Sayangnya, situasinya telah berubah sekarang. Semangat multikulturalisme dan kehidupan harmonis yang didukung oleh pertemuan lintas budaya dan persilangan agama telah digantikan oleh sikap monokulturalisme.
Masyarakat cenderung membatasi interaksi hanya dalam kelompok etnis atau agama mereka sendiri yang eksklusif. Akibatnya, timbul sikap curiga dan ketidakpercayaan terhadap kelompok yang berbeda, bahkan menganggap keberadaan mereka sebagai ancaman.
Fenomena ini juga terjadi di lingkungan universitas. Bahkan ketika saya masih menjadi mahasiswa di bawah bimbingan Prof. M. Amin Abdullah, beliau sering mengingatkan kita tentang paradoks yang ada dalam diri kita sebagai warga Indonesia yang menjunjung tinggi agama, namun seringkali enggan untuk saling menghormati, bahkan hanya dalam hal sekecil bersalaman dengan orang yang berasal dari organisasi yang berbeda.
Salah satu contohnya terjadi saat pelaksanaan pemilihan umum di kampus, saya telah menyaksikan sendiri, ada mahasiswa yang berbeda organisasi dan berbeda pilihan calon Presiden Mahasiswa dipukul hingga berdarah.
Menurut berbagai penelitian sosiologi menunjukkan bahwa pengikut fundamentalisme agama umumnya berasal dari individu yang hidup dalam lingkaran sosial yang tertutup dengan keagamaan yang juga tertutup, seperti yang terjadi dalam fenomena 'tepuk anak saleh' yang tidak menghargai keragaman.
Contoh lain seperti kendala dalam pembangunan tempat ibadah dan serangan terhadap kelompok minoritas sering kali mencerminkan terhambatnya hubungan antarindividu, tetapi juga antara sesama warga bangsa dan negara.
Di sinilah letak masalahnya, setelah beberapa dekade sejak lahirnya Pancasila, keagungan nilai-nilainya sebagai landasan dan pedoman hidup (weltanschauung) terus menjadi impian karena kekurangan kemampuan kita untuk mengaktualisasikannya.
Setiap pandangan dunia atau weltanschauung, seperti Pancasila, yang ingin memiliki pengaruh yang efektif dalam kehidupan, tidak dapat diindoktrinasi hanya dalam bentuk upacara, menghafal teks Pancasila, atau menempelkan simbol-simbol Garuda di setiap sudut ruangan.
Yang dibutuhkan adalah proses yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai "pengakaran". Proses ini melibatkan tiga dimensi ideologi: keyakinan (mitos), penalaran (logos), dan perjuangan (etos).
Pengakaran ideologi Pancasila melibatkan pemahaman yang mendalam, bukan hanya pada tingkat pengetahuan, tetapi juga dalam tingkat penghayatan yang mempengaruhi cara kita berpikir, merasakan, dan bertindak.
Keyakinan yang kuat dalam nilai-nilai Pancasila, didukung oleh penalaran yang rasional, harus diwujudkan melalui perjuangan nyata dalam kehidupan sehari-hari.