Mohon tunggu...
Marselia Ika
Marselia Ika Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis lepas

Introvert yang senang menulis, mendengarkan musik dan mengamati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Rumah Bukan Lagi "Rumah"

22 Februari 2023   19:52 Diperbarui: 22 Februari 2023   19:55 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah seharusnya menjadi tempat berteduh, tempat pulang yang aman dan nyaman. sumber : Dok pribadi

“Li, pulang sekolah ntar, mau gak temani ke Gramedia? Aku mau cari novel.” 

“Boleh, Ay. Langsung kesana atau gimana?”

“Makan dulu, deh. Biar nanti enak, perut gak kelaparan.”

“Oke.”

Dalam hati, Lia diam-diam menghitung sisa uang jajannya, ongkos untuk angkot dan makan sepertinya cukup.

Lia baru saja gajian dari pekerjaan sampingannya, menjadi guru les untuk anak-anak SD setiap malam.

Menjelang maghrib, Lia baru sampai di rumahnya. 

“Assalam-”

“Dari mana kamu? Jam segini baru pulang, habis ngelayap kemana?” 

Belum selesai ucapan salam Lia berikan, rentetan pertanyaan menerpa telinganya lebih dulu.

“Nganterin teman cari buku, pak.”

“Alasan aja kamu, jangan-jangan kamu keluyuran di luar buat pacaran ya. Ibu itu anaknya liatin, jangan taunya cuma di rumah.”

“Lia, ke kamar dulu, pak.”

“Hei, anak sekarang begitu, gak ada sopan-santunnya sama orang tua. Punya anak gak ada yang bener. Tukang kelayapan semua. Ini gara-gara ibu gak kasih tau, gak bisa ngedidik anak. Masa harus bapak terus yang ingetin…” 

Here we go again. Lia buru-buru masuk kamarnya, melepas pakaian dan mandi. Selepas maghrib ia akan mengajar murid-muridnya yang 3 orang itu.

Hari ini ia aman, hanya omelan sederhana level 0,5. Tidak ada makian, cacian. Siaran berita, selalu itu yang digumamkannya dalam hati jika Bapak sudah mengomel, 3 kali sehari persisi seperti jadwal orang minum obat, atau jadwal siaran berita televisi.

Kata penyair, seorang ayah itu cinta pertama anak perempuannya, tapi dia tidak seberuntung itu. Lia bahkan berharap tidak bertemu bapak jika ia pulang.

Lia bahkan jarang bertemu kakak laki-lakinya. Kalau Lia masih tidur dan tinggal di rumah, Maka kakaknya Dimas hanya berganti pakaian sebelum pergi.

Dimas selalu tidur di rumah teman-temannya. Sebenarnya dia anak yang rajin, kak Dimas akan membantu tuan rumah saat ia menginap, entah itu mengantar si ibu ke pasar, saat yang temannya masih tidur atau hal yang lain, karena itu mereka senang jika kak Dimas menginap.

Lia terkadang berharap ibu tidak perlu bertemu bapak dalam hidupnya, jadi ia tidak perlu lahir ke bumi.

Rumah Agni, murid lesnya yang kelas 2 SD tidak begitu jauh, ia cukup berjalan kaki 5 menit. Disana teman sekelas Agni, yaitu Deo dan Raina juga ikut les privat. Mereka bertiga menjadi pelariannya di kala malam. 

Selepas pulang, jika bapak masih ada, Lia langsung masuk kamar dan tidur, tetapi kalau bapak sudah masuk kamar, Lia akan menyempatkan makan malam. 

Bukannya dia tidak ingin bertemu atau bertatap muka dengan bapak, telinganya hanya tidak tahan mendengar omelan setiap saat, ada saja salahnya.

Malam ini ia beruntung, bapak tidak ada di depan tv, berarti sudah tidur. Cepat-cepat Lia mengambil piring, duduk di meja makan, melahap makanan di piring.

“Tuk” segelas air diletakkan ke sampingnya, Lia menoleh, melihat ibu yang sekarang duduk di sampingnya.

“Makasih, bu.” ucapnya dengan senyum terkembang tulus.

“Kamu gak makan tadi? langsung ngajar? Lama-lama kamu bisa sakit, dek.”

“Udah makan tadi sore, bu.”

“Kakak tadi pulang, nitip uang buat kamu. Sekarang dia pulang sekolah kerja di bengkel, bantu-bantu papanya Adi. Padahal ibu sudah bilang sama kakak, dek, supaya fokus sekolah, sebentar lagi ujian, tapi kakakmu itu keras kepala.”

Bukan bu, kak Dimas cuma gak betah di rumah. Lia berbisik dalam hatinya, tak tega dia menyakiti hati ibu.

“Bu.”

“Iya dek, kenapa?”

Ingin sekali Lia bertanya, mengapa ibu tahan menikah puluhan tahun dengan bapak? Tetapi ia tidak tega melihat wajah lelah ibunya.

Bapak tidak pernah main tangan pada ibunya, hanya perkataannya saja yang menusuk hati. Mungkin itu yang membuat ibu bertahan, dia bisa saja mendapat pria yang lebih buruk lagi.

“Masakan ibu enak, makasih ya.”

“Ah, kamu. Ibu kira mau ngomong apa. Sudah habisin makanannya, langsung tidur ya, dek. Udah malam, jangan begadang.”

Gambaran keluarga sempurna, bahagia. sumber : Pixabay/Gerd Altmann
Gambaran keluarga sempurna, bahagia. sumber : Pixabay/Gerd Altmann

Setahun kemudian Bapak jatuh sakit, semua makanan yang masuk selalu dimuntahkan, dokter memvonisnya terkena penyakit liver.

Bapak tidak mau dirawat di rumah sakit, memilih rawat jalan dan beristirahat di rumah.

Saat itu Lia sudah menyelesaikan ujian akhir, tak perlu datang ke sekolah. Orang-orang berkata dia bisa membantu ibu merawat bapak, tetapi bagi Lia itu hari-hari yang berat seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.

“Lia! LIA!”

Kadang lia berpikir bapak itu sehat, mana ada orang sakit yang mampu berteriak sekeras itu.

“Ada apa, pak?”

“Kamu gak dengar bapak manggil dari tadi? Telingamu budek? Sudah tahu orang tua sakit, bukannya dirawat, malah asyik sendiri. Percuma bapak sekolahin kamu, kasih makan dari kecil, sudah besar dimintai tolong saja susah.”

“Bapak mau apa?”

“Ambilin bapak minum, sana.”

Lia segera pergi dari kamar, menghela napas dalam. Ibu tidak ada, sedang ke pasar. Lia mengambil gelas kosong dan teko penuh air membawanya ke kamar bapak.

“Ya, tuangkan. Kamu pikir bapak bisa sendiri? kalau bisa bapak gak minta kamu nolongin.”

Sabar, Lia, sebentar lagi Ijazah keluar. Mantra itu selalu diulang-ulang di kepalanya belakang ini. 

Akan ada pabrik yang mulai pembukaan lowongan bulan depan, pengumuman perekrutan terpampang di dinas tenaga kerja, saat ia menemani tetangganya mengurus surat disana. 

“Ini penempatannya di luar pulau, mbak. Sudah ada mess untuk karyawan, dan makan selama jam kerja ditanggung, tetapi di luar jam kerja jadi urusan karyawan.” jelas HRD saat ia menanyakan perihal lowongan itu.

Selain Ijazah, Lia juga perlu menunggu umurnya cukup untuk membuat KTP, dua minggu lagi. Baru ia bisa melamar pekerjaan, dan terbang dari sini, seperti burung yang bebas di angkasa.

Ketika dia mengutarakan niatnya untuk bekerja di luar pulau, bapak dan ibu awalnya menentang keras. Ia anak perempuan, tidak semudah itu mereka memberikan ijin.

“Ini aman kok bu, pak. Lowongannya bukan sembarangan dari pemerintah, tes calon karyawan saja di dinas tenaga kerja. Semuanya sudah dijamin. Bapak juga butuh banyak biaya untuk berobat, kan, belum lagi untuk keperluan sehari-hari dan tagihan bulanan yang mesti dibayar. Lia bisa bantu-bantu sedikit kalau bekerja disini, gajinya lumayan.”

Baru setelah itu, ibu dengan berat hati memberi izin.

Diantar kak Dimas, Lia berangkat ke pabrik.

“Jangan gelap mata, dek. Tetap jadi anak baik, sisihkan gajinya sebagian untuk ditabung. Jangan kirim semua ke rumah.” Pesannya. 

Kak Dimas sekarang sudah bekerja di pabrik otomotif, merangkai sepeda motor. Gajinya juga lumayan, Papa Adi yang memasukkannya ke pabrik itu. Jalur orang dalam memang yahud.

Lia memulai hidupnya sebagai pekerja pabrik, jauh dari rumah. Walaupun atasannya tegas, tetapi tak segalak manajer yang orang asing. 

Lucu sekali jika dipikir, mereka mencari uang di tanah ini, tetapi memperlakukan pekerja pribumi seperti sampah. Kompeni abad baru. Untung saja, mereka jarang bertemu.

Hampir seluruh gaji Lia transfer ke rumah, sakit bapak makin parah, sekarang harus dirawat di rumah sakit.

Tak mengapa, anggaplah menukar sedikit uang itu untuk kebebasannya, setidaknya disini jiwa dan telinganya aman.

Namun, suatu hari, Lia mendapat telepon di subuh buta.

“Dek, hiks…hiks…. pulang ya dek.”

Suara isak tangis ibu terdengar di ujung sana. Perasaan tak enak menyergap Lia.

“Ada apa, bu? Kenapa ibu nangis?”

“Bapak sudah tidak ada, dek. Bapak udah meninggal, pulang ya, nak. Lihat bapak buat terakhir kali.”

Pipi Lia mendadak basah.

“Iya, bu.” lalu panggilan itu diakhiri.

Lia tidak tahu dia menangis untuk apa, karena kehilangan seorang ayah atau karena statusnya yang sekarang berubah menjadi yatim? 

Setelah mengurus ijin pada atasannya, Lia segera memesan tiket pesawat paling awal, dan terbang pulang ke rumah.

Sepanjang perjalanan air matanya tidak mau berhenti mengalir, berkali-kali diusap pun tak ada bedanya. Seperti keran air matanya sedang terbuka lebar. 

Dua jam kemudian, Lia sampai di rumah, ditandai bendera kuning dan banyak kursi plastik di depannya.

Disana, terbujur kaku ditutupi selembar kain, seorang pria yang kini matanya tertutup, dikerubungi para pelayat.

Saat Lia mendekat, orang-orang menatapnya iba, mata mereka menyiratkan rasa kasihan.

Namun, sepertinya hati Lia punya pikiran sendiri, tidak ada air mata yang menetes begitu Lia menyibak kain yang menutupi wajah ayahnya itu. 

Tidak ada kesedihan seperti yang tadi di jalan ia rasakan. Hatinya terasa kosong, hampa. Entah itu lega, entah itu sedih, Lia tidak begitu mengerti, ia tidak paham. 

Kakaknya ada di sudut, mematung dengan pandangan kosong, di sebelah ibunya yang menangis. Satu-satunya orang yang menitikkan air mata untuk bapak di ruangan ini.

Lia memeluk ibu, yang langsung menangis sesegukan di pelukannya.

“Sabar bu, Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.”

Lia ikut hingga pemakaman selesai, melihat kakaknya mengumandangkan adzan dengan suara bergetar, kemudian jasad bapak yang ditimpa tanah.

Delapan tahun kemudian, dia kembali untuk menghadiri pernikahan kak Dimas. Kakaknya bisa bahagia menikah dengan kekasihnya, dia akan jadi suami yang baik, Lia tahu itu.

“Kamu kapan dek?” tanya ibu dengan rona bahagia, setelah akad nikah selesai.

“Doakan saja, bu.”

“Jangan lama-lama, dek. Perempuan itu jam biologisnya terus berputar, nanti kamu susah punya anak, kalau telat nikahnya. Kalau ketemu yang cocok dan dia baik, bawa temui ibu ya, dek.”

Lia tersenyum menanggapinya.

“Anakmu ini bukan tidak mau menikah bu, dia hanya tidak ingin bertemu dengan laki-laki seperti bapak.” Kalimat yang hanya sanggup diucapkannya di dalam hati.

Entah, ia tidak berniat menjalin hubungan dengan pria manapun. Ia masih normal, hanya belum menemukan pria yang bisa dijadikan rumah baginya.

Mungkin ia akan hidup seorang diri sampai tua? Entah biarlah waktu yang menjawabnya. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun