Maladministrasi Pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) terhadap Keuangan Negara (Studi Kasus : Maladministrasi Seleksi Organ BUMD Kota Makassar)
Birokrasi sejatinya memiliki peran yang sangat penting guna mewujudkan pemerintahan serta pelayanan publik yang baik. Roskin menekankan bahwa birokrasi tidak hanya sekadar berbicara mengenai pelayanan publik yang baik, tetapi juga sebagai alat untuk melaksanakan keputusan politik pemerintah guna mewujudkan tujuan dan cita-cita negara, yaitu kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, birokrasi yang ada kerap tidak diimplementasikan secara baik, bahkan menimbulkan sejumlah perbuatan maladministrasi. Hal demikian, menurut Nurtjahjo, justru menjadi salah satu unsur pertama penghambat reformasi birokrasi. Salah satu contoh faktual maladministrasi dalam penyelenggaraan birokrasi adalah dalam pemilihan direksi dan dewan pengawas sebuah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kota Makassar. Kasus ini bermula ketika Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar menyelenggarakan seleksi terbuka untuk mengisi jabatan direksi dan dewan pengawas dari Perusahaan Umum Daerah Air Minum (PDAM) Kota Makassar, Perusahaan Perseroan Daerah (PD) Pasar Makassar Raya, PD Terminal Makassar Metro, PT Bank Pengkreditan Rakyat (Perseroda), dan PD Rumah Pemotongan Hewan Kota Makassar pada bulan Mei 2022.
Publik dikejutkan setelah mengetahui bahwa Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Makassar, M. Ansar, yang diamanatkan sebagai Ketua Tim Seleksi (Timsel) untuk melakukan Uji Kelayakan dan Kepatutan (UKK), justru lolos sebagai calon Dewan Pengawas PDAM Kota Makassar. Kemudian, diketahui pula bahwa Walikota Makassar, Danny Pomanto, meniadakan tahap wawancara kepada beberapa peserta seleksi. Ia beralasan bahwa banyak peserta seleksi merupakan orang-orang terdekatnya sehingga akan menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest). Atas kejadian tersebut, 4 orang peserta seleksi akhirnya mengadukan proses seleksi tersebut kepada Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Sulawesi Selatan atas dasar indikasi pelanggaran maladministrasi dan cacat prosedural. Pada akhirnya, ORI Perwakilan Sulawesi Selatan memberikan rekomendasi kepada Pemkot Makassar untuk memperbaiki prosedur tersebut, yaitu untuk melakukan wawancara dengan tenggat waktu 30 hari. Meskipun demikian, ORI Perwakilan tidak memberikan sanksi atau rekomendasi atas keikutsertaan Sekda sebagai peserta seleksi, meskipun ia merupakan ketua Timsel. Guna mengupas bentuk penyimpangan birokrasi yang terjadi, maka penting untuk melihat kesesuaian proses seleksi di atas dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara umum, persyaratan mengenai Direksi, Dewan Pengawas, dan anggota Komisaris diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah (PP 54/2017). Pasal 39 dan 58 PP Nomor 54 Tahun 2017 mengatur bahwa pemilihan organ perusahaan tersebut harus dilakukan melalui seleksi yang sekurang-kurangnya meliputi tahap UKK.
Dari kegiatan di atas, proses seleksi organ BUMD sejatinya merupakan bagian dari Government Activities dalam birokrasi publik, yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat untuk ikut serta dalam mengembangkan BUMD. Oleh karena itu, penting bagi Pemkot Makassar untuk memperhatikan asas-asas penting dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan, yaitu: (a) asas legalitas; (b) asas perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan (c) Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Pertama, asas legalitas berarti bahwa penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan mengedepankan dasar hukum dari sebuah Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Apabila ditinjau berdasarkan hukum yang berlaku, keikutsertaan Sekda sebagai peserta seleksi sekaligus ketua timsel sebenarnya tidak dilarang. Pasal 38 PP 54/2017 tidak memuat persyaratan bahwa anggota Dewan Pengawas/Komisaris tidak boleh berasal dari ASN atau perangkat daerah. Justru, PP yang sama mensyaratkan bahwa anggota tersebut memahami penyelenggaraan Pemerintah Daerah, kualitas yang dimiliki oleh Sekda. Pun tidak ada larangan bahwa anggota Timsel dalam UKK tidak boleh merangkap sebagai peserta. Oleh karena itu, persoalan keikutsertaan Sekda bukan merupakan persoalan hukum. Namun, terdapat benturan terhadap asas-asas lainnya.
Persoalan peniadaan wawancara oleh Walikota Makassar sejatinya tidak dapat dipungkiri sebagai bentuk pelanggaran dan penyimpangan hukum dan maladministrasi. Dari segi birokrasi publik, peniadaan tersebut justru merupakan penyimpangan birokrasi publik, sebab tidak memberikan pelayananan publik yang sesuai tujuan. Walikota Makassar sebagai birokrat tidak menunjukan perannya sebagai katalisator atau memberikan contoh yang baik bagi masyarakat maupun aparaturnya, yaitu dengan melakukan penyimpangan hukum tanpa alasan yang sah dan konstruktif. Kedua, peniadaan wawancara akhir terhadap peserta tertentu merupakan bentuk pelanggaran terhadap asas perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia. Dalam hal ini, Walikota Makassar tidak bersikap adil dan tidak memperlakukan peserta-peserta tertentu secara sama di hadapan hukum sebagaimana dituangkan dalam Pasal 28D Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Perilaku yang sama juga tercermin dalam keikutsertaan Sekda sebagai peserta. Meskipun bukanlah perbuatan melawan hukum, kedudukan Sekda yang memiliki kewenangan lebih untuk menentukan calon anggota yang lolos UKK sejatinya menunjukan ketidakadilan. Ketiga, peniadaan wawancara akhir terhadap orang-orang tertentu merupakan bentuk pelanggaran terhadap AUPB, yaitu asas kepastian hukum, asas kemanfaatan, asas ketidakberpihakan, asas tidak menyalahgunakan kewenangan, asas kepentingan umum, dan asas pelayanan yang baik. Hal ini juga masuk pada definisi Maladministrasi, yaitu perbuatan melawan hukum untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut dan menimbulkan kerugian, baik materiil maupun immateriil, kepada peserta seleksi lainnya. Selain itu, apabila ditinjau berdasarkan syarat pemenuhan birokrasi publik yang demokratis menurut Frederick C. Mosher, maka Walikota Makassar tidak cermat memperhatikan dua nilai yang saling berbenturan, yaitu efficiency dan equity. Secara sekilas, terdapat persoalan efisiensi dalam mewawancarai orang terdekat Walikota, sebab Walikota tersebut pastinya sudah tahu kepribadian, performa, hingga gagasan yang dibawa sehingga mubazir agaknya untuk melakukan wawancara akhir.Â
Namun, dalam kasus a quo, hal efficiency sebenarnya bukanlah hal yang patut dipermasalahkan, sebab tidak ada hambatan ataupun kerugian yang dapat menghambat birokrasi publik. Seharusnya, Walikota Makassar tetap bersikap profesional dan berusaha memperhatikan prinsip equity terhadap peserta lainnya, sebab ia tahu bahwa ia akan bersikap biasa terhadap peserta tertentu. Adapun terdapat kritik terhadap tanggapan dan rekomendasi ORI. Terlihat bahwa ORI menutup mata terhadap dugaan maladministrasi berupa partisipasi Sekda sebagai peserta dan tim seleksi. Sebagaimana telah diungkapkan, partisipasi tersebut bukan perbuatan melawan hukum. Namun, keikutsertaan tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap asas ketidakberpihakan, asas tidak menyalahgunakan kewenangan, dan asas kepentingan umum sebagaimana tertuang dalam Pasal 10 UU Nomor 30 Tahun 2014. Â Tidak dapat dipungkiri bahwa timbul pula conflict of interest dalam diri Sekretaris Daerah (Sekda) tersebut. Sekda akan lebih mengutamakan dirinya, pun kenyataannya Sekda tersebut lolos sebagai Calon Anggota Dewan Pengawas. Lebih lanjut, perbuatan demikian juga masuk pada definisi maladministrasi, yaitu menggunakan wewenang untuk tujuan lain (meloloskan diri sendiri) dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut dan menimbulkan kerugian, baik materiil maupun immateriil, kepada peserta seleksi lainnya. Oleh karena itu, ORI juga keliru dalam memberikan rekomendasi dan tanggapan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saat ini Keberadaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) belum memiliki dasar hukum yang tegas dan kuat. Perlunya dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi produk hukum yang mengatur tentang pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) . Sinkronisasi dan harmonisasi dilakukan dengan cara vertikal dan horizontal terkait produk hukum yang mengatur tentang BUMD dari produk hukum tertinggi sampai tingkatan yang paling rendah. Besarnya kewenangan kepala daerah, perlu dimitigasi sehingga dapat mengurangi terjadinya penyalahgunaan wewenang (conflict of interest) sebagaimana yang telah dijabarkan dalam studi kasus di atas.
Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, BUMD memiliki peran yang sangat penting baik dalam penyelenggaraan pelayanan umum maupuk perekonomian daerah. Namun, dalam pelaksanaanya, BUMD harus dipertegas dan diperketat keberadaanya sehingga bisa menjalankan sebagaimana tujuan di awal, dan memperkecil terjadinya kerugian negara.
Saran