Kehadirannya baru beberapa hari di kompleks perumahan kami, tetapi itu lebih dari cukup memikat beberapa lelaki yang entah mengapa hanya duduk-duduk di tepi lapangan bola di bawah sebuah pohon mangga yang besar dan begitu rindang, bercengkerama setiap siang sambil tertawa tergelak-gelak ketika lainnya sedang pusing bekerja di kantor.
Saya tahu siapa mereka, lelaki-lelaki itu. Saya tahu orangtua mereka. Tetapi, saya tidak mau tahu mengapa mereka berlagak atau mungkin memang mendalami penuh profesi pengangguran itu.Â
Bagaimana perasaan orangtuanya, bagaimana kehormatan keluarganya, bagaimana masa depan mereka nanti, saya masa bodoh. Kepala perumahan pernah berusaha mencarikan solusi agar mereka tidak menghabiskan waktu sia-sia, tetapi mereka tidak mengindahkannya.
Apa yang mereka perbincangkan, sekali dua kali sempat saya dengarkan. Misteri kehidupan dan kematian, mengapa orang begitu payah mencari uang yang ujungnya nanti juga tidak dibawa mati, mengapa orang sulit sekali tertawa padahal mereka hanya terjebak dalam masalah yang dibuat sendiri, dan topik lain yang saya rasa tidak terlalu penting untuk dibahas. Atau, jangan-jangan mereka memang berbakat menjadi filsuf?
Dari sekian banyak percakapan yang mau tidak mau saya dengar meskipun saya sudah berada di bagian belakang rumah saya--suara mereka begitu kencang dan rumah saya tepat di tepi lapangan bola, hanya selemparan batu jaraknya dengan tempat mereka nongkrong--ada satu yang tidak pernah lewat mereka bicarakan setiap siang, setiap saya berusaha susah payah menidurkan bayi saya, di tengah cekikikan mereka.
"Yu Mince belum datang?" tanya seorang lelaki dengan sebuah topi di kepalanya.
"Iya ya, ke mana nih? Sudah jam segini, seharusnya sudah sampai di sini," jawab lelaki berkulit hitam yang duduk di sebelahnya. Sementara satu lagi hanya menyandarkan punggung di batang pohon mangga. Matanya terpejam. Rambut gondrongnya berkibar-kibar.Â
Saya rasa dia begitu keenakan menikmati semilir angin dan teduhnya pohon itu di siang yang begitu terik. Sembari menggendong bayi, saya sengaja melihat mereka dari jendela. Meskipun sebagian percakapan mereka seperti omong kosong, ada beberapa yang masuk akal dan sesekali saya pakai sebagai landasan hidup saya. Â
"Kring..kring..kringg.."
Terdengar suara bel sepeda.
"Nah, itu dia datang," kata lelaki yang tertidur itu. Suara bel itu membangunkannya. Mereka bertiga lekas mendekati seorang perempuan yang mengendarai sepeda itu, yang saya kira berumur sekitar tiga puluh tahun.Â
Di belakang sepeda itu, ada semacam bak kecil yang berisi beberapa botol dengan beraneka warna cairan di dalamnya. Bagian luar beberapa botol itu terlihat basah, seperti ketumpahan air dari dalam yang mungkin keluar karena tutup botol itu kurang rapat dan tentunya goncangan-goncangan yang dialami sepeda itu ketika melalui jalan perumahan kami yang berbatu-batu dan belum diaspal.
"Kok terlambat, Yu Mince?" pemuda bertopi itu menepukkan tangan. Seperti kegirangan melihat sosok di depannya. Ya, siapa lelaki yang tidak kegirangan? Saya sebagai perempuan sering begitu iri melihatnya. Mengapa bagian-bagian tubuhnya begitu elok?
Bulu matanya lentik. Rambutnya hitam mengilap, indah tergelung. Bibirnya begitu tebal, begitu seksi dengan pulasan merah merona. Badannya, beuh, begitu aduhai tanpa ada gelambir lemak di mana-mana.Â
Dengan mengenakan kaos yang cukup ketat dan celana pendek yang memperlihatkan kakinya yang begitu putih, bagian elok dadanya tampak begitu menyembul. Inikah yang ditunggu para lelaki itu? Saya rasa begitu, karena dagangannya pun tak enak, apalagi bualannya.
"Maaf saya terlambat. Tadi bapak-bapak di sana pada beli, jadinya lama sampai sini," kata Yu Mince dengan nada suara yang begitu centil.
"Masih ada lho jamunya, ayo diminum, mumpung masih hangat."
"Ini ada tiga jenis jamu yang baru saya buat. Khasiatnya manjur. Tetangga saya pada suka, " katanya lagi sambil mengambil tiga botol dan tiga gelas dari baknya dan menaruhnya di bawah pohon itu. Ketiga lelaki itu dan Yu Mince duduk bersebelahan. Yu Mince sedikit jongkok, sehingga ada bagian tubuhnya terbuka dan membuat mata para lelaki itu sekilas terbelalak.
"Jamu apa Yu?"
"Ini nih."
Yu Mince mengambil botol berisi cairan pekat berwarna merah padam. Ia menuangkannya ke tiga gelas dan menyodorkannya.
"Ini namanya jamu tolak kere. Kalian kalau minum ini, nanti sebentar lagi pasti kaya. Coba deh, enak rasanya."
Tanpa bertanya jamu itu terbuat dari apa, kedua lelaki itu meneguknya. Apakah mereka begitu ingin menjadi kaya? Rayuan Yu Mince melalui perkataannya yang genit itu serasa masuk begitu saja ke otak mereka, mengendalikannya begitu mudah, sehingga sekejap gelas yang penuh cairan merah padam itu kosong tidak bersisa. Lelaki bertopi hanya menggenggam gelasnya.
"Bagaimana bisa Yu, habis minum jamu ini jadi menolak kere? Bukannya kalau tidak mau miskin, harus kerja? Apa hubungannya, jamu dengan kekayaan?" katanya sambil mengerutkan kening. Yu Mince dengan wajah begitu meyakinkan lekas menjawab.
"Kamu belum tahu sih," Yu Mince mengedipkan mata.
"Tetangga saya habis minum ini, besoknya dia dapat lotre. Tahu berapa? Satu miliar. Coba deh, kamu minum."
Lelaki bertopi itu masih saja memegang gelas. Dia tidak habis pikir, bagaimana bisa jamu membuat orang menjadi kaya. Baginya, itu mungkin keberuntungan saja. Atau, sebuah kebohongan? Karena toh, dia tidak tahu siapa tetangga yang disebutkannya itu.
"Kalau ini apa Yu?" tanya lelaki berambut gondrong, sambil jarinya menunjuk sebuah botol berisi cairan hitam gelap.
"Oh, ini namanya jamu tahan lama. Kalau diminum, nanti bisa berjam-jam begituan sama istri. Pasti istrimu suka, atau bahkan ingin minum jamu ini. Suami saya saja sekarang jadi buas kalau di ranjang. Rasanya, hmmm..."
"Wah bagus ini, boleh-boleh."
Dengan cepat, Yu Mince menuangkan jamu itu ke dua gelas yang sudah kosong. Lelaki bertopi lekas membuang jamu tolak kere itu ke tanah, lalu menyodorkannya ke Yu Mince.
"Kalau ini saya mau Yu. Aman kan?"
"Amanlah, pasti. Kamu lagi ada masalah ya sama istri? Atau, udah gak kuat lagi berdiri?" Yu Mince nyablak begitu saja. Lelaki bertopi itu hanya tertawa.
"Memangnya ini terbuat dari apa, Yu?" lelaki gondrong ingin tahu setelah semua cairan gelap itu habis diminumnya. Selintas dia meludah. Matanya terpejam. Mungkin jamu itu begitu pahit.
"Oh, kalau itu rahasia perusahaan. Bahaya kalau saya jelaskan. Nanti banyak yang niru. Jualan saya jadi sepi dong."
"Ah, bisa aja Yu Mince," lelaki berkulit hitam membelai pundak Yu Mince. Dia tersenyum kecil, sedikit menggoda, dan Yu Mince betul-betul tergoda. Yu Mince membalas dengan senyuman.
"Kalau yang ketiga ini apa Yu?"
"Ini jamu antitua. Kalian kalau minum ini, dijamin tidak keriputan. Meskipun umur tambah tua, wajahnya malah tambah imut seperti bayi. Nah, jamu ini sepaket dengan jamu tahan lama. Kalau minum jamu tahan lama, harus dibarengi dengan ini."
"Ini bukannya air putih?" lelaki gondrong berujar. Warna air dalam botol itu memang begitu putih, seperti air minum biasa.
"Memang, Pak. Ini air putih, tetapi sudah ada doa-doanya. Jadi mau tidak? Saya sih tidak masalah kalau kalian tidak mau minum, kalau nanti semisal kalian cepat tambah tua dan istri sudah tidak suka lagi."
"Boleh-boleh," lelaki bertopi segera menyodorkan gelas. Mereka bertiga akhirnya meminumnya. Tidak ada reaksi di wajah mereka, karena memang itu betul-betul air putih.
"Jadi semua berapa Yu," tanya lelaki gondrong sambil mengambil dompet di sakunya.
"Hmmm... Sebentar ya, saya hitung. Tolak kere segelas lima puluh ribu, tiga berarti seratus lima puluh ribu. Tahan lama dua puluh ribu, tiga berarti enam puluh ribu. Sementara antitua tiga puluh ribu, tiga berarti sembilan puluh ribu. Semuanya tiga ratus ribu, Pak."
Ketiga lelaki itu diam sejenak. Mereka serasa tidak percaya dengan begitu mahal jamu-jamu itu.
"Benar Yu semuanya segitu?"
"Benarlah, Pak. Kan jamunya tolak kere, tahan lama, antitua, semuanya bagus-bagus. Namanya juga tolak kere, masak harganya murah. Apalagi antitua, siapa yang bisa melawan kodrat menjadi keriputan? Satu-satunya hanya jamu ini lho, Pak. Bapak-bapak pasti tidak menyesal. Tunggu saja kejutan besok."
Lelaki gondrong itu menarik napas panjang, lalu mengembuskannya, bersama rasa sesal atas uang-uang yang harus dikeluarkan hanya untuk minum jamu.
Sambil tersenyum lebar, Yu Mince menerima uang itu, menepuk-nepukkannya ke botol-botol jamunya, lalu memasukkannya ke saku yang tersimpan di dadanya. Setelah merapikan botol dan gelas, Yu Mince beranjak pergi.Â
Para lelaki itu kembali berbincang, entah berbincang apa, tetapi ada nada-nada tidak mengenakkan dari suara mereka yang lebih kencang terdengar. Bayi saya semakin kesulitan tidur.
...
Jakarta
24 Maret 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H