"Hei Watu Kali, sini! Ngopi!" teriak seorang lelaki yang sedang duduk bersantai di pelataran gazebo bersama rekan-rekannya. Sontak ketika lelaki itu menyebut "Watu Kali" manusia-manusia di sebelahnya cekikikan mengejek.
Laki-laki yang dipanggil "Watu Kali" berperawakan gempal nan hitam legam itu menoleh, tersenyum kecut. Kemudian melangkah mendekat ke segerombol orang itu. Ia sudah terbiasa dihina dan dicela oleh teman-temanya karena "warna" kulitnya. Terlebih lagi rambutnya botak plontos membikin seseorang yang melihatnya ingin tergelak.
Â
"Mau ke mana? Mutar-muter saja kau ini. Lungguh kene." Lelaki itu menepuk tempat kosong di sebelahnya. "Pantatmu ada durinya? Heh?"
Â
Watu Kali tertawa getir, menyesap kopi, menyambar rokok lantas menyalakan korek api, "Tidak ke mana-mana, hanya ingin jalan-jalan." Ia duduk di sebelah lelaki itu. Lalu mencopot songkok hitam yang dikenakannya.
Â
"Pffftt...." Seketika orang-orang menutup mulutnya---menahan tawa---tak kuat melihat kepala Watu Kali tatkaka sinar mentari siang menyiram. Cling---bagai ada bintang yang berpendar-pendar mengerubuti.
Â
Watu Kali---bernama asli Alfaina---meladeni seloroh rekannya itu, malah menggosok-gosok botaknya. Terkekeh kecil. Seakan-akan hatinya terbuat dari baja dan telinganya terbuat dari dinding kedap suara---tahan cemoohan.
Â