Di belakang sepeda itu, ada semacam bak kecil yang berisi beberapa botol dengan beraneka warna cairan di dalamnya. Bagian luar beberapa botol itu terlihat basah, seperti ketumpahan air dari dalam yang mungkin keluar karena tutup botol itu kurang rapat dan tentunya goncangan-goncangan yang dialami sepeda itu ketika melalui jalan perumahan kami yang berbatu-batu dan belum diaspal.
"Kok terlambat, Yu Mince?" pemuda bertopi itu menepukkan tangan. Seperti kegirangan melihat sosok di depannya. Ya, siapa lelaki yang tidak kegirangan? Saya sebagai perempuan sering begitu iri melihatnya. Mengapa bagian-bagian tubuhnya begitu elok?
Bulu matanya lentik. Rambutnya hitam mengilap, indah tergelung. Bibirnya begitu tebal, begitu seksi dengan pulasan merah merona. Badannya, beuh, begitu aduhai tanpa ada gelambir lemak di mana-mana.Â
Dengan mengenakan kaos yang cukup ketat dan celana pendek yang memperlihatkan kakinya yang begitu putih, bagian elok dadanya tampak begitu menyembul. Inikah yang ditunggu para lelaki itu? Saya rasa begitu, karena dagangannya pun tak enak, apalagi bualannya.
"Maaf saya terlambat. Tadi bapak-bapak di sana pada beli, jadinya lama sampai sini," kata Yu Mince dengan nada suara yang begitu centil.
"Masih ada lho jamunya, ayo diminum, mumpung masih hangat."
"Ini ada tiga jenis jamu yang baru saya buat. Khasiatnya manjur. Tetangga saya pada suka, " katanya lagi sambil mengambil tiga botol dan tiga gelas dari baknya dan menaruhnya di bawah pohon itu. Ketiga lelaki itu dan Yu Mince duduk bersebelahan. Yu Mince sedikit jongkok, sehingga ada bagian tubuhnya terbuka dan membuat mata para lelaki itu sekilas terbelalak.
"Jamu apa Yu?"
"Ini nih."
Yu Mince mengambil botol berisi cairan pekat berwarna merah padam. Ia menuangkannya ke tiga gelas dan menyodorkannya.
"Ini namanya jamu tolak kere. Kalian kalau minum ini, nanti sebentar lagi pasti kaya. Coba deh, enak rasanya."