Sinar mentari jam 9 pagi mengiringi langkahku menuju stasiun. Hangatnya tajam terasa. Cuaca cerah, langit berhias awan-awan putih yang bergerak pelan mengikuti arah angin bertiup. Aku berjalan menyusuri tepian rel yang berujung pada sebuah stasiun sekitar 500 meter dari rumahku. Sesekali kusibak rambut yang menghalangi pandangan mata. Hari ini seperti hari-hari kemarin, aku akan menunggumu di stasiun kereta, seperti janjiku ketika kau tinggalkan aku di sana. Bagiku, janji adalah janji yang harus ditepati apapun alasannya.
Hari ini stasiun tidak begitu ramai. Aku bergegas menuju sebuah bangku kosong di pojok Timur stasiun. Di bangku ini aku leluasa melihat penumpang yang turun dari gerbong di semua jalur kereta. Sejak delapan bulan lalu aku menganggap bangku ini milikku. Bila sudah ditempati orang lain aku akan memintanya untuk pindah ke bangku lain. Entahlah, aku merasa telah menyatu dengan bangku ini. Setiap hari selama delapan bulan aku selalu duduk di bangku ini menanti kedatanganmu. Di sini pula kau dan aku duduk menanti kereta Argo Bromo yang akan mengantarmu ke Jakarta satu setengah tahun yang lalu. Dan hingga hari ini, aku masih duduk di bangku ini menunggumu.
Penumpang mulai berdatangan. Roda gerbong berderit-derit melindas besi-besi rel yang menjalar panjang tanpa ujung. Pengasong berlalu lalang keluar masuk gerbong. Kehidupan stasiun tetap berlangsung teratur tanpa memperdulikan panas terik. Jupri, si pengasong pincang yang baru turun dari gerbong 2 jalur 3 membawaku kembali pada kejadian satu setengah tahun lalu.
"Mau kue nggak, dari tadi kamu belum makan, nanti maagmu kambuh?" tanyamu sedikit cemas.
"Nggak ah, aku lagi nggak ingin makan apa-apa."
"Ayolah, kamu harus makan. Donat aja ya?"
Kau ambilkan donat cokelat dari keranjang kue Jupri sebelum aku sempat menolak.
"Ayo dimakan. Nggak usah sedih begitu sampai nggak doyan makan, aku kan pergi kerja, bukan main-main. Nanti aku akan kembali, kita akan bersama lagi. Setahun itu nggak lama kok. Kita hanya berpisah sebentar. Kau di sini dan aku di Lampung. Setelah setahun aku akan mengajukan pindah di kantor pusat di Jakarta. Setelah itu aku akan menjemputmu dan kita akan bersama selamanya, nggak akan berpisah lagi," katamu membujuk sambil mengulurkan sebotol Aqua.
"Setahun tanpamu akan terasa sangat lama bagiku. Tak bisakah keberangkatanmu ditunda semalam saja?Malam ini bulan purnama, pasti sangat indah. Aku ingin melewatinya bersamamu," tanyaku merajuk.
"Nggak bisa sayang. Pesawatku berangkat pagi. Jam 07.45 aku sudah harus terbang ke Lampung. Jadi aku harus berangkat sekarang kalau nggak mau ketinggalan pesawat."
"Janji ya, kau akan pulang setahun lagi dan menjemputku," kataku cemas.
"Iya, janji. Aku akan melamarmu di hari ulang tahunmu tahun depan dan kemudian kita menikah di hari ulang tahunku dua bulan kemudian."
Aku mengangguk dan kemudian sibuk menenangkan debar jantung. Sungguh tak ada alasan untuk meragukanmu. Kau adalah pria sejati yang memegang teguh janji. Meskipun hujan atau sakit, kau akan menepati janjimu. Persahabatan dan kebersamaan kita sejak kecil telah membuktikan hal ini.
Kita tak lagi mengucapkan apa-apa sampai akhirnya sebuah pelukan dan kecupan sayang mengawali perpisahan kita. Aku hanya bisa mengiringi kepergianmu dengan lambaian tangan dan pandangan sayu padamu, yang sedang melongokkan kepala di jendela gerbong. Tak lama kemudian keretamu lenyap dari pandanganku.
"Mau pergi kemana Mbak, kok nggak bawa barang-barang ?" seorang Ibu yang tiba-tiba duduk di sampingku menyadarkanku dari lamunan masa lalu.
"Oh, nggak. Saya mau jemput seseorang," jawabku sambil tersenyum.
"Pasti pacarnya ya, dan pacar mbak pasti tampan karena mbak sangat cantik"
"Iya, Bu. Saya mau jemput pacar saya. Pacar saya bukan hanya tampan, tapi juga baik hati. Namanya Tyo. Dia kerja di pabrik gula di Lampung. Itu lho gula yang diiklankan di TV. Dia sudah setahun kerja di sana. Dan tahun ini ia akan minta pindah di kantor pusat di Jakarta. Lalu dia akan pulang dan menjemput saya."
"O, begitu. Mbak sudah lama menunggu, ya, keretanya datang jam berapa?"
"Saya tiap hari datang ke sini bu, saya setia menunggunya. Dia nggak bilang keretanya jam berapa, tapi katanya dia naik pesawat dari Lampung ke Jakarta, terus dari Jakarta ke sini naik kereta, jadi saya menunggunya. Saya ingin sayalah yang dilihatnya pertama kali ketika dia tiba di stasiun ini. Saya ingin, sayalah yang pertama kali menanyakan kabarnya. Dia pasti...."
Aku tak tahu mengapa Ibu itu keheranan mendengar jawabanku. Seorang petugas stasiun melintangkan telunjuknya di atas dahi dan mulutnya mengatakan sesuatu seolah memberi isyarat yang tak kumengerti kepada Ibu di sampingku ini. Lalu si Ibu beranjak sebelum aku menyelesaikan penjelasanku. Aku hendak menahannya tapi sudahlah percuma memberi penjelasan padanya. Orang lain tak akan mengerti bahwa aku sangat mencintaimu. Takkan ada yang memahami bahwa cinta sejati takkan pernah mati meskipun terpisahkan oleh jarak dan waktu. Tapi..., lebih baik dia pergi supaya tidak mengangguku melamunkanmu.
Delapan bulan yang lalu di bangku ini juga, aku menantimu penuh harap. Hari itu hari ulang tahunku. Hari yang kaujanjikan untuk melamar dan menjemputku. Aku menunggumu hingga malam pekat. Tak kuperdulikan gerah, panas, dan dinginnya angin malam yang menusuk-nusuk kulitku ketika menunggu kereta terakhir. Namun, dari sekian banyak kereta tak kulihat dirimu keluar dari salah satu gerbongnya. Tidak juga pada kereta terakhir malam itu. Hatiku sakit sekali. Hancur semua impian indah untuk segera bertemu dan tak berpisah lagi denganmu. Sulit percaya bahwa hal ini terjadi padaku. Sulit percaya bahwa kau yang sejak kecil menghabiskan hari-harimu bersamaku, yang tak pernah melewatkan satu hal indahpun tanpaku, yang selalu menepati janji-janji yang kauucapkan pada siapapun, dan yang selalu membuat bibirku tersenyum, telah tega mengingkari janjimu padaku. Padahal hari itu aku sungguh tidak sedang bermimpi. Kau biarkan seharian aku gelisah menunggumu. Kekasih, hari itu kau menghancurkanku, kau merampas satu-satunya harapan yang masih kumiliki. Harapan untuk bersanding denganmu selamanya.
Lunglai aku berjalan pulang. Ibu menyambutku dengan seyuman lega setelah seharian cemas karena aku belum pulang. Tak henti aku menangis di pelukannya. Secangkir wedang jahe hangatnya tak sanggup menghangatkan hatiku yang menggigil oleh kekecewaan. Kekasih, malam itu aku merasa bahwa duniaku telah berakhir. Malam itu aku tidak yakin bahwa aku masih bisa mendapatkan kebahagiaan lagi. Air mata yang membanjir tak sanggup mengobati hati perihku. Hingga akhirnya sebutir obat tidur membantuku melewati malam.
Hari-hari selanjutnya kuhabiskan dengan mengurung diri di kamar dan melamunkanmu. Hidupku terasa hampa. Tyo, apa yang bisa kulakukan tanpamu? Sejak kecil kaulah yang menjadi cahaya dalam hidupku. Kaulah yang selalu menjadi sebab tawa ceriaku. Kenapa kau setega ini padaku? Kenapa tak kaurasakan debar jantungku yang senantiasa merindukan dan mengharapkanmu? Bahkan pada keluargamupun kau tak memberi kabar. Ada apa denganmu Tyo? Apa yang terjadi padamu?
Aku bisa merasakan kecemasan ibu atas keadaanku. Tapi sejujurnya aku merasa baik-baik saja. Aku hanya sedang sangat sedih karena kau tak menepati janji untuk pulang dan menjemputku. Lalu aku semakin tak mengerti ketika ibu menaburkan garam di pojok-pojok kamarku, menempelkan ayat-ayat suci di depan pintu kamar, atau menyuruhku meminum air putih yang katanya obat. Obat? Kenapa ibu memberiku obat? Aku sama sekali tak merasakan sakit selain hatiku yang perih oleh kekecewaan. Aku sangat bingung pada apa yang dilakukan ibu, termasuk ketika ia menyuruhku mandi dengan air bertabur bunga berwarna-warni. Namun aku menurut. Aku menuruti semua yang diperintahkan ibu karena aku sayang padanya dan iapun sayang padaku. Setiap malam aku selalu mendengar doa-doanya demi kebaikanku. Tapi sungguh, aku tak bisa mengabulkan permintaannya untuk tidak pergi ke stasiun. Tyo, seperti janjiku aku akan menunggumu sampai kau datang.
"Cemara pulang. Nanti ibumu mencarimu, kereta dari Jakarta sudah nggak ada lagi," teriak Jupri dari kejauhan.
Aku tergagap, lalu segera mengangguk pada Jupri yang menunggu jawabanku. Ah Jupri, kau adalah satu-satunya orang yang paling ramah dan baik di stasiun ini.
Aku bangkit dan menggeliat, sekedar menghalau penat tubuhku. Sudah sore rupanya. Matahari sudah terlihat kemerahan di ujung langit sebelah Barat. Bergegas kulangkahkan kaki meninggalkan stasiun, tak ingin membuat ibu cemas.
Kutapaki jalan-jalan di tepian rel. Lamat-lamat kudengar lantunan ayat-ayat suci dari pengeras suara masjid. Tyo, tak ingatkah kau bahwa di masa kecil kita, di waktu senja seperti ini kita berlari-lari kecil berangkat mengaji. Kenapa kau lupakan semua itu? Kenapa tak pernah ada kabarmu? Apa susahnya menulis surat untukku?
Sampai di pertigaan jalan 100 meter dari rumahku, aku berpapasan dengan anak-anak kecil kampungku. Dono, Arif, Miko dan Dian. Bocah-bocah kecil bertelanjang kaki itu terlihat kotor dan dekil seperti biasanya. Pasti mereka baru pulang dari bermain laying-layang di sawah. Aku tak suka pada mereka. Mereka selalu mengolok-olok dan mengatakan yang tidak-tidak padaku. Mudah-mudahan kali ini mereka tidak menggangguku karena aku sedang enggan meladeni keusilan mereka.
"Cemara gila....Cemara...gila...."
Mulai lagi. Bocah-bocah nakal itu mulai mengolok-ngolokku sambil menggoyang-goyangkan pantatnya. Lihatlah betapa kurang ajarnya mereka. Beraninya mereka meneriakiku "gila." Seandainya kau ada di sini Tyo, pasti kau akan melindungiku dari mereka.
"Cemara gila....gila....gila...."
Aku tak tahan lagi. Kulempari mereka dengan batu, ranting kayu, atau apapun yang kutemukan di dekatku. Seorang terkena pantatnya. Seorang lagi terjatuh karena takut kukejar. Namun seolah tak jera, ia bangun lagi dan kembali beramai-ramai mengolok-olokku. Dan aku terus melempari mereka dengan batu, yang kali ini agak besar ukurannya.
Di ujung gang kulihat ibu tergopoh-gopoh menyusulku. Aku tergugu karena tak bisa menghentikan kekurangajaran bocah-bocah itu. Air mataku semakin deras dalam dekapan ibu.
"Ibu, mereka kurang ajar. Mereka selalu bilang kalau aku gila. Tidak benar kan, bu? Aku tidak gila. Mengapa mereka bilang aku gila?"
"Cemara, Ibu memberimu nama "Cemara" supaya kau kuat seperti pohon cemara. Tetap tegar berdiri tegap meskipun tak henti diterpa angin kencang. Tapi mengapa kamu jadi serapuh ini hanya karena kehilangan Tyo? Sadarlah nak, kembalilah seperti cemara ibu yang selalu ceria dulu...."
Ibu menuntunku pulang tanpa memberiku waktu untuk memahami kata-katanya. Samar-samar kulihat bayanganmu menjauh seolah hendak meninggalkanku selama-lamanya. Dan sekarang kau benar-benar telah pergi, bayanganmupun tak bisa kulihat lagi.
Heni Kurniawati
Penulis novel Menggapai Impian, Merengkuh Cinta (MIMC)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H