Mohon tunggu...
Reiza Patters
Reiza Patters Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Just an ordinary guy..Who loves his family... :D

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kontroversi Kretek Dalam RUU Kebudayaan dan Industri Rokok

4 Oktober 2015   02:59 Diperbarui: 4 Oktober 2015   07:18 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perbincangan tentang rokok, kretek dan tembakau sering menuai perdebatan dan masih terus menjadi kontroversi. Perdebatan yang paling mutakhir adalah tentang masuknya rokok kretek tradisional sebagai salah satu bagian dari warisan budaya dalam draf Rancangan Undang Undang Kebudayaan yang dikabarkan sejumlah media massa tengah dibahas Badan Legislasi DPR.

Dalam pasal 37 di RUU Kebudayaan, kretek tradisional disebut sebagai sejarah dan warisan budaya yang membutuhkan penghargaan, pengakuan, dan/atau perlindungan. Penjelasan lebih lengkapnya dijabarkan pasal 49.

Namun, tak semua anggota Badan Legislasi DPR mengetahui tentang masuknya pasal soal kretek sebagai warisan budaya dalam draf RUU Kebudayaan tersebut. Tifatul Sembiring, anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi PKS, seperti dikutip dari BBC Indonesia menyebut, masuknya pasal soal kretek dalam RUU Kebudayaan sebagai hal yang “mengada-ada”.

“Masyarakat juga belum banyak yang sadar ya, mendengar bahwa ini (kretek) dimasukkan. Anggota dewan saja banyak yang tidak tahu kalau tidak terlibat dalam pembicaraan atau pembahasan,” katanya.

Menurutnya, setiap orang berhak memberi usulan pada produk legislasi yang tengah dibahas. “Tapi apakah itu dapat lolos, belum tentu. Kan semua fraksi belum membahasnya. Masuk saja di RUU Tembakau deh, tidak usah di RUU Kebudayaan, apa hubungannya budaya dengan kretek. Ada-ada saja,” ujar Tifatul lagi.

Penolakan Keras

Hal yang akan menjadi konsekuensi logis jika artikel tersebut tetap masuk saat RUU Kebudayaan disahkan adalah pemerintah harus mensosialisasikan serta mempromosikan kretek tradisional. Dan langkah itu menurut Penasehat Komisi Nasional (Komnas) Pengendalian Tembakau, Kartono Muhammad sama saja dengan menyuruh anak-anak untuk merokok.

“Kalau kita ikuti bunyinya draft undang undang itu, nanti kretek itu akan difestivalkan dan setiap daerah harus melakukan sosialisasi, maka anak anak disuruh mencoba merokok,”ujar Penasehat Komisi Nasional (Komnas) Pengendalian Tembakau, Kartono Muhammad, Senin (28/9) pagi seperti dikutip dari RRI.

Kartono Mohamad menganggap masuknya ayat soal kretek dalam RUU Kebudayaan sebagai sesuatu yang aneh. Menurutnya, kretek memang khas Indonesia, namun budaya itu hanya terbatas di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dia mempertanyakan alasan kretek menjadi bagian dari warisan budaya, karena di Indonesia ada kebiasaan mengonsumsi atau makan sirih yang sudah lama atau tuak yang lebih banyak ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia, tapi tidak masuk dalam draf RUU ini.

“Kalau ada pihak yang mengatakan kretek warisan budaya sudah seumur manusia tidak betul juga. Kenapa tidak menjadikan makan sirih dan makan tuak yang sudah menjadi tradisi seluruh wilayah Indonesia sebagai warisan budaya? Ini terlalu dipaksakan,” ujar Kartono Muhammad.

Lain lagi dengan penolakan dari sastrawan Taufiq Ismail, yang menyebut rokok kretek bukanlah warisan budaya Indonesia yang harus dilindungi Undang-undang dan dipromosikan.

“Merokok kretek bukan budaya asli bangsa Indonesia. Itu cuma akal-akalan korporasi rokok. Tembakau dan cengkeh kan bukan tanaman asli Indonesia,” kata Taufiq di Jakarta, seperti dikutip dari kompas.com.

Budaya menghisap rokok, kata Taufiq sebenarnya bukan asli Indonesia, itu adalah kebiasaan asing yang dibawa ke Indonesia melalui aktivitas perdagangan. Dia menjelaskan, salah satu bukti politisi Indonesia sudah menjalin kongkalikong dengan pengusaha rokok adalah Indonesia tak meratifikasi kerangka kerja pengendalian tembakau (FCTC) Badan Kesehatan Dunia atau WHO.

“Dari 80 lebih negara, yang tidak ikut FCTC cuma ada tiga negara, termasuk Indonesia, dan dua negara Afrika seukuran Jawa Barat. Kalau saya pergi ke kantor perusahaan-perusahaan rokok, di ruang tamunya ditulis, ‘dilarang merokok’. Coba, kemunafikan macam mana lagi yang lebih dari itu?” tegasnya.

Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah juga mengeluarkan suara terkait persoalan ini. Mereka menganggap bahwa DPR menyelundupkan pasal kretek dalam RUU Kebudayaan dan menilai hal tersebut sebagai pembodohan.

“Usaha menyelundupkan pasal rokok kretek sebagai warisan kebudayaan yang harus dilindungi dalam RUU Kebudayaan yang sudah disetujui Baleg DPR adalah nyata-nyata pembodohan terhadap masyarakat, karena hanya akan membiarkan generasi muda bangsa sebagai sasaran utama pasar industri rokok,” Wakil Ketua Hubungan Luar Negeri PP Muhammadiyah, Sudibyo Markus, seperti dikutip dari detikcom.

Menurut Sudibyo, penyebutan kretek harus dimaknai sebagai satu kesatuan antara tembakau sebagai bahan baku pokok rokok kretek, dan cengkeh sebagai bahan tambahan. Sehingga penyebutan kretek tak bisa dipisahkan dari tembakau sebagai bahan pokoknya. Sementara penyebutan cengkeh saja sebagai campuran rokok kretek tanpa menyebut tembakau sebagai bahan utamanya, sama sekali tidak memberikan makna dan bobot sebagai warisan kebudayaan.

“Walaupun cengkeh secara historis dikenal sebagai salah satu rempah-rempah andalan Nusantara yang menarik para penjajah datang untuk mengeksploitasi Nusantara,” lanjutnya.

Dukungan yang Datang

Anggota DPR RI Komisi IX Rieke Diah Pitaloka meminta agar masyarakat Indonesia menjadikan kretek sebagai warisan budaya, untuk melindungi industri ini. Meski Indonesia tidak ikut tandatangan dalam FCTC, namun keberadaan aturan tersebut mengancam keberadaan rokok kretek di Indonesia. Terlebih lagi, rokok jenis ini banyak menyumbang devisa hingga lebih dari Rp100 triliun. Seperti yang diungkapkannya di sindonews.com

Rieke menceritakan, di era perjuangan kemerdekaan, rokok kretek ini banyak memberikan sumbangan. Yakni, ketika Soekarno, Presiden pertama RI di dalam penjara Sukamiskin. Saat itu, seorang kurir bernama Inggrid mengirimi Soekarno sejumlah rokok kretek. Selain rokok tersebut dikonsumsi, dari secarik kertas rokok kretek inilah, Soekarno menuliskan ide-ide perjuangan Indonesia. Saat itu rokok kreteknya bermerek Kelobot yang diproduksi di Jawa Barat. “Nilai historisnya sangat kental. Belum lagi rokok kretek sudah ada sejak ratusan tahun lalu,” katanya.

Ia juga mengatakan, agar kretek ini menjadi warisan budaya, tidak perlu ada pengakuan dari UNESCO. Analoginya, seperti batik. Indonesia secara formal baru memiliki batik ketika mendapat pengakuan dari UNESCO pada tanggal 3 Oktober dan diperingati sebagai hari batik nasional. Padahal, batik ini sudah ada sejak beberapa tahun lalu. Kondisi seperti itu menunjukkan bangsa Indonesia tidak berdaulat di bidang hukum sehingga bergantung pada UNESCO.

Jika berbicara soal Tembakau, nilai-nilai budaya yang harus dilindungi. Berbicara soal Tembakau, Petani di Indonesia memiliki nilai-nilai yang membuat bangsa ini berkepribadian dalam budaya. Seperti, ritual dalam setiap musim tanam dan panen. Serta kapan hasil ini dijual. Kondisi ini, lanjutnya, tidak akan masuk kedalam dugaan perang antara industri farmasi dan rokok luar negeri.

Kretek ini adalah persoalan budaya bangsa. Ketika kretek ini diganggu orang Indonesia akan marah. Sama halnya ketika Reog Ponorogo diklaim oleh Malaysia,” jelasnya.

Selain Rieke, dukungan juga muncul dari Wagub Jatim Saifullah Yusuf (Gus Ipul) yang pernah mengatakan bahwa rokok kretek adalah warisan budaya unik nusantara dan kreasi khas anak bangsa yang harus dipertahankan untuk perkembangan produksi dan penerimaan negara. Keberadaan industri rokok kretek di Indonesia memberikan manfaat dan menjadi tumpuan jutaan tenaga kerja baik langsung maupun tidak langsung.

Menurut dia, Jatim salah satu penghasil rokok kretek terbesar yang menggunakan bahan baku asli dari Indonsia sekaligus penghasil cukai terbesar. Market tembakau Indonesia terhadap dunia sebesar 34 persen dan 25 persen dari Jatim, kususnya dari Jember. Sedangkan produksi tembakau rata-rata dalam periode 2001 – 2011, sebesar 73.304 ton dan 9.988 ton dengan luas budidaya menyebar di 22 kabupaten dengan luasan 110.813 ha. Jatim memiliki 1.399 unit pabrik rokok besar maupun kecil yang tersebar di seluruh daerah dengan total produksi mencapai Rp 180 miliar.

Pernyataan Gus Ipul tersebut didukung oleh Koordinator Masyarakat Bangga Produk Indonesia (MBPI) Fahmi Idris. Dia pernah mengatakan bahwa Jatim adalah penghasil dan penyumbang pendapatan terbesar di sektor cukai. Dia mencontohkan, PT Freeport di Papua hanya menyumbang Rp 20 triliun dari royalti penambangan minyak, sedangkan rokok atau cukai di Jatim menyumbang lebih dari Rp 60 triliun. Namun dampak yang ditinggalkan dari PT Freepot terhadap pembuangan limbah harus dibayar mahal oleh negara dan buruk bagi lingkungan sekitar.

“Kretek layak jadi warisan budaya dunia seperti keris atau batik. Dunia telah mengenal minuman Sake dari Jepang dan cerutu dari Kuba. Dulu saya ketika jadi menteri sempat mengusulkan Kretek menjadi national heritage,” tegasnya.

Dukungan menjadikan kretek sebagai bagian dari warisan budaya, justru juga muncul dari budayawan Mohammad Sobary. Dia mengecam para wakil rakyat di DPR yang mempersoalkan kretek sebagai warisan budaya.

Seperti diketahui, pasal 37 RUU Kebudayaan menyebutkan adanya perlindungan kretek sebagai warisan budaya. Namun, faktanya, sejumlah politisi DPR, terutama dari Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Amanat Nasional mengecam hal ini. Padahal RUU itu sendiri merupakan inisiatif DPR. Sobary menilai, penolakan itu menunjukkan wakil rakyat itu tak paham kebudayaan.

“Bagaimana paham kebudayaan kalau mereka tidak mau tahu terhadap persoalan rakyat yang terinjak-injak,” kata Sobary di Jakarta, seperti dikutip dari Republika online.

Ia mengingatkan, kretek bukan sekadar rokok. Mantan wartawan ini lantas mengutip Mark Hanusz, penulis buku Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia Clove Cigarettes. “Tulis Mark, kretek itu bukan rokok, bukan pula cerutu. Meski sama-sama berbahan baku tembakau, namun kretek juga mengandung bahan baku lain yang tidak dimiliki oleh rokok jenis manapun yakni cengkeh,” terangnya.

Memang bunga cengkeh sudah sejak lama jadi komoditas perdagangan penting dan menjadi sa;ah satu alasan wilayah nusantara diincar dan dikuasai penjajah. Sebagai tanaman endemik bernilai ekonomi tinggi dan menjadi bagian hidup masyarakat, cengkeh turut membentuk bangunan budaya Indonesia.

Sobary mengingatkan, ada kelompok tertentu di masyarakat yang merasa paling tahu tentang persoalan rokok. Mereka ini begitu menggebu-gebu ingin mengubah hidup ratusan ribu petani tembakau yang terlibat dalam industri kretek.

“Mereka ini sok tahu. Padahal mereka yang tidak pernah mencium bau tanah. Tak pernah ikut bergelut dengan masalah keseharian petani tapi dengan gampang mengatakan, petani tembakau bisa beralih ke produk pertanian lain,” kecamnya.

Tak hanya itu, lanjut dia, ada kepentingan asing yang kasat mata untuk menelan bisnis kretek dalam negeri yang besar. Berbeda dengan para penjajah yang langsung mencaplok lahan dan menguasainya. Kepentingan asing ini, kata dia, mempengaruhi aturan untuk dibuat pemerintah berdasarkan kepentingan mereka.

Senada dengan Sobary, peneliti Pusat Studi Kretek Indonesia Universitas Muria Kudus, Zamhuri berpendapat bahwa upaya memasukkan kretek sebagai warisan budaya sebagai usaha mempertahankan budaya kretek melalui RUU Kebudayaan. Sebab, menurut Zamhuri, secara kajian ilmiah, kretek merupakan produk yang ditemukan oleh orang asli Indonesia dan memenuhi kriteria sebagai warisan budaya, seperti yang dikutip dari situs resmi RRI.

“Kita sudah meriset dengan teman teman di Fakultas ilmu budaya jurusan sejarah Universitas Gajah Mada (UGM Jogyakarta) yang hasilnya, kretek itu bisa menjadi warisan budaya tak benda,”kata peneliti Pusat Studi Kretek Indonesia Universitas Muria Kudus, Zamhuri, Senin (28/9) pagi.

Tidak hanya mendukung rencana menjadikan kretek sebagai warisan budaya, Zamhuri dengan tegas berpendapat bahwa argumen ‘merokok membunuhmu’ hanya berbasis stigma negatif dan emosional.

Gabriel Mahal, advokat dan pengamat Prakarsa Bebas Tembakau, pernah mengupas buku Wanda Hamilton “Nicotine War, Perang Nikotin dan Para Pedagang Obat” terbitan InsistPress, Jogja. Tema ini aktual, karena gerakan stop merokok mulai diperketat di tempat-tempat publik, terutama di ibu kota. Hotel, mal, fasilitas publik, sudah diintai petugas Satpol PP yang dibekali Perda Provinsi DKI, dan siap menghukum perokok.

Bloomberg pernah merilis lembaga-lembaga yang dibiayai internasional untuk meminimalisir perokok. Sampai-sampai Muhammadiyah, pada Maret 2010 yang lalu, pernah mengeluarkan fatwa haram. YLKI, Komisi Perlindungan Anak, beberapa lembaga pendidikan tinggi, pemerintah daerah, dan beberapa lembaga juga turut bersikap antirokok. Hal ini terkait dengan isu kesehatan akibat rokok yang sangat kencang sekali.

Rokok dan perokok dipandang sebagai sumber berbagai penyakit yang harus diberantas, atau setidaknya dibatasi agar tidak menyebar kepada orang lain. Gabriel menyebut angka-angka yang dirilis soal orang-orang mati konyol karena rokok itu tidak valid. Tidak ada penelitian yang meyakinkan, bahwa kematian mereka betul-betul dari rokok. Dia menyebut ada konspirasi besar, perusahaan farmasi dunia yang hendak merampas nikotin dari tembakau.

Dari sisi lain, ada petani tembakau di Temanggung, Parakan, Wonosobo, dan Madura yang was-was karena pencaharian mereka juga terancam. “Saya bangga dengan Soekarno, karena membangun ke-Indonesiaan. Saya heran, ada kekayaan hayati asli Indonesia, yang bernama tembakau, kok malah dikebiri? Ikut-ikutan memandang tembakau seperti iblis? Padahal, berapa triliun pemerintah memungut cukai dari sektor ini?” kata Gabriel.

Hamilton, peneliti independent dan pengajar di tiga universitas di AS itu memotret dengan rinci motif-motif perang nikotin itu. Agustus 2000 ada Konferensi Dunia tentang Tembakau dan Kesehatan ke-11 di Chicago. Sponsor terbesarnya, Glaxo Wellcome, Novartis, Pharmacia dan SmithKlina Beecham, perusahaan farmasi yang memproduksi “pengganti nikotin.” McNeil Consumer Products, anak perusahaan Johnson & Johnson yang memasarkan Nicotrol. SmithKline memasarkan koyok Nicoderm dan permen karet Nicorette.

Kecurigaan Gabriel Mahal, konspirasi dunia farmasi ini sudah memiliki nikotin sintetis, yang bisa dibuat dengan model lain, bukan rokok. Pesaingnya adalah rokok dan tembakau, yang menghasilkan nikotin dari alam yang tidak bisa dipatenkan. Persaingan usaha itu, mereka merancang skenario dari kesehatan dan menggandeng WHO. “Saya akan bela petani-petani tembakau yang tidak pernah tahu kenyataan seperti ini,” tutur Gabriel.

 

Industri dan Sumbangan Cukai

Industri tembakau, selain menjadi salah satu dari 10 industri prioritas nasional, hingga kini, industri ini melibatkan lebih dari 6 juta tenaga kerja, khususnya industri rokok kretek. Hal ini dikatakan oleh Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin, Maret lalu seperti dikutip dari detik.com. Menteri Saleh juga mengatakan bahwa rokok kretek telah menjadi bagian sejarah bangsa dan budaya masyarakat Indonesia.

Saleh menilai, rokok merupakan komoditas yang “sangat Indonesia” dan merupakan warisan nenek moyang bangsa dan sudah mengakar secara turun temurun. Sepanjang tahun 2014, penerimaan cukai rokok mencapai Rp 111,4 triliun, meningkat dibanding tahun 2013 yang sebesar Rp 100,7 triliun.

Pangsa pasar saat ini untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) sebesar 66,26%, Sigaret Kretek Tangan (SKT) 26%, Sigaret Putih Mesin (SPM) sebesar 6% dan lain-lain, yaitu Klobot, Cerutu, klembak menyan, dan Sigaret Tangan Filter sebesar 1,74%. Pada tahun 2012 nilai ekspor rokok dan cerutu mencapai US$ 617,8 juta, meningkat pada tahun 2014 mencapai nilai US$ 804,7 juta, atau meningkat rata rata setiap tahunnya sebesar 14,1%.

Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Budiyono mengatakan industri tembakau merupakan sumber utama penerimaan cukai negara dan merupakan industri padat karya. Namun, pemerintah terkesan mengesampingkan kelangsungan industri tembakau nasional yang menjadi tumpuan mata pencaharian jutaan orang.

Budiyono juga mengatakan bahwa kondisi memprihatinkan itu, terwujud seiring dengan sikap pemerintah Jokowi-JK yang meneruskan upaya memeras industri tembakau melalui lonjakan target cukai tembakau tahun 2016. Selanjutnya, ancaman hancunrya industri rokok semakin nyata dengan kenaikan target cukai secara eksesif menjadi Rp148,9 triliun atau mengalami kenaikan sebesar 23% dibandingkan dengan target cukai 2015 yang disahkan sebesar Rp120,6 triliun rupiah.

Dengan kenaikan cukai rokok yang rata-rata 7%-9% setiap tahun saja, jelasnya, industri tembakau sudah sulit untuk berkembang. Ini malah akan meloncat 23%, yang dinilai bisa membunuh industri tersebut, memacu peredaran rokok ilegal dan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.

Rokok Ilegal dan Turunnya Produsen
Budiyono juga mengatakan bahwa kenaikan cukai tembakau yang eksesif akan menjadi pendorong bagi makin maraknya peredaran rokok ilegal di Indonesia. “Kalau rokok ilegal makin marajalela, maka semua pihak akan dirugikan, yaitu pabrikan rokok legal, para pekerjanya, serta para petani tembakau dan cengkeh. Jangan lupa, pemerintah juga akan dirugikan karena rokok ilegal tidak bayar cukai,” terangnya.

Semakin mahalnya harga rokok legal karena harus membayar cukai yang tinggi, tentu akan semakin memicu perkembangan rokok illegal. Selain itu, dampak yang sangat terasa bagi industri tembakau ialah penurunan volume produksi rokok akibat kenaikan tarif yang berlebihan. Imbasnya dirasakan langsung pada pendapatan petani tembakau dan cengkeh yang bergantung pada keberlangsungan industri hasil tembakau.
Bukan hanya bagi petani saja, pelaku lain dalam industri pun akan terkena imbasnya. Penerapan kebijakan ini dapat menambahkan jumlah perusahaan yang gulung tikar dan pemutusan hubungan kerja bagi para pekerja industri tembakau.

Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menyebutkan jumlah pabrikan produsen tembakau sudah menurun dari 4.000 menjadi 995 pada 2014. Pada tahun yang sama, sekitar 20.000 pekerja pun mengalami pemutusan hubungan kerja baik di perusahaan tembakau besar maupun kecil.

“Jika bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, pemerintah harus lebih bijak. Apabila hal ini terjadi terus-menerus, industri tembakau nantinya akan mati. Imbasnya tentu terhentinya kontribusi terhadap negara dalam bentuk penerimaan cukai serta hilangnya lapangan pekerjaan padat karya,” pungkasnya.

Sementara itu, Ismanu Sumiran, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Rokok Indonesia (Gappri) menilai pemerintah saat ini belum memberikan keberpihakan terhadap industri rokok. Dari data Gappri, industri rokok sudah menyumbang pemasukan cukai dari pajak sebesar 90 persen dari total cukai yang masuk, seperti yang dilansir dari Tribun Bisnis.

Ismanu mengatakan pemerintah saat ini lebih banyak mendengar kelompok anti tembakau dengan alasan kesehatan. Menurut Ismanu pihak yang mewakili kelompok anti tembakau berlebihan dalam memaparkan fakta bahayanya merokok. “Kelompok anti tembakau itu terlalu didramatisir tidak terbukti secara konkret ini rokok membunuh dan sebagainya,” ujar Ismanu di kantor Ditjen Bea Cukai, September lalu.
Menurut Ismanu masyarakat bisa terganggu kesehatan di jalan raya bukan karena rokok melainkan asap knalpot dari kendaraan. Namun Ismanu heran pemerintah justru melihat industri rokok penyebab gangguan kesehatan.

Namun begitu, terkait dengan rencana kenaikan cukai rokok tersebut, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sebagai pembina industri nasional mengambil sikap menolak kebijakan kenaikan tarif cukai rokok ini. Bahkan, Kemenperin telah menyiapkan surat resmi yang akan dikirimkan ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang garis besarnya menolak jika tarif cukai rokok dinaikkan hingga 23 persen. “Suratnya sudah di meja Pak Saleh Husin (Menteri Perindustrian-red), tinggal menunggu persetujuan beliau,” kata Panggah Susanto, Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Selasa (22/9), seperti dikutip dari Sinar Harapan online.

Panggah mengatakan bahwa satu hal yang harus dicermati yaitu, kenaikan target cukai rokok bisa tidak terealisasi pada 2016, berkaca pada pencapaian tahun lalu. Sebagai gambaran, di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 pemerintah mengusulkan penerimaan cukai hasil tembakau naik 23 persen menjadi Rp 148,85 triliun. Angka ini setara 95,72 persen dari total target penerimaan cukai tahun depan senilai Rp 155,5 triliun.

Pada 2014, realisasi cukai tembakau hanya mencapai Rp 116 trilun. Padahal target cukai 2015 yang tertuang di APBN yang diteken pada September 2014 sebesar Rp 120,6 triliun. “Ini kan artinya tidak tercapai target cukai untuk tahun lalu. Bagaimana mungkin mau dinaikkan sebesar 23 persen,” tutur Panggah.

 

Data dan Fakta

Karim Raslan, dalam salah satu tulisannya yang diposting di situs inilah.com, pernah mengatakan bahwa industri rokok kretek adalah satu industri yang pengaruhnya begitu besar, hingga orang-orang China pun pasti akan kagum, yang akan selalu menjadi milik Indonesia. Setiap kita mengisap rokok kretek, di manapun kita berada, kita pasti akan merasa terbawa ke Jawa: sebuah pulau dengan kekayaan sejarah dan tradisi, serta keindahan luar biasa.

Karim Raslan mengatakan bahwa besarnya industri ini begitu fenomenal. Diperkirakan ada 10 juta orang “petani cengkeh dan tembakau, pekerja pabrik, pedagang dan pemilik warung” yang mendapatkan nafkahnya dari pembuatan rokok. Industri ini juga menyuntikkan sekitar 5,5% ke dalam kas nasional, sumber pendapatan pemerintah yang naik dari Rp4 triliun pada 1996 hingga mencapai Rp40 triliun pada 2009.

Dengan jumlah petani tembakau yang diperkirakan sebanyak 2,4 juta, sebagian besar berada di ambang garis kemiskinan. Pemerintah harus memikirkan bagaimana mereka akan menangani industri rokok kretek ini. Ya, tentunya pemerintah akan membebankan pajak lebih besar. Namun, kretek adalah produk yang spesial dan merupakan sebuah brand Indonesia dengan rangkaian nilai yang 100% lokal. Pemerintah harus membuat keputusan strategis. Penghasil kretek butuh bantuan agar mereka dapat memasarkan produk mereka ke luar negeri.

Karim Raslan pun mengatakan bahwa ekspor menjadi salah satu pilihan strategis yang paling logis sebagai jalan keluar industri ini. Sampoerna, Djarum, dan Gudang Garam dapat menjadi raksasa pan-Asia, bahkan regional, seperti yang sudah dilakukan Filipina dengan merk San Miguel. Mereka punya sumber daya untuk mengembangkan pasar mereka dan menjadi eksportir handal, seperti halnya Absolut, merk vodka yang telah menjadi ikon Swedia. Yang dibutuhkan adalah keberanian, ambisi dan visi.

Selama ini, Indonesia dianggap menjadi salah satu negara penghasil rokok terbaik. Bagaimana tidak, dari sekian banyak kota yang ada di Indonesia, ada empat kota yang menjadi wilayah penghasil utama tembakau, cengkeh dan kretek. Yaitu Temanggung, Minahasa, Kudus dan Kediri.

Pada tahun 1811 saja, produksi tembakau di Temanggung sudah mencapai 1.500 ton. Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Temanggung mencatat, di 2009 jumlah produksi tembakau di wilyahnya mencapai 6.786 ton dari lahan seluas 13.088 hektar.

Sementara itu di Minahasa, menurut data BPS, pada 2008 total lahan produktif yang menghasilkan cengkeh disana mencapai 23.138,25 hektare. Lahan itu terpencar di 19 kecamatan yang ada di kota Minahasa. Total produksi ditahun yang sama juga mencapai 18.742 ton. Dengan kecamatan Kombi yang tercatat sebagai wilayah penghasil cengkeh terbesar di Minahasa yakni 4.000 ton

Sedangkan di Kudus, pada 2009 tercatat, total produksi rokok kretek di Kudus berjumlah 58,9 miliar batang dari 209 unit industri. 98,4 persennya berasal dari industri besar seperti PT Djarum dan PT Nojorono. Sisanya 17 unit industri menengah dan 173 unit industri kecil rumahan. Kudus juga penyumbang PPN industri kretek terbesar dari seluruh industri ini yakni 98,73 persen dari total penerimaan PPN industri kretek sebesar Rp2,97 triliun. Sementara untuk cukai pada 2008 Kudus menghasilkan cukai hasil tembakau sebesar Rp13,57 triliun. Ditahuh yang sama, Kudus juga mampu mencatatkan nilai ekspor kretrek sebesar USD66,84 juta.

Untuk di Kediri, pada 2010, Kota dan Kabupaten Kediri juga tercatat memperoleh Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) cukup besar, yakni Rp90,6 miliar. Dana dari cukai tembakau tersebu digunakan oleh pemerintah Kabupaten Kediri untuk membiayai pelayanan umum dan pengembangan kesejahteraan masyarakat sekitar. Pada tahun yang sama, industri kretek di Kediri mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 42.900 orang. Dari jumlah tersebut, 70 persennya merupakan buruh dengan total 33.020 orang.

 

Apa dan Bagaimana Seharusnya?

Menjadi perokok, itu merupakan pilihan warga negara. Begitu juga sebaliknya. Pilihan ini merupakan hak individu dan harus dilindungi. Tidak boleh ada diskriminasi antara yang perokok dan yang tidak merokok. Ruang publik bukan hanya dimiliki oleh bukan perokok tapi juga dimiliki oleh perokok. Untuk inilah pengaturan dan penegakan hukum yang tegas dan konsisten diperlukan.

Jangan lupakan bahwa di balik isu kesehatan dan tuntutan untuk semakin memperketat penjualan rokok yang semakin tinggi, ada begitu banyak mata rantai bisnis yang terkait dengan komoditas ini yang juga membiayai proses pembangunan melalui setoran cukai yang mencapai ratusan triliun setiap tahun dan juga menciptakan lapangan kerja jutaan orang yang mungkin menderita ketika industri ini mati dan dimatikan.

Jika pemerintah siap untuk kehilangan ratusan triliun pendapatannya dari cukai, mampu menyediakan lapangan kerja pengganti untuk jutaan orang, maka bisa segera mengambil kebijakan untuk menjadikan rokok atau kretek sebagai barang terlarang untuk dikonsumsi dan diperjualbelikan, dengan alasan apapun.

Sebetulnya, permasalahan yang tampak saat ini adalah bagaimana regulasi dari pemerintah bisa dilaksanakan untuk industri rokok, pemberian ruang merokok dengan memperhatikan hak non perokok dan hak perokok menjadi sesuatu yang harus dipikirkan solusinya. Selama merokok menjadi barang legal untuk dikonsumsi dan diperjualbelikan di negeri ini, maka konsekuensi logis untuk perlunya perlakuan yang adil dan penegakan hukum yang tegas serta konsisten menjadi jalan keluar dari dilema ini.

Kemudian yang harus dipertimbangkan kemudian adalah biaya kesehatan yang harus dikeluarkan oleh negara dalam jaminan sosial yang terkait dengan itu, akan menjadi besar ketika perilaku merokok menjadi perilaku permanen pada orang-orang yang mendapatkan jaminan itu oleh negara. Ketegasan aturan terhadap pola klaim kesehatan pada program jaminan sosial kesehatan untuk penyakit yang diakibatkan oleh perilaku merokok, haruslah dibatasi dengan ketat. Sehingga bisa memberikan efek jera terhadap warga yang memutuskan untuk menjadi perokok. Bahwa mereka dengan sadar terus menjadi perokok, dengan pembatasan ketat promosi komersial industri rokok dan pembatasan klaim kesehatan jaminan sosial, akan memberatkan mereka sendiri ketika mereka menderitas akit akibat menjadi perokok. Namun begitu, jika memang akan dibatasi, sosialisasi terhadap hal itu harus sangat masif dan dipastikan bawah warga yang dijaminkan kesehatannya oleh negara mengerti betul resiko dan konsekuensi sebagai perokok.

Keberatan orang-orang yang antirokok kerap kali ditujukan pada perilaku perokok yang kerap kali tidak menghargai orang-orang yang tidak merokok. Bahwa orang yang tidak merokok juga berhak untuk menghirup udara tanpa asap rokok. Bagaimana orang dewasa yang memilih untuk merokok juga tidak memperhitungkan bahwa perilakunya yang merokok sembarangan juga bisa menjadi contoh untuk dilakukan oleh anak-anak.
Kemudian juga sebelum aturan tentang promosi rokok belum seketat sekarang, industri rokok begitu jor-joran melakukan kegiatan promosi dan tidak mempertimbangkan bahwa promosi besar-besaran yang mereka lakukan bisa mempengaruhi perilaku anak-anak untuk merokok.

Apa yang diuraikan di atas, haruslah menjadi perhatian kita semua. Ketika kretek atau rokok (kretek atau bukan) masih menjadi barang legal untuk dikonsumsi dan diperjualbelikan, akan sulit memutus permasalahan terkait dengan kesehatan dan perilaku warga perokok. Namun begitu, jika dimatikan, industri ini juga masih merupakan salah satu penerimaan terbesar bagi negara dan memiliki jutaan tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya dari situ. Untuk itu, pengaturan yang bijak sangat diperlukan dan betul-betul bisa diberikan jalan keluar yang adil dan tanpa diskriminasi.

*dimuat di http://obrolanurban.com *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun