Alfaina menunduk, menatap kosong kopi hitam pekat yang masih mengepul. Kedua bola matanya berkaca-kaca. "Dari kecil, mungkin bahkan dari lahir aku sudah dihina, Zaighun," Alfaina terisak pelan, "warna kulitku yang---"
Â
Alfaina terdiam, bibirnya bergetar resah, tak kuat. Air mata tiba-tiba mengalir di permukaan epidermisnya. "Ada yang memanggilku dengan "Kecap Bango", "Afrika Nugini", bahkan sekarang di pondok ini, mereka menyebutku "Watu Kali". Memang benar di depan mereka aku terlihat "baik-baik saja". Namun, setiap malam, saat akan tidur, aku selalu menangis. Mencaci-maki, merutuki, mengumpati diriku sendiri. Akankah kesabaran ini bisa runtuh? Aku takut bila kesabaran ini runtuh akan menyakiti hati mereka."
Â
Zaighun menghela napas panjang, kedua bola mata hazel-nya menutup sejenak, ia tak kuasa jika bulir bening di sudut matanya juga harus menetes. Kini, palung sukmanya seakan dirobek-robek. Syukur menggema dalam sudut-sudut belantara sanubarinya.
Â
Hening sesaat, tiba-tiba dalam kepalanya seolah ada setitik cahaya. Tangan kanannya mengambil secangkir kopi hitam pekat yang sudah mendingin di depannya itu, lantas tangan kirinya menyambar gelas berisi air mineral yang tersisa setengah.
Â
Zaighun menyodorkan cangkir kopi lebih dekat kepada Alfaina, "Kau tahu ini apa?"
Â
"Kopi," jawab Alfaina pendek. Isaknya sudah mereda.