Mohon tunggu...
Reiza Patters
Reiza Patters Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Just an ordinary guy..Who loves his family... :D

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kontroversi Kretek Dalam RUU Kebudayaan dan Industri Rokok

4 Oktober 2015   02:59 Diperbarui: 4 Oktober 2015   07:18 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Merokok kretek bukan budaya asli bangsa Indonesia. Itu cuma akal-akalan korporasi rokok. Tembakau dan cengkeh kan bukan tanaman asli Indonesia,” kata Taufiq di Jakarta, seperti dikutip dari kompas.com.

Budaya menghisap rokok, kata Taufiq sebenarnya bukan asli Indonesia, itu adalah kebiasaan asing yang dibawa ke Indonesia melalui aktivitas perdagangan. Dia menjelaskan, salah satu bukti politisi Indonesia sudah menjalin kongkalikong dengan pengusaha rokok adalah Indonesia tak meratifikasi kerangka kerja pengendalian tembakau (FCTC) Badan Kesehatan Dunia atau WHO.

“Dari 80 lebih negara, yang tidak ikut FCTC cuma ada tiga negara, termasuk Indonesia, dan dua negara Afrika seukuran Jawa Barat. Kalau saya pergi ke kantor perusahaan-perusahaan rokok, di ruang tamunya ditulis, ‘dilarang merokok’. Coba, kemunafikan macam mana lagi yang lebih dari itu?” tegasnya.

Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah juga mengeluarkan suara terkait persoalan ini. Mereka menganggap bahwa DPR menyelundupkan pasal kretek dalam RUU Kebudayaan dan menilai hal tersebut sebagai pembodohan.

“Usaha menyelundupkan pasal rokok kretek sebagai warisan kebudayaan yang harus dilindungi dalam RUU Kebudayaan yang sudah disetujui Baleg DPR adalah nyata-nyata pembodohan terhadap masyarakat, karena hanya akan membiarkan generasi muda bangsa sebagai sasaran utama pasar industri rokok,” Wakil Ketua Hubungan Luar Negeri PP Muhammadiyah, Sudibyo Markus, seperti dikutip dari detikcom.

Menurut Sudibyo, penyebutan kretek harus dimaknai sebagai satu kesatuan antara tembakau sebagai bahan baku pokok rokok kretek, dan cengkeh sebagai bahan tambahan. Sehingga penyebutan kretek tak bisa dipisahkan dari tembakau sebagai bahan pokoknya. Sementara penyebutan cengkeh saja sebagai campuran rokok kretek tanpa menyebut tembakau sebagai bahan utamanya, sama sekali tidak memberikan makna dan bobot sebagai warisan kebudayaan.

“Walaupun cengkeh secara historis dikenal sebagai salah satu rempah-rempah andalan Nusantara yang menarik para penjajah datang untuk mengeksploitasi Nusantara,” lanjutnya.

Dukungan yang Datang

Anggota DPR RI Komisi IX Rieke Diah Pitaloka meminta agar masyarakat Indonesia menjadikan kretek sebagai warisan budaya, untuk melindungi industri ini. Meski Indonesia tidak ikut tandatangan dalam FCTC, namun keberadaan aturan tersebut mengancam keberadaan rokok kretek di Indonesia. Terlebih lagi, rokok jenis ini banyak menyumbang devisa hingga lebih dari Rp100 triliun. Seperti yang diungkapkannya di sindonews.com

Rieke menceritakan, di era perjuangan kemerdekaan, rokok kretek ini banyak memberikan sumbangan. Yakni, ketika Soekarno, Presiden pertama RI di dalam penjara Sukamiskin. Saat itu, seorang kurir bernama Inggrid mengirimi Soekarno sejumlah rokok kretek. Selain rokok tersebut dikonsumsi, dari secarik kertas rokok kretek inilah, Soekarno menuliskan ide-ide perjuangan Indonesia. Saat itu rokok kreteknya bermerek Kelobot yang diproduksi di Jawa Barat. “Nilai historisnya sangat kental. Belum lagi rokok kretek sudah ada sejak ratusan tahun lalu,” katanya.

Ia juga mengatakan, agar kretek ini menjadi warisan budaya, tidak perlu ada pengakuan dari UNESCO. Analoginya, seperti batik. Indonesia secara formal baru memiliki batik ketika mendapat pengakuan dari UNESCO pada tanggal 3 Oktober dan diperingati sebagai hari batik nasional. Padahal, batik ini sudah ada sejak beberapa tahun lalu. Kondisi seperti itu menunjukkan bangsa Indonesia tidak berdaulat di bidang hukum sehingga bergantung pada UNESCO.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun