3. Mengacaukan sektor bisnis swasta yang sah (Undermining The Legitimate Private Business Sector)Â
Tindak pidana pencucian uang berdampak pada sektor swasta di tingkat mikro ekonomi. Pencuci uang menggunakan perusahaan-perusahaan palsu untuk mencampur uang haram dengan uang sah dengan tujuan menyembunyikan uang hasil kegiatan kejahatannya. Di Amerika Serikat, kejahatan terorganisir menggunakan toko-toko pizza sebagai sarana penyembunyian uang hasil perdagangan heroin.Â
Perusahaan palsu tersebut memiliki akses ke dana haram yang besar yang memungkinkan mereka menawarkan barang dan jasa dengan harga di bawah pasar. Hal ini dapat menyebabkan bisnis yang sah terpukul karena tidak dapat bersaing dengan perusahaan tersebut dan pada akhirnya dapat menyebabkan bisnis yang sah tersebut bangkrut.
4. Menyebabkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonomi (Loss of Control of Economic Policy)
Tindak pidana pencucian uang dapat memiliki dampak negatif pada nilai mata uang dan suku bunga. Setelah mencuci uang, para pelaku cenderung menempatkan dana mereka di negara yang risiko pengungkapan kegiatan mereka sangat kecil.Â
Ini dapat meningkatkan ancaman ketidakstabilan moneter yang dapat mempengaruhi permintaan uang dan memperbesar volatilitas dalam arus modal internasional, suku bunga, dan nilai tukar mata uang tanpa sebab yang jelas. Dampak ini dapat merusak kebijakan perekonomian negara dan menghilangkan kendali pemerintah.
5. Munculnya ketidakseimbangan dan ketidakstabilan dalam ekonomi (Economic Distortion and Instability)
Pencuci uang tidak tertarik pada investasi untuk mendapatkan keuntungan tambahan karena mereka lebih fokus pada upaya melindungi hasil kejahatan mereka.Â
Keuntungan yang diperoleh dari kegiatan kriminal sudah sangat besar sehingga mereka tidak tertarik pada investasi dengan potensi pengembalian tinggi. Mereka lebih memilih untuk menempatkan uang hasil kejahatan pada kegiatan yang aman dan tidak terdeteksi oleh penegak hukum meskipun investasi tersebut tidak menghasilkan pengembalian yang tinggi secara ekonomis. Sikap ini dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi negara tempat investasi dilakukan.
Pada tanggal 22 Juni 2001, Financial Action Task Force (FATF) menempatkan Indonesia dalam daftar hitam sebagai Non-Cooperative Countries and Territories yang tidak kooperatif dalam menangani kasus pencucian uang karena pada saat itu Indonesia belum memiliki dan menerapkan undang-undang anti-pencucian uang.
Setelah Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 disahkan oleh DPR dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 serta Bank Indonesia mengeluarkan peraturan Nomor 3/10/PBI/2001, Indonesia dianggap telah serius dalam menangani masalah pencucian uang.