Nilai dasar yang selalu ditekankan adalah jujur, disiplin, dan berani. Sikap demokratis juga amat diutamakan, sehingga setiap orang bebas pula dalam berpendapat.
Sepanjang hidup, tak pernah saya lihat ada riwayat kekerasan terhadap pasangan. Baik dari Kakek kepada Nenek, semua paman kepada para tante, maupun Bapak terhadap Ibu.
Namun privilese seperti ini sayangnya tak dialami oleh para perempuan lainnya.
Banyak orang, bahkan kawan-kawan saya, terlahir di tengah keluarga yang masih menjalani tradisi pemikiran patriarki. Suatu pandangan bahwa lelaki adalah nomor satu, sedangkan perempuan adalah makhluk subordinat alias kelas dua.
Hal ini menimbulkan adanya ketimpangan dalam hasil didikan serta penanaman pemikiran kepada anak lelaki dan perempuan.
Lelaki kerap dianggap kuat dan jagoan. Sementara perempuan adalah manusia lemah, rapuh, dan kuasanya hanya bergantung kepada lelaki, yakni ayah atau suami. Jika muncul sosok perempuan yang vokal, cerdas, dan berdaya, biasanya justru kerap didiskreditkan.Â
Berbagai tanggapan dan komentar bermunculan seperti "Jangan terlalu pintar nanti tidak ada lelaki yang mau", "Ngapain sih kerja terus, awas lupa kodrat untuk mengurusi rumah!", hingga "Buat apa jadi perempuan sukses kalau jadi perawan tua."
Akad Nikah Bukan Transaksi PembelianÂ
Proses mata rantai dari ketiadaan pikiran yang adil gender ini akhrinya menimbulkan relasi tidak setara, khususnya ketika mereka menjalani ikatan pernikahan.
Sepasang suami istri yang seharusnya menjadi dua orang sepadan yang saling melindungi, menyayangi, dan menentramkan justru menjadi sebaliknya.
Akibat adanya relasi kuasa, suami merasa punya hak kepemilikan, sehingga berhak memperlakukan istri sesuka hati. Istri tak ubahnya menjadi budak yang harus melayani apapun kapanpun dimanapun.