Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Author

Redaktur di Gusdurian.net dan CMO di Tamasya Buku. Penulis feature dan jurnalisme narasi di berbagai media.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Krisis Multikulturalisme: Transformasi Pendidikan dan Pengakaran Ideologi Pancasila

4 Juni 2023   12:34 Diperbarui: 4 Juni 2023   12:42 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (KOMPAS/JITET)

Permulaan tahun 2020, sebuah SD Negeri di Yogyakarta menjadi sorotan setelah viralnya yel-yel ‘tepuk anak saleh’. Yel-yel kontroversial ini diajarkan oleh seorang pembina Pramuka kepada anak-anak di SD tersebut.

Kasus ini terjadi dalam rangka acara Kursus Mahir Lanjutan (KML) Pramuka yang digelar oleh Kwartir Cabang Kota Yogyakarta, di mana anak-anak peserta Pramuka diperkenalkan dengan yel-yel yang mencetuskan intoleransi: "Islam, Islam, yes! Kafir, kafir, no!"

Tidak hanya terbatas pada lingkungan Pramuka, ternyata yel-yel 'anti-kafir' ini menyentuh berbagai aspek kehidupan sehari-hari.

Bahkan, saya masih teringat betapa terkejutnya ketika saya pulang dari kampus saat masih jadi mahasiswa, saya mendengar secara langsung suara yel-yel tersebut berasal dari sebuah rumah ibadah yang ternyata juga digunakan sebagai tempat pendidikan agama.

Dosen saya saat itu seringkali menyinggung masalah ini di kelas-kelasnya, dengan pesan yang tegas agar yel-yel "Islam, Islam, yes! Kafir, kafir, no!" tidak lagi terdengar.

Dalam buku Wawasan Pancasila: Bintang Penuntun untuk Pembudayaan Edisi Komprehensif, Yudi Latif menyampaikan pandangannya yang sejalan dengan situasi pendidikan saat ini.

Dunia pendidikan merupakan jendela keterbukaan yang memungkinkan pergaulan lintas budaya dan pertukaran pemikiran. Namun, sayangnya, kita saat ini menghadapi gejala pengerdilan dalam sistem pendidikan.

Salah satu faktornya adalah melemahnya minat baca dan kehilangan kecakapan dalam memperoleh pengetahuan, yang akhirnya mempersempit pemahaman dan mengaburkan sikap empati terhadap perbedaan.

Menurut Yudi Latif, pembangunan mental dan karakter bangsa ini berawal dari asumsi bahwa perubahan mentalitas (pola pikir, mindset) akan menghasilkan perubahan perilaku. Perilaku yang terus diulang akan menjadi kebiasaan, dan kebiasaan yang terus dipertahankan akan membentuk karakter. 

Selanjutnya, Yudi Latif mengungkapkan bahwa moralitas tidak diajarkan (taught), tetapi ditangkap (caught) melalui pengamatan. Kehidupan di dalam kelas dengan praktik 'tepuk anak saleh' dapat membentuk karakter siswa yang intoleran, karena siswa menangkap sikap intoleran dari perilaku guru mereka.

Inilah mengapa Pancasila menjadi landasan yang kuat untuk mengantisipasi potensi meningkatnya fundamentalisme dan terorisme yang menggunakan agama sebagai dalih. Pancasila juga berperan penting dalam menjaga keharmonisan dalam keragaman Indonesia.

Sila pertama Pancasila menegaskan prinsip sosio-religius yang penuh kebaikan, kasih sayang, dan kerelaan. Penting bagi komunitas agama untuk tidak mengklaim pandangan mereka sebagai satu-satunya yang absah, sehingga tidak ada pemaksaan terhadap komunitas agama lainnya.

Negara Indonesia haruslah menjadi tempat di mana setiap individu bebas menyembah Tuhannya dengan cara yang mereka yakini. Seluruh rakyat harus memiliki pemahaman tentang Tuhan yang luhur dan memiliki etika yang tinggi, serta saling menghormati dalam hubungan beragama.

Seperti yang dinyatakan oleh Bung Karno, "Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya berTuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiadanya ‘egoisme-agama’ ... Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain."

Eksklusi sosial yang terjadi akibat fenomena 'tepuk anak saleh' merupakan hasil dari perkembangan pemahaman, penghayatan, dan pengalaman keagamaan yang tidak lagi mencerminkan semangat "Ketuhanan yang berkeadaban" yang luas dan toleran.

Agama hanya terbatas pada aspek formalisme peribadatan yang tampak di permukaan, Meminjam istilah A. Mustofa Bisri dalam bukunya Saleh Ritual Saleh Sosial. Kehidupan beragama saat ini sebatas pada tingkat "saleh ritual" saja, tanpa memperhatikan aspek "saleh secara sosial".

Untuk keluar dari krisis ini, Indonesia membutuhkan tidak hanya transformasi institusional di lembaga pendidikan, tetapi juga transformasi spiritual yang melibatkan seluruh warga negara, terutama guru dan orang tua sebagai pendidik.

Kita perlu mengarahkan masyarakat ke dalam kehidupan yang etis dan memiliki sikap welas asih.

Dalam proses transformasi ini, seperti yang disoroti oleh Karen Armstrong dalam buku The Great Transformation, persoalan agama tidak hanya berhenti pada apa yang kita percayai, tetapi lebih pada apa yang kita lakukan.

Oleh karena itu, kita perlu menjadi "saleh secara ritual" dan menjadikan pengalaman keagamaan sebagai dasar untuk berperilaku "saleh secara sosial" dalam kehidupan publik.

Clifford Geertz (1963) pernah menggambarkan Indonesia sebagai anggur tua yang terkandung dalam botol baru. Meskipun istilah "Indonesia" sebagai bentuk nasionalisme politik baru diperkenalkan pada tahun 1920-an, keragaman masyarakatnya telah ada sejak ribuan tahun di Nusantara yang kita kenal dengan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" (Berbeda-beda tetapi tetap satu).

Sayangnya, situasinya telah berubah sekarang. Semangat multikulturalisme dan kehidupan harmonis yang didukung oleh pertemuan lintas budaya dan persilangan agama telah digantikan oleh sikap monokulturalisme.

Masyarakat cenderung membatasi interaksi hanya dalam kelompok etnis atau agama mereka sendiri yang eksklusif. Akibatnya, timbul sikap curiga dan ketidakpercayaan terhadap kelompok yang berbeda, bahkan menganggap keberadaan mereka sebagai ancaman.

Fenomena ini juga terjadi di lingkungan universitas. Bahkan ketika saya masih menjadi mahasiswa di bawah bimbingan Prof. M. Amin Abdullah, beliau sering mengingatkan kita tentang paradoks yang ada dalam diri kita sebagai warga Indonesia yang menjunjung tinggi agama, namun seringkali enggan untuk saling menghormati, bahkan hanya dalam hal sekecil bersalaman dengan orang yang berasal dari organisasi yang berbeda. 

Salah satu contohnya terjadi saat pelaksanaan pemilihan umum di kampus, saya telah menyaksikan sendiri, ada mahasiswa yang berbeda organisasi dan berbeda pilihan calon Presiden Mahasiswa dipukul hingga berdarah.

Menurut berbagai penelitian sosiologi menunjukkan bahwa pengikut fundamentalisme agama umumnya berasal dari individu yang hidup dalam lingkaran sosial yang tertutup dengan keagamaan yang juga tertutup, seperti yang terjadi dalam fenomena 'tepuk anak saleh' yang tidak menghargai keragaman.

Contoh lain seperti kendala dalam pembangunan tempat ibadah dan serangan terhadap kelompok minoritas sering kali mencerminkan terhambatnya hubungan antarindividu, tetapi juga antara sesama warga bangsa dan negara.

Di sinilah letak masalahnya, setelah beberapa dekade sejak lahirnya Pancasila, keagungan nilai-nilainya sebagai landasan dan pedoman hidup (weltanschauung) terus menjadi impian karena kekurangan kemampuan kita untuk mengaktualisasikannya.

Setiap pandangan dunia atau weltanschauung, seperti Pancasila, yang ingin memiliki pengaruh yang efektif dalam kehidupan, tidak dapat diindoktrinasi hanya dalam bentuk upacara, menghafal teks Pancasila, atau menempelkan simbol-simbol Garuda di setiap sudut ruangan.

Yang dibutuhkan adalah proses yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai "pengakaran". Proses ini melibatkan tiga dimensi ideologi: keyakinan (mitos), penalaran (logos), dan perjuangan (etos).

Pengakaran ideologi Pancasila melibatkan pemahaman yang mendalam, bukan hanya pada tingkat pengetahuan, tetapi juga dalam tingkat penghayatan yang mempengaruhi cara kita berpikir, merasakan, dan bertindak.

Keyakinan yang kuat dalam nilai-nilai Pancasila, didukung oleh penalaran yang rasional, harus diwujudkan melalui perjuangan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Pada sisi ini, sangat penting bagi bangsa Indonesia untuk diyakinkan bahwa, seperti yang diungkapkan oleh John Garner, "tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya pada sesuatu, dan jika sesuatu yang mereka yakini tidak memiliki dimensi moral yang kuat untuk menopang peradaban yang besar."

Masih sejalan dengan pernyataan John Garner, saya teringat dengan pernyataan tajam Prof. Salim Said dalam Program TV Indonesia Lawyers Club tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Pernyataannya menghadirkan pertanyaan yang menggugah: Mengapa Indonesia belum mencapai kemajuan sebanding dengan negara-negara lain?

Prof. Salim Said secara tajam mengajukan pertanyaan mengapa negara seperti Singapura, Korea Selatan, Taiwan, dan Israel berhasil mencapai kemajuan yang signifikan.

Salah satu faktornya adalah adanya ketakutan yang mendorong mereka untuk berinovasi dan berkembang. Taiwan takut akan ancaman dari Cina daratan, Korea Selatan takut akan Korea Utara, Singapura takut karena mayoritas penduduknya Tionghoa berada di tengah-tengah masyarakat Melayu, dan Israel takut karena terletak di tengah-tengah masyarakat Arab.

Mereka menyadari bahwa jika mereka tidak menjadi kuat dan unggul, mereka dapat dilibas oleh tekanan eksternal yang ada.

Namun, Indonesia jangankan Pancasila, Tuhan pun tidak ditakuti.

PANCASILA TIDAK CUKUP HANYA MENJADI KLAIM, dihafal, dan diupacarakan, tetapi harus benar-benar dibudayakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Paradigma "Pelajar Pancasila" yang diperkenalkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) memiliki beberapa nilai inti yang sangat dijunjung tinggi.

Pertama, peserta didik diharapkan memiliki moralitas yang baik dan taat terhadap agama, yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia.

Selain itu, mereka juga diharapkan mampu berpikir secara kritis, memiliki kreativitas yang berkembang, dan memiliki kemampuan untuk aktif mencari ilmu secara mandiri. Selanjutnya, nilai gotong royong juga menjadi bagian penting dalam paradigma ini, di mana peserta didik diajarkan untuk saling membantu dan bekerja sama.

Peserta didik diharapkan mencintai budaya Indonesia namun tetap terbuka dan menghargai keberagaman budaya lain di tingkat global (Kebhinekaan Global). Melalui pendekatan ini, kita dapat mempersiapkan peserta didik untuk menjadi individu yang tangguh, beretika, dan mampu berkontribusi secara positif dalam masyarakat.

Pandangan yang disampaikan oleh John Garner, yang dibahas oleh Kuntowijoyo, yang dijelaskan oleh Prof. Salim Said, dan yang diprogramkan oleh Kemendikbudristek, sesuai dengan konsep yang diungkapkan oleh Yudi Latif, mengacu pada "pembudayaan Pancasila". 

Pembudayaan Pancasila mencakup tiga dimensi dalam kehidupan peradaban, yaitu dimensi mental-karakter (mental-spiritual), dimensi institusional-politikal, dan dimensi material-teknologikal.

Penjelasan tentang dimensi mental-karakter meminjam argumentasi yang dikemukakan oleh Arnold Joseph Toynbee dalam bukunya A Study of History.

Toynbee menyelidiki faktor-faktor kebangkitan dan kejatuhan berbagai peradaban. Ia menyimpulkan bahwa disintegrasi peradaban terkait dengan melemahnya visi mental-spiritual dari peradaban tersebut.  

Pemikiran ini sejalan dengan argumen yang diajukan oleh Oswald Spengler dalam bukunya The Decline of the West, yang mengidentifikasi kemunduran peradaban Barat sebagai akibat dari hilangnya "jiwa" budaya (spirit, etos, etika, mindset) yang merupakan elemen krusial dalam peradaban.

Sedemikian pentingnya nilai karakter bagi eksistensi seseorang atau sekelompok orang, sehingga dalam peribahasa Inggris dikatakan, when wealth is lost, nothing is lost; when healt is lost, something is lost; when character is lost, everything is lost.

Tanpa kekuatan karakter, Indonesia adalah bangsa besar bermental kecil; bangsa besar yang mengidap perasaan rendah diri.

Karena itulah sebabnya, mengapa Bung Karno sangat menekankan program nation and character building. Indonesia adalah bangsa yang besar namun bermental kecil, abdikrat. Akibatnya, terbentuklah mentalitas pecundang dan tidak memiliki kepercayaan diri (self-confidence).

Saya setuju dengan pendapat Bung Karno mengenai ketidakberesan dalam mental bangsa kita. Contohnya, pada bulan Februari lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan kekhawatirannya terhadap para penerima Beasiswa LPDP yang semakin pintar namun enggan kembali ke Indonesia. 

Banyak dari mereka enggan berkontribusi, dan alasan mereka serupa dengan apa yang pernah disampaikan oleh Bung Karno, yaitu adanya mentalitas budak (inferior), "lebih baik kita membuka hutan kita dan menggaruk tanah kita dengan jari sepuluh dan kuku kita ini daripada menjual serambut kemerdekaan kita ini untuk dolar, untuk rubel."

Dalam Amanat Presiden pada ulang tahun proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus 1957, Bung Karno mengingatkan akan pentingnya bangsa Indonesia 'memerangi' diri sendiri, terkait dengan penurunan kesadaran nasional kita. Negara kita dibangun berdasarkan asas gotong royong, namun semakin berkurangnya 'rasa harkat nasional', semakin berkurangnya national dignity, dan semakin berkurangnya rasa bangga dan rasa hormat terhadap kemampuan dan kepribadian bangsa dan rakyat sendiri.

Sebab utama yang membuat manusia-bangsa Indonesia tidak berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan adalah karena manusia-bangsa Indonesia secara umum tidak mengenali diri sendiri, lemah pendirian, lemah kepribadian, dan ujungnya kurang mampu mengaktualisasikan diri.

Jika disederhanakan, manusia-bangsa Indonesia tidak memiliki mentalitas kemandirian.

Karena tidak memiliki mentalitas-karakter kemandirian, perilaku manusia-bangsa Indonesia cenderung terperangkap  dalam dua pilihan ekstrem: meniru apa yang bangsa lain lakukan, yang mendorong mentalitas konformis; atau melakukan apa yang diinginkan oleh bangsa lain, yang menyuburkan mentalitas pecundang. 

Adapun agen utama untuk tata nilai (mental-karakter ) ini adalah komunitas pendidikan dan pengetahuan (Kemendikbudristek, komunitas sekolah, agama, adat-budaya, dan sebagainya).

Penjelasan mengenai dimensi institusional-politikal telah dikemukakan oleh Daron Acemoğlu dan James A. Robinson dalam karya mereka yang berjudul Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty

Mereka berpendapat bahwa akar kegagalan suatu negara-bangsa bukan terletak pada kekurangan sumber daya atau adidaya, tetapi lebih disebabkan oleh kesalahan dalam desain dan pengelolaan kelembagaan pemerintahan.

Dalam mewujudkan hal tersebut, prinsip dan model tata kelola kelembagaan sosial politik Indonesia tidak boleh diadopsi secara sembarangan atau sekadar meniru dari pengalaman bangsa lain. Sebaliknya, harus dipertimbangkan dengan saksama melalui penyaringan pengalaman sejarah dan budaya kita sendiri, dengan berlandaskan pada Pancasila.

Seperti yang dikemukakan oleh Soepomo dalam sidang BPUPKI, tidaklah cukup hanya memiliki nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 yang tinggi dalam tulisan belaka. Jauh lebih penting adalah ketulusan dan kesungguhan dalam menerapkan nilai-nilai tersebut dalam pelaksanaan negara.

Dalam hal ini, Pancasila harus menjadi dasar dalam penyusunan kurikulum pendidikan secara umum, serta pendidikan kewarganegaraan secara khusus.

Selama ini, banyak guru yang mengajar pendidikan moral Pancasila seperti seorang dokter yang memberikan resep kepada pasien yang sakit. Namun, sayangnya petunjuk resep tersebut tidak diikuti oleh pasien dengan minum obatnya; bahkan mereka enggan untuk membeli obat tersebut. Sebagai guru, tugasnya bukan hanya memberikan pendidikan moral Pancasila, tetapi juga membudayakan karakter pancasila melalui contoh nyata. 

Namun, apa yang terjadi jika ada guru yang justru mengajarkan 'tepuk anak saleh' yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila itu?

Hal ini akan berdampak negatif terhadap pembentukan generasi penyelenggara negara yang diskriminatif. Sudah terlalu banyak kasus di mana para penyelenggara negara kita terlibat dalam tindakan diskriminatif, bahkan ada yang mewakili organisasi masyarakat tertentu dalam mendukung pelarangan pembangunan rumah ibadah.

Adapun agen utama untuk pengembangan institusional-politikal (tata kelola) ini adalah para penyelenggara negara (Kemendikbudristek) dan kepemimpinan politik (political society dan civil society)

Penjelasan mengenai dimensi material-teknologikal telah diajukan oleh banyak pemikir. Menurut Yudi Latif, ide dan peradaban dari kelompok yang memiliki dominasi dalam penguasaan sumber daya material dan teknologi akan berpengaruh kuat terhadap ide dan peradaban kelompok lainnya. 

Hal ini sejalan dengan pandangan Toynbee, di mana semakin tinggi tingkat teknologi suatu peradaban, semakin mudah budaya peradaban tersebut menyebar ke lapisan-lapisan budaya peradaban lainnya.

Perlu diperhatikan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap teknologi asing melalui investasi perlu diselidiki secara lebih mendalam. Memang, sebagai negara yang ingin maju, kita membutuhkan kemajuan teknologi dan investasi untuk mendorong pembangunan. Namun, kita juga harus menjaga agar nilai-nilai dalam Pancasila tidak terabaikan dalam proses tersebut.

Selain itu, perlu dicermati bahwa terlalu mengandalkan utang dalam pembangunan juga dapat menjadi masalah yang serius. Seperti yang diingatkan oleh Tan Malaka, "Negara yang meminjam pasti menjadi hamba peminjam." 

Hal ini berarti bahwa jika kita terus bergantung pada utang untuk membiayai pembangunan, kita bisa kehilangan kemandirian dan kebebasan dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada kedaulatan negara.

Tidak ada negara yang bisa makmur secara berkelanjutan hanya semata-mata mengandalkan kekayaan sumber daya alam. Daya sintas kemakmuran lebih terjamin dengan mengandalkan sumber daya kecerdasan (pendidikan). Dalam hal ini adalah pendidikan berparadigma Pancasila.

Artinya, arah kebijakan pengembangan teknologi dan industri kita bisa belajar dari bangsa lain, tapi tidak perlu sama.

Adapun agen utama untuk pembangunan material-teknologikal ini adalah dunia usaha (negara, swasta, dan koperasi)

Sebelum menutup tulisan ini, saya setuju dengan Émile Durkheim, bahwa fungsi lembaga pendidikan bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan menjadi wahana untuk menumbuhkan warga negara yang baik (good citizen).

Dalam upaya menjalankan pembudayaan Pancasila, dunia pendidikan dihadapkan pada tantangan untuk memperbaiki pendidikan karakter yang selama ini sering diabaikan karena terlalu fokus pada kepentingan praktis dan pragmatis. Pendidikan karakter bukan hanya sekadar hiasan, melainkan sesuatu yang sangat penting. Oleh karena itu, yel-yel dan 'tepuk anak saleh' merupakan contoh terakhir dari kerusakan pendidikan karakter kita yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.

Akhirnya harus dikatakan bahwa Pancasila itu adalah way of life. Dengan itu, mimpi kebahagiaan bersama melalui perwujudan  kehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur bisa menjadi kenyataan.

***

Jika Anda telah sampai di sini, terima kasih telah membaca. Jangan ragu untuk meninggalkan kritik dan saran di kolom komentar agar saya dapat menulis dengan lebih baik lagi. [Mhg].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun