Sejak kecil hingga sekarang, saya berpandangan bahwa berani bukan milik lelaki, melainkan oleh setiap manusia yang bernyali.
Hal ini berawal dari ucapan kerabat dan kolega orangtua saya yang selalu mendorong agar memiliki anak lelaki. Mereka kerap mengucapkan itu karena saya dan adik berjenis kelamin perempuan.
"Tambah lagi dong, Pak, Bu. Siapa tahu laki-laki. Biar ada jagoan yang menjaga."
Orangtua saya hanya tersenyum. Sedangkan saya yang saat itu duduk di bangku SD ingin langsung menyanggah. Ibu tahu sekali sikap saya yang tidak suka direndahkan hanya karena menjadi seorang perempuan.
Saya cuma bisa mesem. Ingin rasanya berteriak, "Saya perempuan dan saya juga jagoan!"
Saat itu saya belum tahu istilah patriarki. Hal yang saya tahu adalah adanya kenyataan bahwa ada perbedaan pandangan yang amat besar tentang anak lelaki dengan anak perempuan.
Misalnya saja urusan permainan. Saat itu saya senang naik pohon dan nonton pertandingan sepak bola. Namun orang sekitar justru mempertanyakan kenapa tidak main masak-masakan.
Saya malah bingung. Bukankah koki hotel dan restoran justru kebanyakan lelaki ya?
Perempuan Kerap Dianggap Subordinat
Terlahir dalam keluarga yang memandang lelaki dan perempuan sebagai makhluk setara membuat saya sedih dengan adanya pemikiran timpang gender.
Dalam keluarga kami, siapapun punya hak dan kewajiban yang sama dalam urusan domestik dan publik. Baik laki-laki dan perempuan dipersilakan bebas berkegiatan yang bertanggung jawab.