Dalam Amanat Presiden pada ulang tahun proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus 1957, Bung Karno mengingatkan akan pentingnya bangsa Indonesia 'memerangi' diri sendiri, terkait dengan penurunan kesadaran nasional kita. Negara kita dibangun berdasarkan asas gotong royong, namun semakin berkurangnya 'rasa harkat nasional', semakin berkurangnya national dignity, dan semakin berkurangnya rasa bangga dan rasa hormat terhadap kemampuan dan kepribadian bangsa dan rakyat sendiri.
Sebab utama yang membuat manusia-bangsa Indonesia tidak berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan adalah karena manusia-bangsa Indonesia secara umum tidak mengenali diri sendiri, lemah pendirian, lemah kepribadian, dan ujungnya kurang mampu mengaktualisasikan diri.
Jika disederhanakan, manusia-bangsa Indonesia tidak memiliki mentalitas kemandirian.
Karena tidak memiliki mentalitas-karakter kemandirian, perilaku manusia-bangsa Indonesia cenderung terperangkap dalam dua pilihan ekstrem: meniru apa yang bangsa lain lakukan, yang mendorong mentalitas konformis; atau melakukan apa yang diinginkan oleh bangsa lain, yang menyuburkan mentalitas pecundang.
Adapun agen utama untuk tata nilai (mental-karakter ) ini adalah komunitas pendidikan dan pengetahuan (Kemendikbudristek, komunitas sekolah, agama, adat-budaya, dan sebagainya).
Penjelasan mengenai dimensi institusional-politikal telah dikemukakan oleh Daron Acemoğlu dan James A. Robinson dalam karya mereka yang berjudul Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty.
Mereka berpendapat bahwa akar kegagalan suatu negara-bangsa bukan terletak pada kekurangan sumber daya atau adidaya, tetapi lebih disebabkan oleh kesalahan dalam desain dan pengelolaan kelembagaan pemerintahan.
Dalam mewujudkan hal tersebut, prinsip dan model tata kelola kelembagaan sosial politik Indonesia tidak boleh diadopsi secara sembarangan atau sekadar meniru dari pengalaman bangsa lain. Sebaliknya, harus dipertimbangkan dengan saksama melalui penyaringan pengalaman sejarah dan budaya kita sendiri, dengan berlandaskan pada Pancasila.
Seperti yang dikemukakan oleh Soepomo dalam sidang BPUPKI, tidaklah cukup hanya memiliki nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 yang tinggi dalam tulisan belaka. Jauh lebih penting adalah ketulusan dan kesungguhan dalam menerapkan nilai-nilai tersebut dalam pelaksanaan negara.
Dalam hal ini, Pancasila harus menjadi dasar dalam penyusunan kurikulum pendidikan secara umum, serta pendidikan kewarganegaraan secara khusus.
Selama ini, banyak guru yang mengajar pendidikan moral Pancasila seperti seorang dokter yang memberikan resep kepada pasien yang sakit. Namun, sayangnya petunjuk resep tersebut tidak diikuti oleh pasien dengan minum obatnya; bahkan mereka enggan untuk membeli obat tersebut. Sebagai guru, tugasnya bukan hanya memberikan pendidikan moral Pancasila, tetapi juga membudayakan karakter pancasila melalui contoh nyata.