Ketika saya sedang sendirian, saya selalu berbicara dengan diri saya sendiri. Kenapa?Â
Hal itu saya lakukan untuk mengisi kekosongan. Misalkan saya sedang berada di tempat umum, duduk sendirian tiada kawan, maka untuk mengusir rasa jenuh, saya selalu berbicara dengan diri saya sendiri.Â
Misalnya, di depan saya ada sebuah bangunan yang menawan, kemudian saya bertanya ke diri saya sendiri, "Kira-kira siapa yang mendesain bangunan itu?".
Kemudian diri saya menjawab pertanyaan yang berasal dari diri saya sendiri, "Pasti maha karya itu diciptakan oleh arsitektur lokal yang jenius!".Â
Atau misalkan lagi, "Kenapa harus ada malam? Kenapa harus begini, begitu bla bla bla", pertanyaan apapun selalu muncul dari diri saya sendiri untuk diri saya sendiri, dan dari percakapan itulah yang akhirnya membuat rasa jenuh saya hilang seketika.
Ada juga orang yang melakukan self talk ketika akan menghadapi ujian semester, "Aduh saya bisa jawab gak ya? Ah saya pasti bisa! Saya pasti lulus dengan nilai yang memuaskan!" Kira-kira seperti itulah contoh self talk.
Apakah self talk itu penting?
Penting atau tidaknya, tergantung kepada tiap personal. Namun dalam sebuah penelitian, orang yang melakukan self talk (positif self talk) cenderung memiliki mental yang lebih kuat, terlebih ketika orang itu sedang mengalami pergolakan batin seperti depresi, cemas, hingga ketakutan.Â
Dengan mental yang kuat, seseorang akan memiliki pikiran yang jernih, bisa menghargai dan mencintai dirinya sendiri, dan hal itu akan berdampak baik pula bagi kesehatan dirinya.
Bicameral mind
Akhirnya pertanyaan saya seputar self talk terjawab melalui teori Bicameral Mind atau Mentalitas Bikameral, yang merupakan hipotesis kontroversial dari seorang psikolog dan ilmu saraf yang berpendapat bahwa pikiran manusia dioperasikan di mana fungsi kognitif terbagi menjadi dua (yang satu seolah berbicara dan satunya mendengarkan).Â