Aku tak tahan lagi. Kulempari mereka dengan batu, ranting kayu, atau apapun yang kutemukan di dekatku. Seorang terkena pantatnya. Seorang lagi terjatuh karena takut kukejar. Namun seolah tak jera, ia bangun lagi dan kembali beramai-ramai mengolok-olokku. Dan aku terus melempari mereka dengan batu, yang kali ini agak besar ukurannya.
Di ujung gang kulihat ibu tergopoh-gopoh menyusulku. Aku tergugu karena tak bisa menghentikan kekurangajaran bocah-bocah itu. Air mataku semakin deras dalam dekapan ibu.
"Ibu, mereka kurang ajar. Mereka selalu bilang kalau aku gila. Tidak benar kan, bu? Aku tidak gila. Mengapa mereka bilang aku gila?"
"Cemara, Ibu memberimu nama "Cemara" supaya kau kuat seperti pohon cemara. Tetap tegar berdiri tegap meskipun tak henti diterpa angin kencang. Tapi mengapa kamu jadi serapuh ini hanya karena kehilangan Tyo? Sadarlah nak, kembalilah seperti cemara ibu yang selalu ceria dulu...."
Ibu menuntunku pulang tanpa memberiku waktu untuk memahami kata-katanya. Samar-samar kulihat bayanganmu menjauh seolah hendak meninggalkanku selama-lamanya. Dan sekarang kau benar-benar telah pergi, bayanganmupun tak bisa kulihat lagi.
Heni Kurniawati
Penulis novel Menggapai Impian, Merengkuh Cinta (MIMC)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H