Mohon tunggu...
Hanifa Paramitha Siswanti
Hanifa Paramitha Siswanti Mohon Tunggu... Penulis - STORYTELLER

Penikmat kopi pekat ----- MC, TV Host, VO Talent ----- Instagram: @hpsiswanti ----- Podcast Celoteh Ambu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

2021 Mari Putus Rantai KDRT!

7 Januari 2021   19:33 Diperbarui: 10 Januari 2021   08:25 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi KDRT| Sumber: Kompas/Toto Sihono

Sejak kecil hingga sekarang, saya berpandangan bahwa berani bukan milik lelaki, melainkan oleh setiap manusia yang bernyali.

Hal ini berawal dari ucapan kerabat dan kolega orangtua saya yang selalu mendorong agar memiliki anak lelaki. Mereka kerap mengucapkan itu karena saya dan adik berjenis kelamin perempuan.

"Tambah lagi dong, Pak, Bu. Siapa tahu laki-laki. Biar ada jagoan yang menjaga."

Orangtua saya hanya tersenyum. Sedangkan saya yang saat itu duduk di bangku SD ingin langsung menyanggah. Ibu tahu sekali sikap saya yang tidak suka direndahkan hanya karena menjadi seorang perempuan.

Saya cuma bisa mesem. Ingin rasanya berteriak, "Saya perempuan dan saya juga jagoan!"

Saat itu saya belum tahu istilah patriarki. Hal yang saya tahu adalah adanya kenyataan bahwa ada perbedaan pandangan yang amat besar tentang anak lelaki dengan anak perempuan.

Misalnya saja urusan permainan. Saat itu saya senang naik pohon dan nonton pertandingan sepak bola. Namun orang sekitar justru mempertanyakan kenapa tidak main masak-masakan.

Saya malah bingung. Bukankah koki hotel dan restoran justru kebanyakan lelaki ya?

Perempuan Kerap Dianggap Subordinat

Terlahir dalam keluarga yang memandang lelaki dan perempuan sebagai makhluk setara membuat saya sedih dengan adanya pemikiran timpang gender.

Dalam keluarga kami, siapapun punya hak dan kewajiban yang sama dalam urusan domestik dan publik. Baik laki-laki dan perempuan dipersilakan bebas berkegiatan yang bertanggung jawab.

Nilai dasar yang selalu ditekankan adalah jujur, disiplin, dan berani. Sikap demokratis juga amat diutamakan, sehingga setiap orang bebas pula dalam berpendapat.

Sepanjang hidup, tak pernah saya lihat ada riwayat kekerasan terhadap pasangan. Baik dari Kakek kepada Nenek, semua paman kepada para tante, maupun Bapak terhadap Ibu.

Namun privilese seperti ini sayangnya tak dialami oleh para perempuan lainnya.

Banyak orang, bahkan kawan-kawan saya, terlahir di tengah keluarga yang masih menjalani tradisi pemikiran patriarki. Suatu pandangan bahwa lelaki adalah nomor satu, sedangkan perempuan adalah makhluk subordinat alias kelas dua.

Hal ini menimbulkan adanya ketimpangan dalam hasil didikan serta penanaman pemikiran kepada anak lelaki dan perempuan.

Lelaki kerap dianggap kuat dan jagoan. Sementara perempuan adalah manusia lemah, rapuh, dan kuasanya hanya bergantung kepada lelaki, yakni ayah atau suami. Jika muncul sosok perempuan yang vokal, cerdas, dan berdaya, biasanya justru kerap didiskreditkan. 

Berbagai tanggapan dan komentar bermunculan seperti "Jangan terlalu pintar nanti tidak ada lelaki yang mau", "Ngapain sih kerja terus, awas lupa kodrat untuk mengurusi rumah!", hingga "Buat apa jadi perempuan sukses kalau jadi perawan tua."

Akad Nikah Bukan Transaksi Pembelian 

Proses mata rantai dari ketiadaan pikiran yang adil gender ini akhrinya menimbulkan relasi tidak setara, khususnya ketika mereka menjalani ikatan pernikahan.

Sepasang suami istri yang seharusnya menjadi dua orang sepadan yang saling melindungi, menyayangi, dan menentramkan justru menjadi sebaliknya.

Akibat adanya relasi kuasa, suami merasa punya hak kepemilikan, sehingga berhak memperlakukan istri sesuka hati. Istri tak ubahnya menjadi budak yang harus melayani apapun kapanpun dimanapun.

Jika menolak, kaum lelaki seperti ini akan membawa dalil daif yang mengatakan bahwa istri bakal dilaknat malaikat jika menolak permintaan suami.

Bahkan tak segan, ia juga membenarkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap istri yang dianggapnya membangkang. Kekerasan pun terjadi secara fisik, psikis, seksual, intelektual, bahkan finansial.

Dalam kasus ini, sayangnya teks agama kerap jadi legitimasi kekerasan.

Bahkan akad nikah pun tak ubahnya dianggap sebagai akad kepemilikan. Pemberian mahar kepada calon istri yang sejatinya adalah representasi bentuk penghormatan malah justru dilihat sebagai transaksi pembelian.

Kasus KDRT Meningkat Drastis di Masa Pandemi

Kasus kekerasan dalam rumah tangga belum menjadi perhatian serius di Indonesia. (foto: helpguide.org)
Kasus kekerasan dalam rumah tangga belum menjadi perhatian serius di Indonesia. (foto: helpguide.org)

Tahun 2020 yang mengharuskan mayoritas kegiatan berlangsung di rumah membuat saya berkesempatan mengikuti berbagai webinar mengenai kesetaraan dan pemberdayaan perempuan.

Di antaranya adalah "Agama dan Kekerasan Seksual" yang diadakan oleh BPN Peruati dan Komnas Perempuan. Saya juga mengikuti seri webinar dari Pusat Riset Gender dan Anak Universitas Padjajaran yang salah satunya bertema "Pandemi Covid-19 dan Kerentanan Terjadinya KDRT".

Catatan tahunan Komnas Perempuan pada 2019 saja mencatat ada 11.105 kasus KDRT. Jumlah ini diprediski mendingkat pada tahun 2020 karena adanya pandemi.

Anjuran untuk di rumah saja pada masa awal pandemi ternyata menjadi paradoks bagi korban KDRT. Rumah yang sejatinya jadi lokasi aman dan nyaman untuk berlindung justru menjadi tempat menakutkan.

Peningkatan kasus KDRT di masa pandemi juga terjadi semakin banyak karena beberapa faktor. Pertama, layanan pengaduan daring yang tidak terlalu efektif. Kedua, ketiadaan shelter.

Ketiga, rumitnya prosedur untuk evakuasi karena petugas harus mengenakan alat pelindung diri (APD). Keempat, keterbatasan jumlah tenaga kesehatan karena dialihkan ke posko Covid-19.

KDRT Terjadi di Semua Negara

Permasalahan KDRT rupanya sudah menjadi isu global selama pandemi di semua negara.

Di Tiongkok, adanya polisi yang turun ke jalan agar warga tidak keluar rumah nyatanya malah membuat KDRT meningkat tiga kali lipat. Di Afrika Selatan, ada 90 ribu laporan KDRT di pekan pertama pandemi.

Peningkatan jumlah pelaporan kekerasan juga meningkat secara signifikan di Australia, Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat.

Di Indonesia, laporan kekerasan berbasis gender yang masuk Komnas Perempuan dalam rentang Januari-Mei 2020 saja sudah berjumlah 693 kasus yang didominasi oleh KDRT dan relasi personal.

Data dari Komnas Perempuan juga menunjukkan bahwa 40 persen korban tidak melapor, 70 persen tidak menyimpan nomor penting aduan kekerasan, dan hanya 6 persen korban kekerasan yang berhasil pulih.

Lemahnya Sistem Perlindungan

Sejauh ini solusi yang kerap ditawarkan hanya berupa mediasi. Padahal KDRT adalah tindak pidana dan bisa terjadi secara berulang.

Sayangnya, para korban justru menemukan sistem perlindungan yang lemah. Bahkan tidak jarang juga mereka harus membayar sendiri proses visum dan berjuang menjalani pemulihan pasca trauma.

Hal tersebut dibenarkan oleh Karolina L. Dalimunthe, dosen Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran.

Menurutnya, cara penyelesaian masalah yang hanya satu dimensi oleh pihak berwenang ini meremehkan kompleksitas sosial yang membuat semakin krisis.

Itulah yang menyebabkan daya adaptasi perempuan terancam hilang karena pembatasan gerak dan disruptif di jaringan sosial.

KDRT yang terjadi di ruang tertutup secara fisik, psikis, dan sosial membuat korban tidak mau melapor karena takut dianggap aib. Orang lain pun melihatnya biasa saja karena anggap itu urusan internal.

Di masa seperti sekarang, masalah ini bisa disebut pandemic paradox. Ruang domestik yang jadi latar kekerasan dianggap jadi ruang aman.

"Kementerian Sosial, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak hanya memberikan penyelesaian lama. Untuk itu mari perkuat komunitas. Meskipun kecil, kita harus terus bergerak," tukas Karolina.

Perempuan Rentan Jadi Korban KDRT

Akademisi lainnya dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjajaran, Binahayati Rusyidi, mengungkapkan KDRT menciptakan transmisi kekerasan intergenerasi. Hal tersebut memunculkan dua kemungkinan.

Pertama, anak akan menoleransi tindak kekerasan saat dewasa. Kedua, anak (terutama perempuan) cenderung menjadi korban KDRT juga ketika menikah.

Ia menambahkan bahwa perempuan Indonesia rentan mengalami KDRT. Sampai sekarang, persoalan KDRT ini masih belum ditanggapi serius kecuali korbannya meninggal.

Di sisi lain, struktur patriarki yang menempatkan perempuan menjadi subordinat membuat suami berkuasa penuh karena punya "hak mendidik".

Pemikiran ini pun menginternalisasi benak semua orang, termasuk kaum perempuan sendiri. Misalnya jargon "Suamiku Surgaku".

Akibatnya meskipun disakiti puluhan tahun, korban KDRT memilih bertahan. Apalagi jika turut didukung dengan lingkungan terdekat seperti keluarga dan mertua yang mengatakan bahwa suami itu pemimpin.

Korban pun tidak berani melapor demi menutupi aib keluarga dan menjaga citra suami.

Hal itu diakui oleh Neng Hannah, dosen Fakultas Ushuludin UIN Sunan Gunung Jati Bandung. Menurutnya, nilai patriarki yang kuat seolah dibenarkan dengan tafsir agama yang bias gender. 

Filter agama mejadikan korban KDRT sering membatalkan konseling dengan alasan tidak mendapatkan izin suaminya (yang notabene pelaku kekerasan).

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menyajikan pemahaman yang berkesetaraan dan berkeadilan.

Adil Sejak Dalam Pikiran

Semoga tulisan saya ini dapat mengajak teman-teman Kompasianers ikut gerak bersama untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan sekaligus menghapus tindakan kekerasan.

Diskursus bias gender hanya dapat dihilangkan dengan dekonstruksi pemikiran. Ini bisa kita mulai dari diri sendiri dengan cara berperilaku adil sejak dalam pikiran.

Rasulullah SAW saja beritikad memerah susu kambing sendiri. Di Indonesia, perkara bikin kopi pun mesti menyuruh istri.

***

#LadiesianaRenungankuHarapanku 

Hanifa Paramitha

(Jonathan Hicks via wvnews.com)
(Jonathan Hicks via wvnews.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun