Tidak ada kesedihan seperti yang tadi di jalan ia rasakan. Hatinya terasa kosong, hampa. Entah itu lega, entah itu sedih, Lia tidak begitu mengerti, ia tidak paham.
Kakaknya ada di sudut, mematung dengan pandangan kosong, di sebelah ibunya yang menangis. Satu-satunya orang yang menitikkan air mata untuk bapak di ruangan ini.
Lia memeluk ibu, yang langsung menangis sesegukan di pelukannya.
“Sabar bu, Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.”
Lia ikut hingga pemakaman selesai, melihat kakaknya mengumandangkan adzan dengan suara bergetar, kemudian jasad bapak yang ditimpa tanah.
Delapan tahun kemudian, dia kembali untuk menghadiri pernikahan kak Dimas. Kakaknya bisa bahagia menikah dengan kekasihnya, dia akan jadi suami yang baik, Lia tahu itu.
“Kamu kapan dek?” tanya ibu dengan rona bahagia, setelah akad nikah selesai.
“Doakan saja, bu.”
“Jangan lama-lama, dek. Perempuan itu jam biologisnya terus berputar, nanti kamu susah punya anak, kalau telat nikahnya. Kalau ketemu yang cocok dan dia baik, bawa temui ibu ya, dek.”
Lia tersenyum menanggapinya.
“Anakmu ini bukan tidak mau menikah bu, dia hanya tidak ingin bertemu dengan laki-laki seperti bapak.” Kalimat yang hanya sanggup diucapkannya di dalam hati.