Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Travel Writer

Lahir di Aceh, Terinspirasi untuk Menjelajahi Indonesia dan Berbagi Cerita Melalui Karya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Belajar dari Pasar Papringan: Tips Membangun Desa Wisata Berkarakter

22 Juli 2024   10:38 Diperbarui: 22 Juli 2024   13:40 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Momen Najwa Shihab mengunjungi Pasar Papringan. Foto milik Instagram @pasarpapringan.

SETELAH berhasil mendapatkan tempat parkir di antara lautan mobil dan kendaraan bermotor lainnya, kami disambut oleh bentangan hutan bambu seluas kurang lebih 2500 meter persegi. 

Minggu, 21 Juli 2024, desiran angin membuat daun-daun bambu menari-nari, menciptakan irama alam yang menenangkan.

Setelah melewati jalanan setapak berkelok, di ujung pandang, sebuah gerbang dari bambu dengan tulisan "Pasar Papringan Ngadiprono" berdiri kokoh, mengundang pelancong seperti saya untuk masuk ke dalam mesin waktu.

Memasuki gerbang itu, bagi yang ingin berbelanja atau sekadar mencecap jajanan khas, diharuskan melewati loket pertukaran uang, mirip-mirip money changer tapi dengan nuansa Jawa tempo dulu.


Pelancong harus menukar uang rupiah dengan mata uang yang disebut "pring" – koin bambu.

Pring ini bercap "Pasar Papringan" di satu sisi dan nilai mata uang di sisi lainnya. 

Satu pring memiliki nominal terkecil Rp2.000, dengan kelipatan Rp20.000 dan Rp50.000.

Daftar harga pun menyesuaikan dengan alat pembayaran ini; misalnya, makanan berat dihargai 2-6 pring, sementara produk kerajinan bisa mencapai 15 pring. 

Jika kamu tidak memiliki uang tunai, tersedia juga pilihan penukaran melalui QRIS—sebuah kombinasi tradisional dan modern yang unik.

Dengan koin pring di genggaman, kamu bisa berkelana rasa berbagai penganan, kudapan, dan minuman langka!

Ada gemblong dari tepung ketan berlapis gula merah, mendut, glanggem, jenang, srowol, kimpul kukus, lentheng, sego jagung, lontong mangut, dan kopi Temanggung yang pahit manja itu.

Di Pasar Papringan, kamu juga bisa menemukan kerajinan bambu, terutama cendera mata, serta hasil pertanian dan peternakan penduduk desa seperti cabai, sayur-mayur, wedus, hingga kelinci.

Para penjual mengenakan pakaian adat Jawa. Petunjuk arah dan plang informasi di pasar ini pun tak kalah antik, terbuat dari tampah dengan tiang bambu.

Nuansa tempo dulu di pasar ini semakin diperkuat dengan adanya pertunjukan gamelan secara langsung.

Penyajian makanan di sini sepenuhnya tanpa plastik. 

Para penjual menggunakan keranjang anyaman pring, bathok kelapa, daun pisang, daun jati, piring rotan, dan kendil, serta memasak dengan tungku tanah liat dan kayu bakar.

DI ANTARA berbagai keotentikan di Pasar Papringan, trasah batu adalah salah satu yang paling meninggalkan kesan mendalam dalam pengalaman saya.

Trasah batu merupakan salah satu bentuk kearifan lokal dalam teknik pengerasan tanah. Dibangun dengan memanfaatkan bahan dan teknologi setempat, trasah batu ini tak hanya kuat dan tahan lama, tetapi juga ramah lingkungan.

Sehingga, jika terjadi kerusakan, warga desa dapat memperbaikinya sendiri.

Lalu, apanya yang spesial Mahéng?

Nah, di sinilah poin saya. Banyak sekali desa wisata yang membuat saya jenuh sebab terkesan dibuat-buat dan dipaksakan.

Misalnya, kini banyak desa wisata yang memaksakan konsep yang sering kali menjiplak desa wisata lainnya, melupakan potensi unik dari desa itu sendiri. 

Bahkan, ada yang membangun markah tanah (landmark) dari negara lain dan mencantumkan embel-embel seperti "Van Java" untuk menarik perhatian, seolah-olah destinasi tersebut harus "berpenampilan asing" agar laku.

Pasar Papringan Ngadiprono adalah sebuah museum hidup yang menyimpan kekayaan budaya dan tradisi. Trasah batu, sistem pengerasan tanah tradisional, menjadi bukti nyata kearifan lokal dan kemandirian desa.

Pengunjung diajak untuk menyelami kehidupan masyarakat akar rumput, bukan sekadar foto-foto cantik untuk dipajang di media sosial, tetapi pengalaman budaya yang mendalam. Di sini, kita diajak untuk percaya diri dengan potensi desa kita sendiri.

Penting untuk kita sadari bahwa kemajuan sebuah desa tidak harus mengikuti pola "seperti di kota."

Mengutip dari buku Global Paradox karya John Naisbitt, di era globalisasi ini, kita akan melihat arus balik lokalitas. 

Ketika masyarakat urban sudah jenuh dengan individualitas, gedung-gedung dan tingkat kriminalitas yang tinggi, inilah saatnya desa-desa tampil dengan kearifannya sendiri. 

Desa tidak perlu meniru kota untuk dianggap maju. Sebaliknya, justru dengan memelihara dan merayakan kekhasan lokal, desa bisa menunjukkan bahwa kemajuan juga bisa berarti mempertahankan identitas dan tradisi yang otentik.

Suasana Pasar Papringan. Foto: Instagram @pasarpapringan
Suasana Pasar Papringan. Foto: Instagram @pasarpapringan

TUJUAN utama saya ke Pasar Papringan adalah untuk bertemu dengan Singgih Susilo Kartono dan Wening Lastri, dua tokoh yang memiliki peranan penting terhadap kokohnya keberadaan Pasar Papringan selama sewindu.

Ada beberapa pengunjung yang juga mendatangi mereka. Saya menaruh syak mereka adalah para penggiat desa wisata, tapi pertanyaan yang sering terdengar dan mengganggu telinga saya adalah "Berapa omzetnya?"

Hampir tidak ada yang bertanya, "Apa nilai yang ingin diangkat dari Pasar Papringan?" atau "Apa filosofi yang ingin dikomunikasikan?"

Di Ngadiprono, saya menemukan jawaban yang berbeda. Jawaban yang bukan terletak pada omzet - meskipun saya yakin setiap pagelarannya saban Minggu Wage dan Pon, omzet Pasar Papringan tidak kurang dari 20 juta - tapi pada nilai dan keunikan desa yang ingin dikomunikasikan oleh para penggeraknya.

Berbeda dengan banyak desa wisata yang terjebak dalam "demam omzet," bahkan tidak jarang kita dengar praktik nuthuk harga parkir, nuthuk harga makanan di luar nurul, dan seterusnya, Pasar Papringan memilih jalannya sendiri. 

Di sini, para penggerak, yang mayoritas adalah pemuda desa, sadar bahwa kekayaan desa terletak pada pengangkatan potensi lokal.

Ada problem paling pelik di masyarakat pedesaan saat ini, terutama pemuda desa yang memaksa diri untuk menjadi gelandangan di kota, alasannya sebab desa "tidak bisa bikin mereka kaya". 

Nah, menariknya, para penggerak Pasar Papringan justru anak-anak muda. Pendekatan mereka sederhana: di sana ada Papringan atau kebun bambu yang selama ini tidak dimanfaatkan optimal, ada makanan yang hampir punah, dan lain sebagainya, dan para penggerak ini sadar betul akan potensi tersebut.

Keunikan inilah yang menjadi daya tarik utama Pasar Papringan, bukan imitasi budaya luar. 

Alih-alih membangun kincir angin Belanda mini, atau menulis "Pennsylvania van Java," mereka justru mengangkat identitas asli desa mereka, yaitu Pasar Kebun Bambu atau Pasar Papringan [mhg].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun