Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Manfaat Self Talk bagi Kesehatan Mental

13 September 2021   20:09 Diperbarui: 14 September 2021   23:08 1503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi self talk | Sumber: Pexels/Pavel Danilyuk

Bagi banyak orang, ketika mendengar konsep self talk atau berbicara dengan diri sendiri pasti responnya menganggap bahwa konsep itu aneh, bahkan ada sebagian yang menganggap bahwa orang yang berbicara dengan dirinya sendiri berarti orang itu tidak waras. 

Respon atau persepsi yang seperti itu bisa dimengerti, karena saya pun beberapa kali menganggap bahwa diri saya tidak waras ketika sering melakukan self talk. 

Pertanyaan seputar "mengapa melakukan self talk" pun sering saya cara jawabannya, namun hasilnya selalu nihil. 

Untungnya, beberapa waktu yang lalu saya berhasil menemukan sebuah teori yang bisa menjawab pertanyaan itu.

Namun sebelum ke pembahasan, ada baiknya saya jelaskan dulu apa itu self talk.

Self talk secara umum yaitu berbicara dengan diri sendiri yang dipengaruhi oleh alam bawah sadar guna mengajukan pertanyaan, gagasan atau ide, atau sekedar memberikan sugesti kepada diri sendiri. 

Self talk bukan berarti kita berbicara dengan diri kita sendiri secara lantang (mengeluarkan suara), namun self talk lebih kepada berbicara dalam hati (tidak bersuara).

Self talk sendiri mempunyai dua jenis, pertama yaitu positif self talk di mana seseorang bisa mensugestikan dirinya untuk selalu percaya diri, tidak mudah menyerah, maupun hal-hal positif yang yang lainnya. 

Sedangkan negatif self talk cenderung membuat seseorang merasa pesimis atau putus asa, tidak percaya diri, atau hal-hal yang bersifat negatif lainnya.

Self talk itu seperti apa?

Ketika saya sedang sendirian, saya selalu berbicara dengan diri saya sendiri. Kenapa? 

Hal itu saya lakukan untuk mengisi kekosongan. Misalkan saya sedang berada di tempat umum, duduk sendirian tiada kawan, maka untuk mengusir rasa jenuh, saya selalu berbicara dengan diri saya sendiri. 

Misalnya, di depan saya ada sebuah bangunan yang menawan, kemudian saya bertanya ke diri saya sendiri, "Kira-kira siapa yang mendesain bangunan itu?".

Kemudian diri saya menjawab pertanyaan yang berasal dari diri saya sendiri, "Pasti maha karya itu diciptakan oleh arsitektur lokal yang jenius!". 

Atau misalkan lagi, "Kenapa harus ada malam? Kenapa harus begini, begitu bla bla bla", pertanyaan apapun selalu muncul dari diri saya sendiri untuk diri saya sendiri, dan dari percakapan itulah yang akhirnya membuat rasa jenuh saya hilang seketika.

Ada juga orang yang melakukan self talk ketika akan menghadapi ujian semester, "Aduh saya bisa jawab gak ya? Ah saya pasti bisa! Saya pasti lulus dengan nilai yang memuaskan!" Kira-kira seperti itulah contoh self talk.

Apakah self talk itu penting?

Penting atau tidaknya, tergantung kepada tiap personal. Namun dalam sebuah penelitian, orang yang melakukan self talk (positif self talk) cenderung memiliki mental yang lebih kuat, terlebih ketika orang itu sedang mengalami pergolakan batin seperti depresi, cemas, hingga ketakutan. 

Dengan mental yang kuat, seseorang akan memiliki pikiran yang jernih, bisa menghargai dan mencintai dirinya sendiri, dan hal itu akan berdampak baik pula bagi kesehatan dirinya.

Bicameral mind

Akhirnya pertanyaan saya seputar self talk terjawab melalui teori Bicameral Mind atau Mentalitas Bikameral, yang merupakan hipotesis kontroversial dari seorang psikolog dan ilmu saraf yang berpendapat bahwa pikiran manusia dioperasikan di mana fungsi kognitif terbagi menjadi dua (yang satu seolah berbicara dan satunya mendengarkan). 

Istilah ini diciptakan oleh Julian Jaynes pada 1976, dia menjelaskan bahwa mentalitas bikameral adalah keadaan pikiran manusia normal yang sudah ada dari 3000 tahun yang lalu.

Dikutip dari laman Wikipedia, menurut Jaynes, orang-orang kuno dengan keadaan pikiran bikameral akan mengalami "dunia" atau suatu keadaan seperti orang yang memiliki skizofrenia. 

"Daripada membuat evaluasi sadar dalam situasi baru atau tak terduga, orang tersebut akan berhalusinasi (seolah mendengar suara dari dewa) diberikan nasihat atau peringatan dan mematuhinya tanpa pertanyaan sedikitpun", seseorang tidak sama sekali tidak akan sadar oleh proses pemikirannya sendiri.

Hipotesis

Bicameral Mind | Sumber Hara Nirankara
Bicameral Mind | Sumber Hara Nirankara

Melalui teori di atas, akhirnya saya membuat hipotesis saya sendiri guna meyakinkan bahwa saya adalah orang yang waras.

Bikameral berarti dua kamar atau ruangan, sisi kanan dan sisi kiri. Kamar kanan berbicara, kamar kiri mendengarkan. 

Melalui mendengarkan akan menciptakan sesuatu dalam alam bawah sadar, atau bisa juga disebut dengan sugesti. 

Sedangkan berbicara akan menghasilkan tindakan, karena orang yang berbicara mengenai sebuah "rencana" cenderung akan mewujudkan rencana itu. 

Di antara alam bawah sadar dan tindakan saya memasukan linguistik, karena menurut saya untuk memahami keduanya diperlukan ilmu bahasa agar nantinya saya lebih mudah memahami dan menganalisa atas tindakan yang saya lakukan.

Untuk menginterpretasikan antara alam bawah sadar dan tindakan, saya memerlukan linguistik. Dan melalui linguistik itulah saya menghasilkan dua indikator: halusinasi dan kesadaran.

Jika tindakan dipengaruhi oleh halusinasi, maka tindakan itu akan bernilai negatif. Jika tindakan dipengaruhi oleh kesadaran, maka tindakan itu akan bernilai positif. 

Hipotesis ini membuat saya berpikir bahwa, self talk positively dan self talk negatively dipengaruhi oleh halusinasi dan kesadaran.

Self talk positively didasari oleh kesadaran, yang menghasilkan sugesti yang positif, dan akhirnya akan memperkuat mental kita. 

Sedangkan self talk negatively didasari oleh halusinasi, kecemasan, ketakutan, dan akhirnya akan memperlemah mental kita. 

Bahkan yang lebih parah, jika self talk negatively itu terus saja berlanjut, akan membuat saya menderita anxiety.

Maka dari itu, kesimpulan dari hipotesis ini adalah, ketika kita sudah tahu bahwa halusinasi membawa dampak yang negatif, maka kita harus terus menjaga kesadaran kita agar tidak dipengaruhi oleh halusinasi itu. 

Gampangnya, seorang pengguna narkotika akan melakukan atau memperlihatkan hal-hal yang aneh ketika sedang mengkonsumsi narkotika. Maka untuk mencegah keanehan itu, berarti kita tidak boleh untuk mengkonsumsi narkotika agar orang lain tidak menganggap bahwa kita "aneh/gila".

Melalui hipotesis yang saya ciptakan itu, jawaban yang saya hasilkan membuat saya merasa lega, bahwa kebiasaan saya melakukan self talk merupakan hal yang wajar dan tidak membuat saya menjadi orang gila. 

Justru dengan self talk positively yang saya lakukan, saya justru bersyukur selalu dikaruniai pikiran yang jernih yang berimbas juga terhadap kesehatan mental saya.

Jadi, bagi siapapun kalian yang pernah berpikiran bahwa kalian "tidak waras" karena sering melakukan self talk, saya sarankan untuk lekas menghilangkan pikiran itu. 

Menjadi "berbeda" bukan berarti gila, bukan berarti aneh. Justru dengan "berbeda" kita memiliki pengalaman hidup yang berbeda dari orang pada umumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun