“Kamu gak dengar bapak manggil dari tadi? Telingamu budek? Sudah tahu orang tua sakit, bukannya dirawat, malah asyik sendiri. Percuma bapak sekolahin kamu, kasih makan dari kecil, sudah besar dimintai tolong saja susah.”
“Bapak mau apa?”
“Ambilin bapak minum, sana.”
Lia segera pergi dari kamar, menghela napas dalam. Ibu tidak ada, sedang ke pasar. Lia mengambil gelas kosong dan teko penuh air membawanya ke kamar bapak.
“Ya, tuangkan. Kamu pikir bapak bisa sendiri? kalau bisa bapak gak minta kamu nolongin.”
Sabar, Lia, sebentar lagi Ijazah keluar. Mantra itu selalu diulang-ulang di kepalanya belakang ini.
Akan ada pabrik yang mulai pembukaan lowongan bulan depan, pengumuman perekrutan terpampang di dinas tenaga kerja, saat ia menemani tetangganya mengurus surat disana.
“Ini penempatannya di luar pulau, mbak. Sudah ada mess untuk karyawan, dan makan selama jam kerja ditanggung, tetapi di luar jam kerja jadi urusan karyawan.” jelas HRD saat ia menanyakan perihal lowongan itu.
Selain Ijazah, Lia juga perlu menunggu umurnya cukup untuk membuat KTP, dua minggu lagi. Baru ia bisa melamar pekerjaan, dan terbang dari sini, seperti burung yang bebas di angkasa.
Ketika dia mengutarakan niatnya untuk bekerja di luar pulau, bapak dan ibu awalnya menentang keras. Ia anak perempuan, tidak semudah itu mereka memberikan ijin.
“Ini aman kok bu, pak. Lowongannya bukan sembarangan dari pemerintah, tes calon karyawan saja di dinas tenaga kerja. Semuanya sudah dijamin. Bapak juga butuh banyak biaya untuk berobat, kan, belum lagi untuk keperluan sehari-hari dan tagihan bulanan yang mesti dibayar. Lia bisa bantu-bantu sedikit kalau bekerja disini, gajinya lumayan.”