Hampir tidak ada yang bertanya, "Apa nilai yang ingin diangkat dari Pasar Papringan?" atau "Apa filosofi yang ingin dikomunikasikan?"
Di Ngadiprono, saya menemukan jawaban yang berbeda. Jawaban yang bukan terletak pada omzet - meskipun saya yakin setiap pagelarannya saban Minggu Wage dan Pon, omzet Pasar Papringan tidak kurang dari 20 juta - tapi pada nilai dan keunikan desa yang ingin dikomunikasikan oleh para penggeraknya.
Berbeda dengan banyak desa wisata yang terjebak dalam "demam omzet," bahkan tidak jarang kita dengar praktik nuthuk harga parkir, nuthuk harga makanan di luar nurul, dan seterusnya, Pasar Papringan memilih jalannya sendiri.
Di sini, para penggerak, yang mayoritas adalah pemuda desa, sadar bahwa kekayaan desa terletak pada pengangkatan potensi lokal.
Ada problem paling pelik di masyarakat pedesaan saat ini, terutama pemuda desa yang memaksa diri untuk menjadi gelandangan di kota, alasannya sebab desa "tidak bisa bikin mereka kaya".
Nah, menariknya, para penggerak Pasar Papringan justru anak-anak muda. Pendekatan mereka sederhana: di sana ada Papringan atau kebun bambu yang selama ini tidak dimanfaatkan optimal, ada makanan yang hampir punah, dan lain sebagainya, dan para penggerak ini sadar betul akan potensi tersebut.
Keunikan inilah yang menjadi daya tarik utama Pasar Papringan, bukan imitasi budaya luar.
Alih-alih membangun kincir angin Belanda mini, atau menulis "Pennsylvania van Java," mereka justru mengangkat identitas asli desa mereka, yaitu Pasar Kebun Bambu atau Pasar Papringan [mhg].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H