"Iya, janji. Aku akan melamarmu di hari ulang tahunmu tahun depan dan kemudian kita menikah di hari ulang tahunku dua bulan kemudian."
Aku mengangguk dan kemudian sibuk menenangkan debar jantung. Sungguh tak ada alasan untuk meragukanmu. Kau adalah pria sejati yang memegang teguh janji. Meskipun hujan atau sakit, kau akan menepati janjimu. Persahabatan dan kebersamaan kita sejak kecil telah membuktikan hal ini.
Kita tak lagi mengucapkan apa-apa sampai akhirnya sebuah pelukan dan kecupan sayang mengawali perpisahan kita. Aku hanya bisa mengiringi kepergianmu dengan lambaian tangan dan pandangan sayu padamu, yang sedang melongokkan kepala di jendela gerbong. Tak lama kemudian keretamu lenyap dari pandanganku.
"Mau pergi kemana Mbak, kok nggak bawa barang-barang ?" seorang Ibu yang tiba-tiba duduk di sampingku menyadarkanku dari lamunan masa lalu.
"Oh, nggak. Saya mau jemput seseorang," jawabku sambil tersenyum.
"Pasti pacarnya ya, dan pacar mbak pasti tampan karena mbak sangat cantik"
"Iya, Bu. Saya mau jemput pacar saya. Pacar saya bukan hanya tampan, tapi juga baik hati. Namanya Tyo. Dia kerja di pabrik gula di Lampung. Itu lho gula yang diiklankan di TV. Dia sudah setahun kerja di sana. Dan tahun ini ia akan minta pindah di kantor pusat di Jakarta. Lalu dia akan pulang dan menjemput saya."
"O, begitu. Mbak sudah lama menunggu, ya, keretanya datang jam berapa?"
"Saya tiap hari datang ke sini bu, saya setia menunggunya. Dia nggak bilang keretanya jam berapa, tapi katanya dia naik pesawat dari Lampung ke Jakarta, terus dari Jakarta ke sini naik kereta, jadi saya menunggunya. Saya ingin sayalah yang dilihatnya pertama kali ketika dia tiba di stasiun ini. Saya ingin, sayalah yang pertama kali menanyakan kabarnya. Dia pasti...."
Aku tak tahu mengapa Ibu itu keheranan mendengar jawabanku. Seorang petugas stasiun melintangkan telunjuknya di atas dahi dan mulutnya mengatakan sesuatu seolah memberi isyarat yang tak kumengerti kepada Ibu di sampingku ini. Lalu si Ibu beranjak sebelum aku menyelesaikan penjelasanku. Aku hendak menahannya tapi sudahlah percuma memberi penjelasan padanya. Orang lain tak akan mengerti bahwa aku sangat mencintaimu. Takkan ada yang memahami bahwa cinta sejati takkan pernah mati meskipun terpisahkan oleh jarak dan waktu. Tapi..., lebih baik dia pergi supaya tidak mengangguku melamunkanmu.
Delapan bulan yang lalu di bangku ini juga, aku menantimu penuh harap. Hari itu hari ulang tahunku. Hari yang kaujanjikan untuk melamar dan menjemputku. Aku menunggumu hingga malam pekat. Tak kuperdulikan gerah, panas, dan dinginnya angin malam yang menusuk-nusuk kulitku ketika menunggu kereta terakhir. Namun, dari sekian banyak kereta tak kulihat dirimu keluar dari salah satu gerbongnya. Tidak juga pada kereta terakhir malam itu. Hatiku sakit sekali. Hancur semua impian indah untuk segera bertemu dan tak berpisah lagi denganmu. Sulit percaya bahwa hal ini terjadi padaku. Sulit percaya bahwa kau yang sejak kecil menghabiskan hari-harimu bersamaku, yang tak pernah melewatkan satu hal indahpun tanpaku, yang selalu menepati janji-janji yang kauucapkan pada siapapun, dan yang selalu membuat bibirku tersenyum, telah tega mengingkari janjimu padaku. Padahal hari itu aku sungguh tidak sedang bermimpi. Kau biarkan seharian aku gelisah menunggumu. Kekasih, hari itu kau menghancurkanku, kau merampas satu-satunya harapan yang masih kumiliki. Harapan untuk bersanding denganmu selamanya.