Pagi ini, Risa diantar ke kampus oleh Reyhan, pacar kesayangannya. Tak lupa janjian untuk sehabis kelas akan makan siang bersama. Setelah itu, dia berjalan menuju kelasnya. Didalam kelasnya Risa disambut oleh 3 sahabatnya lalu duduk bersama mereka melingkar saling berhadapan.Â
"Kiw kiw yang dianter ayang," goda Sita sambil menyenggolkan lengannya.
"Yaiyalah, kaya kamu engga aja," balas Risa dengan menyenggolkan lengannya pula.
"Eh tau ga sih, tadi ada anak yang katanya hamil," celetuk Gina yang memulai ghosip pagi ini.
"Iya tau, aku liat sendiri tadi di depan ruang dosen," timpal Tisa bersemangat.
"Hah? Siapa?" tanya Risa penasaran.Â
"Masa ga tau sih?" tanya Gina yang tidak percaya.
"Seorang selebgram dengan followers 130ribu ga tau berita ini?" timpal Sita yang ikutan tidak percaya dengan nada mengejek.
"Kan gw baru dateng, mana tau lah," balas Risa dengan nada yang mulai menaik.
"Jadi gini, tadi anak itu ketauan hamil karna ada tespek yang ketinggalan di kamar mandi, dan banyak yang liat dia keluar dari kamar mandi. Makanya pada ngira dia hamil," jelas Gina dengan nada yang merendah takut terdengar orang lain.
"Waduhh gawat dong!" celetuk Tisa khawatir.
"Tapi kan yang dari kamar mandi itu tentu ga cuman dia kan?" tanya Risa memastikan kebenaran berita itu.
"Engga dong, itu tuh masih pagi, otomatis dia yang pertama," jawab Gina meyakinkan.
"Emang siapa sih?" tanya Risa semakin penasaran.
"Masa ga tau sih siapa," pancing Sita seperti meledek karena ketinggalan berita.
"Lu tau Vatia?" timpal Gina seperti berbisik-bisik.
"Anak kelas Musik?" tanya Risa kembali memastikan.
"Nah itu anaknya!" ucap Tisa dan Sita nyaris berbarengan.
"Mana dia hamil sama mantannya lagi, terus pacarnya yang sekarang minta putus, dan nelantarin gitu aja!" ucap Gina memperpanjang perghosipan ini.
"Oh iya, dia belum nikah ya, berarti itu anak hamil diluar nikah dong!" timpal Sita tak kalah julit.
"Utututu kasian amat sih bocah caper!" ucap Risa iba sekaligus meledek.
"Heh jangan kenceng-kenceng, ada bestinya disini," celetuk Tisa untuk menenangkan teman-temannya.
"Ha? Siapa?" tanya Gina dengan mata sedikit melotot.
"Sindi kan besti banget tuh, eh giliran ketangkep satu, kok dia cuek banget yah. Kaya orang ga kenal gitu," jawab Tisa dengan nada yang semakin pelan.
"Kok dia mau ya temenan sama si caper itu?" celetuk Risa yang semakin blak-blakan.
"Dipelet kali yah," balas Sita spontan.
"Kasian banget tu anak, kok mau yah?" tanya Gina tak habis pikir dengan tingkah Vatia.
"Kalau udah cinta, emang bisa bikin buta," balas Tisa sesuai fakta yang ada.
"Pacarku aja kemaren hampir disambet sama si caper, untung aku lihat," pancing Risa lagi agar suasana semakin panas.
"Hayoo, awas pacarmu Ris," ledek Gina seperti menakut-nakuti.
"Ya engga lah gila, mana mau," jawab Risa enteng.
Sepulang sekolah, mereka berempat sepakat untuk makan bersama di salah satu restoran.
"Nongki lah yok, masih siang gini!" ajak Risa dengan semangat membara.
"Bayarin dong sultan," goda Sita dengan nada menantang.
"Iye udah gampang, yang paling mahal sekalian lah yok gas," balas Risa dengan nada tak ada beban.Â
"Gas!" sorak Sita, Gina, dan Tisa saling berangkulan.
Sesampainya di cafe yang dituju, mereka langsung memilih tempat duduk yang cukup mudah melihat pemandangan yang cukup menarik.
"Mbak kita pesen semua menu favorit disini," ujar Risa dengan nada bangganya.
"Baik mbak," jawab mbak pelayan dengan ramah.
"Asikk makan enak nih kita!" seru Tisa yang semakin bersemangat.
"Sultan mah ga abis abis duitnya!" goda Gina lagi membuat Risa semakin berbangga diri.
"Foto dulu ga sih, biasa konsumen fans," ajak Sita siap membuka kamera handphonenya.
"Iya dong, harus itu," ujar Risa setuju.
Mereka foto bersama, dan memotret makanan yang mereka pesan, lalu mengunggahnya ke sosmed mereka. Tak berselang lama, muncul komenan fans yang tidak mengenakan hati. Menggatai caper, sok sultan, suka pamer, sombong, ga peduli sekitar, beban kelurga, sampah duniawi, pencemaran mata, perilaku yang katanya berlebihan diusianya, bahkan ke fisik. Ketikan tersebut cukup membuat hati Risa sedikit tertusuk.
"Mereka kok ngomongnya kaya sok tau banget sih!" sewot Risa sambil menunjukan komentar yang ada di handphonenya.
"Yaelah orang miskin itu, ga mampu kaya kita," balas Sita dengan santainya.
"Cuman bisa ngeliat kok sok sokan menilai, kan aneh ya," sahut Tisa dengan nada sok bijaknya.
"Udah, baper banget sih, jangan terlalu pake hati," ucap Gina mencoba memberi nasihat.
"Iya sih, tapi kok ya gini banget yah," ucap Risa dengan perasaan yang semakin tak mengenakkan.
"Itu mah mending disosmed, orangnya ga kliatan, daripada aku secara langsung dikatain, itu di sosmed mah belum apa-apa itu," timpal Sita yang malah mencoba membanding-bandingkan kehidupannya.
"Jangan bahas masa lalu deh, mending ditutup rapet-rapet kalau masa lalu mah," ujar Risa dengan nada tenang berusaha agar temannya ikutan lebih tenang.
"Mereka emang kurang ajar, atau mungkin mereka banyak yang ga sekolah kaya kita, jadi otaknya ga dipake!" balas Gina yang mencoba menenangkan namun malah seperti menjatuhkan orang lain.
"Udah deh, jangan diperpanjang," ucap Tisa pasrah.
"Eh tumben Ris, jerawatmu gedhe banget tuh merah lagi," ucap Sita sambil menunjuk jerawat di muka Risa menggunakan alisnya.
"Hah? Mana?" tanya Risa kebingungan dan segera mengambil kaca dari dalam tasnya.
"Itu di hidung, kaya badut jadinya. Eh atau emang badut yah?" ledek Gina yang mencoba membuat lelucon. Sialnya, sita ikutan tertawa, dan Tisa hanyalah menggeleng pelan. Risa hanya bisa tersenyum tipis sambil terus menatap jerawatnya dari kaca.
"Yelah Kila, cuman bercanda," ucap Gina lagi mencoba membalikan kondisi dan berharap Risa tidak tersinggung dengan ucapannya.
"Hehe aman kok," balas Risa santai walau hatinya cukup sakit.
"Ini yang mau ngabisin siapa?" tanya Risa mencoba memecahkan suasana.
"Lu aja Tis," jawab Sita dengan santainya.
"Dih ya ogah, dah kenyang!" balas Tisa dengan nada agak meninggi.Â
"Yang ada makin gendut nanti kamu!" ledek Gina lagi. Kali ini Sita hanya mencoba menahan tawa, dan Tisa mencoba memalingkan matanya. Risa masih tak berkutik dengan kacanya.
"Bercanda Tisa," timpal Gina lagi, harapannya sama, membuat temannya tidak tersinggung dengan ucapannya.
"Bercanda mulu!" sewot Tisa dengan nada yang cukup beringas.
"Risa, kamu yang bayarkan?" tanya Sita mencoba mencairkan suasana kembali.
"Iya aman, berapa mbak?" tanya Risa mencoba merogoh dompetnya.
"Totalnya 7 juta mbak," jawab mbak pelayan sambil menyodorkan struk.
"Bisa kredit kan mbak?" tawar Risa sambil mengambil kartu kreditnya.Â
"Bisa mbak," jawab mbak pelayan dengan tenang.
"Aduh kok susah ya mbak?" keluh Risa karena sudah berkali-kali dicoba tidak sesuai.
"Maaf mbak, sepertinya saldonya tidak mencukupi," ucap mbak pelayan tersebut seakan menjadi petir di siang bolong. Risa tidak menyangka saldonya akan kurang karena biasanya ia selalu kelebihan saldo.
"Waduhh," keluh Sita, Gina, dan Tisa nyaris berbarengan sambil memalingkan wajahnya masing-masing.
"Sebentar, saya telfon pacar saya dulu," ucap Risa dengan penuh rasa panik. Namun, telfon tersebut tak kunjung diangkat. Risa semakin khawatir. Melihat Risa yang semakin kebingunganan, ketiga temannya saling memandang satu sama lain.
"Makasih makanannya ya Risa, aku pulang dulu, bye!" ucap Gina pamit mengundurkan diri sambil beranjak dari kursinya.
"Makasih juga ya Risa, aku udah di jemput nih, bye!" ucap Tisa yang ikutan pamit pulang.
"Makasih ya Risa, selamat berjuang mencuci piring, hehe, bye!" ucap Sita pamit pergi sambil meledek Risa.
"Parah banget kalian yah!" ucap Risa dengan emosi yang sulit di pertahankan. Mau tak mau ia harus mencuci semua piring dalam restoran tersebut hingga tutup. Alhasil ia pulang larut malam.
Ia memilih pulang menggunakan taksi, beruntung masih beroperasi. Namun, sepanjang perjalanan pulang ditemani lampu-lampu malam, pikirannya kacau. Rasa sebal dan amarah bercampur menjadi satu ingin balas dendam. Bisa bisanya sudah ditraktir, eh ketika sudah selesai malah meninggalkan sendiri begitu saja. Pemikiran itu berkecamuk di kepala Risa. Tak sengaja air mata mengalir dari ujung matanya. Ia langsung menyikapnya, takut orang lain mengetahuinya.
Tiba-tiba, ia teringat, ia pernah mendapatkan nasihat dari kakak tingkatnya, jika ada yang menyakiti hatimu, cobalah untuk menjauh dari mereka agar hatimu tetap baik-baik saja. Hatinya yang awalnya panas membara, kini kian mereda. Perkataan kakak tingkatnya mungkin benar.
Isi kepalanya berbicara, 'Demi aku dan hatiku baik-baik saja, aku akan mencoba menjaga jarak dari mereka. Aku bukan jahat, aku hanya peduli dengan diriku sendiri, aku tidak lagi mengizinkan hatiku oleh orang yang tidak berhak untuk hadir di hatiku'.
Seketika senyumku kembali terukir. Rasa puas dan lega ikut merambah ke tubuhku yang lengket. Ia harap, ia bisa benar-benar melepaskannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H