah Melayu Tionghoa kami memiliki kenyamananan dan kami senang dalam eksplorasi karena bisa memberikan sesuatu yang beda. Nonton Cap Gomeh sudah 4 kali pentas, Boenga Roos dari Tjikembang lima kali. Naskah sekitar empat, bunga ros, nonton cap gomeh, zonder lentera dan pencuri hati.”

Bulan lalu Teater Bejana mementaskan Nonton Cap Gomeh di Gedung Kesenian Jakarta. Menurut asisten sutradara Hendra, penontonnya cukup banyak.

“Hari pertama mungkin cuman 35%, hari kedua makin meningkat. Hari ketiga lebih 80%. Hampir 300 dari kapasitas 470.”

Upaya memperkenalkan Kwee Tek Hoay juga ditempuh melalui penerbitan. Untuk memperingati 100 tahun kelahirannya, diterbitkan buku berjudul 100 Tahun Kwee Tek Hoay. Myra Sidharta, penyunting buku itu.

“Waktu tahun 87 kita baru dapat gagasan menerbitkan buku 100 tahun Kwee Tek Hoay. Saat itu kita minta berbagai macam penulis dari luar negeri, Claudine Salmon, Leo Suryadinata, untuk kirim tulisan mereka. Nah baru pada 1989 buku itu diluncurkan.”

Pax Benedanto, Penyunting Buku Kumpulan Sastra Melayu Tionghoa

Pax Benedanto, Penyunting Buku Kumpulan Sastra Melayu Tionghoa
Dari penerbitan 10 edisi kumpulan karya Kesasteraan Melayu Tionghoa, dua edisi khusus memuat karya Kwee Tek Hoay. Penyunting seri ini, Pax Benedanto.

“Dibilang paling sering, karena dia tokoh yang sangat produktif dalam kesasteraan melayu Tionghoa. Kita pilih jilid III Drama di Boeven Digoel kita terbitkan khusus. Tebalnya hampir 800 halaman. Itu dianggap sebagai salah satu puncak karya sastra Melayu Tionghoa.”

Selama masa produktifnya, Kwee menulis setidaknya 55 karya sastra, 73 buku keagamaan, dan tak terhitung esai-esainya. Ia sempat menjadi pemimpin redaksi di harian peranakan Sin Bin dan memimpin empat majalah lainnya.

Kwee Tek Hoay layak dikenang, bahkan kualitas karyanya dapat disandingkan dengan Pramoedya Ananta Toer, kata Dosen Sastra Indonesia Universitas Indonesia Ibnu Wahyudi. Pram adalah satu-satunya pengarang Indonesia yang berkali-kali masuk nominasi nobel sastra.

“Karya-karyanya sebagai karya sastra cukup tertib. Kalau kita ubah bahasa Melayu pasarnya menjadi bahasa Indoesia sekarang. Saya kira karyanya bisa mengiringi Pramoedya, terutama Drama di Boeven Digoel. Dalam hal membangun karya itu menjadi karya sastra, baik dalam memilih kata maupun membangun konflik dia cukup jeli.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun