Lunglai aku berjalan pulang. Ibu menyambutku dengan seyuman lega setelah seharian cemas karena aku belum pulang. Tak henti aku menangis di pelukannya. Secangkir wedang jahe hangatnya tak sanggup menghangatkan hatiku yang menggigil oleh kekecewaan. Kekasih, malam itu aku merasa bahwa duniaku telah berakhir. Malam itu aku tidak yakin bahwa aku masih bisa mendapatkan kebahagiaan lagi. Air mata yang membanjir tak sanggup mengobati hati perihku. Hingga akhirnya sebutir obat tidur membantuku melewati malam.
Hari-hari selanjutnya kuhabiskan dengan mengurung diri di kamar dan melamunkanmu. Hidupku terasa hampa. Tyo, apa yang bisa kulakukan tanpamu? Sejak kecil kaulah yang menjadi cahaya dalam hidupku. Kaulah yang selalu menjadi sebab tawa ceriaku. Kenapa kau setega ini padaku? Kenapa tak kaurasakan debar jantungku yang senantiasa merindukan dan mengharapkanmu? Bahkan pada keluargamupun kau tak memberi kabar. Ada apa denganmu Tyo? Apa yang terjadi padamu?
Aku bisa merasakan kecemasan ibu atas keadaanku. Tapi sejujurnya aku merasa baik-baik saja. Aku hanya sedang sangat sedih karena kau tak menepati janji untuk pulang dan menjemputku. Lalu aku semakin tak mengerti ketika ibu menaburkan garam di pojok-pojok kamarku, menempelkan ayat-ayat suci di depan pintu kamar, atau menyuruhku meminum air putih yang katanya obat. Obat? Kenapa ibu memberiku obat? Aku sama sekali tak merasakan sakit selain hatiku yang perih oleh kekecewaan. Aku sangat bingung pada apa yang dilakukan ibu, termasuk ketika ia menyuruhku mandi dengan air bertabur bunga berwarna-warni. Namun aku menurut. Aku menuruti semua yang diperintahkan ibu karena aku sayang padanya dan iapun sayang padaku. Setiap malam aku selalu mendengar doa-doanya demi kebaikanku. Tapi sungguh, aku tak bisa mengabulkan permintaannya untuk tidak pergi ke stasiun. Tyo, seperti janjiku aku akan menunggumu sampai kau datang.
"Cemara pulang. Nanti ibumu mencarimu, kereta dari Jakarta sudah nggak ada lagi," teriak Jupri dari kejauhan.
Aku tergagap, lalu segera mengangguk pada Jupri yang menunggu jawabanku. Ah Jupri, kau adalah satu-satunya orang yang paling ramah dan baik di stasiun ini.
Aku bangkit dan menggeliat, sekedar menghalau penat tubuhku. Sudah sore rupanya. Matahari sudah terlihat kemerahan di ujung langit sebelah Barat. Bergegas kulangkahkan kaki meninggalkan stasiun, tak ingin membuat ibu cemas.
Kutapaki jalan-jalan di tepian rel. Lamat-lamat kudengar lantunan ayat-ayat suci dari pengeras suara masjid. Tyo, tak ingatkah kau bahwa di masa kecil kita, di waktu senja seperti ini kita berlari-lari kecil berangkat mengaji. Kenapa kau lupakan semua itu? Kenapa tak pernah ada kabarmu? Apa susahnya menulis surat untukku?
Sampai di pertigaan jalan 100 meter dari rumahku, aku berpapasan dengan anak-anak kecil kampungku. Dono, Arif, Miko dan Dian. Bocah-bocah kecil bertelanjang kaki itu terlihat kotor dan dekil seperti biasanya. Pasti mereka baru pulang dari bermain laying-layang di sawah. Aku tak suka pada mereka. Mereka selalu mengolok-olok dan mengatakan yang tidak-tidak padaku. Mudah-mudahan kali ini mereka tidak menggangguku karena aku sedang enggan meladeni keusilan mereka.
"Cemara gila....Cemara...gila...."
Mulai lagi. Bocah-bocah nakal itu mulai mengolok-ngolokku sambil menggoyang-goyangkan pantatnya. Lihatlah betapa kurang ajarnya mereka. Beraninya mereka meneriakiku "gila." Seandainya kau ada di sini Tyo, pasti kau akan melindungiku dari mereka.
"Cemara gila....gila....gila...."