Misalnya, kini banyak desa wisata yang memaksakan konsep yang sering kali menjiplak desa wisata lainnya, melupakan potensi unik dari desa itu sendiri.
Bahkan, ada yang membangun markah tanah (landmark) dari negara lain dan mencantumkan embel-embel seperti "Van Java" untuk menarik perhatian, seolah-olah destinasi tersebut harus "berpenampilan asing" agar laku.
Pasar Papringan Ngadiprono adalah sebuah museum hidup yang menyimpan kekayaan budaya dan tradisi. Trasah batu, sistem pengerasan tanah tradisional, menjadi bukti nyata kearifan lokal dan kemandirian desa.
Pengunjung diajak untuk menyelami kehidupan masyarakat akar rumput, bukan sekadar foto-foto cantik untuk dipajang di media sosial, tetapi pengalaman budaya yang mendalam. Di sini, kita diajak untuk percaya diri dengan potensi desa kita sendiri.
Penting untuk kita sadari bahwa kemajuan sebuah desa tidak harus mengikuti pola "seperti di kota."
Mengutip dari buku Global Paradox karya John Naisbitt, di era globalisasi ini, kita akan melihat arus balik lokalitas.
Ketika masyarakat urban sudah jenuh dengan individualitas, gedung-gedung dan tingkat kriminalitas yang tinggi, inilah saatnya desa-desa tampil dengan kearifannya sendiri.
Desa tidak perlu meniru kota untuk dianggap maju. Sebaliknya, justru dengan memelihara dan merayakan kekhasan lokal, desa bisa menunjukkan bahwa kemajuan juga bisa berarti mempertahankan identitas dan tradisi yang otentik.
TUJUAN utama saya ke Pasar Papringan adalah untuk bertemu dengan Singgih Susilo Kartono dan Wening Lastri, dua tokoh yang memiliki peranan penting terhadap kokohnya keberadaan Pasar Papringan selama sewindu.
Ada beberapa pengunjung yang juga mendatangi mereka. Saya menaruh syak mereka adalah para penggiat desa wisata, tapi pertanyaan yang sering terdengar dan mengganggu telinga saya adalah "Berapa omzetnya?"