Mohon tunggu...
Hilmi TaufiqulMutohar
Hilmi TaufiqulMutohar Mohon Tunggu... Penulis - pria asal negri sejuta warung kopi

gak suka makanan pedas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Seorang Santri

28 Mei 2024   15:52 Diperbarui: 28 Mei 2024   16:01 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.sarungatlas.co.id/post/article/benarkah-cintamu-cinta-sejati

Santri. Kalau mendengar nama itu seakan peci serta sarung selalu lengkap, berbalut dengan takwa bersih siap untuk berangkat mengaji, maka sangat wajar sekali  ketika santri baru pulang dari pesantrenya ia sering di panggil ustadz kah, disuruh imam kah atau pun memimpin tahlil.

Hal itu pun yang menjadikan setiap santri memiliki tantangan untuk selalu menjadikan dirinya sebagai orang yang bermanfaat untuk masyarakat di sekitarnya. Hal itu  juga dirasakan Taufiq seorang santri berumur 17 tahun tersebut, masa labil kadang membuatnya merasa malas, bosan dan sumpek. Di usianya yang baru menginjak sweet seventeen tersebut, ia  juga merasakan hal yang sama dengan orang seusianya di luar pesantren. Umurnya yang sudah memasuki masa pubertas pun turut menimbulkan banyak tanda-tanda yang ia sendiri baru merasakannya seperti tumbuh janggut, jakun serta bau badan yang lebih menyengat daripada biasanya.

***

Sore itu, langit yang sama seperti biasanya, berwarna biru tenang terlihat semburat warna jingga tipis menyinari sebagian bawah awan kala itu, angin berhembus lembut menyenggol daun sehingga bergesek sesuai irama. Hari sabtu, hari yang diberikan kepada santri untuk libur mengaji, sehingga mereka bisa melaksanakan aktifitas seperti berolahraga, mencuci, ataupun menikmati masa liburan tersebut.

"Fiq," sapa anwar teman sekelasnya.

"Oi," jawab Taufiq singkat.

"Ntar malam kita buat Ogoh-ogoh," ucap Anwar mengajaknya.

"wah, mau buat Ogoh-ogoh apa kita," ucap Taufiq heran.

"Euu... katanya sih kura-kura nanti kita buat dari bambu aja, biar kita leluasa membuatnya," jelas Anwar.

"Ok lah kalau begitu," jawab Taufiq mengiyakan, tetapi sebetulnya ia  hanya ingin cepat melihat sesosok perempuan yang lewat di luar gerbang sana.

"yahhh.....hilang," ucap Taufiq dalam hati. Melihat perempuan yang sedari tadi mencuri pandangannya, ternyata sudah pergi entah kemana.

Ya, perempuan itu. Perempuan yang selalu membuat Taufiq seakan penasaran akan kehadiranya, untuk mengetahui namanya saja sangat susah bahkan nyaris nihil, karena pesantren ini terpisah oleh dua gerbang yang saling berjahuan serta dipisah dengan aliran sungai yang membuatnya terasa terpisah jauh.

***

Malam berhias bulan serta taburan bintang meramaikan suasana malam hari itu, suara ketokan palu, deritan pisau yang menyentuh bambu serta gergaji yang terus beradu dengan kayu balok sepanjang 2 meter. Para santri pun sibuk dengan kerjaannya masing-masing ada yang membuat obor, menata panggung begitu juga Taufiq yang sedang membuat Ogoh-ogoh hal itu mereka lakukan agar dapat meramaikan malam Hari raya Idul Adha dua hari lagi.

Dari sisi ujung pesantren teletak disebelah  sungai, sebuah rumah panggung bertempelkan kayu jati serta terdapat beberapa lukisan asmaul husna dan potongan ayat Al-Qur'an tertempel didinding. Terdengar suara Kiai Munir pemilik pondok tersebut sedang melantunkan beberapa ayat Al-Qur'an. Memang benar kata orang, malam hari adalah malam yang indah untuk mendekatkan diri kepada sang Rabbi. Lihatlah kiai itu mulutnya sibuk melantunkan ayat Suci, lembaran demi lembaran tak terasa terbalikkan begitu saja tanpa ada rasa letih atau pun bosan. Maka pantas saja jika tidak ada yang mampu untuk menandingi satu ayat saja di dalam Al-Qur'an seperti Musailamah Al-kadzab pada zaman itu.

"Mbak Najah," ucap salah satu tangan kanan Bu Nyai Rafida istri dari Kiai Munir.

"ya, Ning ada apa," jawab Najah seraya membalikan badannya, yang ternyata telah bediri di depannya Warda salah satu dari keempat anak Kiai Munir.

"itu kan di depan ada santri putra sedang gotong royong untuk persiapan malam idhul adha, tadi ibu bilang untuk sediain minuman dan gorengan untuk anak-anak," ucap ning Warda.

"oke, Ning," jawab Najah.

"oh ya...kalau sudah selesai jangan lupa main ke kamar ya kita belajar bareng lagi, sama gorengan nya udah disediain kok, kamu ajak satu orang buat nemenin kamu," ucap Warda menambah kan.

"ok Ning, nanti Najah ke kamar, tapi Ning jangan curhat lagi ya," ucap Najah menjaili Ning nya tersebut.

"heheh.....bisa aja kamu Jah...gak lagi deh janji, aku duluan ya" jawab Warda meninggalkan Najah, terlihat semburat warna merah menghiasi pipi salah satu primadona santri putra itu.

Ya, Najah namanya perempuan berkulit putih kelahiran Jawa tersebut adalah perempuan yang sering dilihat oleh Taufiq, perempuan yang memiliki tinggi badan 158 m tersebut adalah salah satu khadimah dari Kiai Munir.

Ia pun lantas membawa nampan berisi teh hangat dan gorengan bersama dengan teman satu kamarnya di rumah Kiai Munir, untuk di berikan kepada santri putra yang sedang membuat Ogoh-ogoh.

"Kang, maaf ini ada teh sama gorengan dari Bu Nyai...," ucap Najah.

"oh, iya Mbak," ucap Taufiq terhenti.

Ya wajah itu, wajah yang sering ia nantikan kehadirannya, tidak salah lagi ini adalah perempuan yang selalu ia tunggu untuk keluar setiap sabtu sore, pakaian coklat itu meskipun bukan satu satunya yang Taufiq lihat untuk ia kenakan tapi bisa menambah meyakinkannya akan perempuan yang selama ini ia cari.

Ke empat manik indah itu pun saling beradu, desiran hangat menjalar ke seluruh tubuh, deguban jantung berdetak kencang tak seperti biasanya, Ingin sekali ku bantu perempuan itu, agar ia tak usah berjalan lebih jauh lagi dengan nampan berisi gorengan, tapi apalah daya untuk sekedar mengatakan "taruh saja di meja itu" Taufiq pun tak sanggup. Memang tidak lama untuk saling bertatapan akan tetapi mampu menarik seluruh alam sadar Taufiq terbelenggu dalam desiran asmara.

"Taruh disitu saja Mbak," ucap Anwar.

Lamunan Taufiq pun pecah, suara Anwar menariknya kembali ke dunia nyata, demi waktu andaikan dapat di putar dan disimpan sungguh Taufiq ingin menyimpannya, tapi apalah daya waktu dan kesempatan adalah hal paling terbaik yang Allah berikan untuk hambanya secara cuma-cuma dan tidak akan di berikan kembali.

"oh ya, kang terimakasih," jawab Najah seraya meninggalkan kedua santri pria tersebut.

Taufiq pun melihat punggung itu pergi, diikuti dengan Putri teman Najah yang masih heran dengan Taufiq yang tiba-tiba terhenti kata-katanya ketika melihat mereka berdua.

***

Tahun demi tahun berlalu, kini Taufiq sudah menjadi salah satu ustadz di pondok asuhan Kiai Munir tersebut. Hari harinya kini ia abadikan untuk mengajar dan Khidmah disana, tapi tidak dengan Anwar, teman seperjuangannya. Selepas ia lulus dari pesantren Anwar langsung izin boyong untuk meneruskan bisnis keluarganya.

Oh ya, perihal Najah ia juga sudah dikirim oleh Kiai Munir ke universitas di Mesir demi melanjutkan belajar agama disana. Memang terkadang hidup ini terdapat misteri yang kita tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi pada dasarnya apa pun itu Allah tetap akan mengirimkan jalan terbaiknya.

" ustadz....Taufiq," panggil salah satu santri.

"eh iya, ada yang bisa ustadz bantu," Ucap Taufiq.

"ustadz di panggil Kiai Munir, di tunggu sekarang di ndalem(rumah kiai)," jelas santri tersebut.

"ohh, askurukum jazzakumullah khair(terima kasih semoga alllah membalasmu dengan kebaikan)," ucap Taufiq seraya menganggukkan kepalanya.

"amin waiyyakum ustadz, permisi duluan ustadz," ucap santri itu lalu pergi dari hadapan Taufiq.

Taufiq pun lantas pergi ke rumah kiai, langkah nya tergopoh-gopoh ia takut kiai telah menunggunya terlalu lama. Karena bukan adab seorang santri hingga membuat gurunya menunggu.

"Assalamualaikum" ucap Taufiq.

"Waalaikumsalam, taal ustadz" jawab Kiai Munir.

Perbincangan kiai dan murid itu berlangsung lama, Kiai Munir menginginkan Taufiq untuk segera menuntut ilmu keluar negeri. Santri mana yang tak senang dengan perintah kiai tersebut. Tapi yang membuat Taufiq bingung saat ini Kiai Munir menginginkan ia menikah sebelum pergi belajar ke Timur Tengah terlebih Kiai Munir sudah menyiapkan seorang ustadzah untuk nya.

***

Malam itu tiba, Taufiq dibawa ke ruangan tengah di kediaman Kiai Munir. Ruangan itu Kiai munir gunakan jikalau ada salah satu dari santrinya ingin melakukan nazhor. kini Yang perlu Taufiq siapkan adalah kata penolakan untuk perjodohan itu, ia bingung bagaimana ia bisa berganti hati dan mencintai wanita lain sedangkan hatinya masih bergantung pada wanita 5 tahun lalu, wanita  yang selalu ia nantikan di ujung gerbang pesantren, pertemuannya dengan Najah saat membuat Ogoh-ogoh juga masih teringat hingga sekarang, pelan-pelan kenangan itu melayang. Peti yang sudah lama tertupup rapat itu tiba-tiba dipaksa untuk terbuka kembali. Bagaimana cara menolak perempuan pilihan kiai. Kalau ia menolak ia akan menyakiti hati kiai, jika ia menerima maka Taufiq juga akan merasa kasihan dengan calon istrinya, terlebih sebab ia masih mencintai Najah. Tapi bukankah seperti konsep jodoh kadang memang tidak selalu tentang yang kita inginkan, karena manuasia hanya bisa berencana tapi Allah lah yang menentukan.

"Assalamualaikum," ucap seseorang wanita membuka pintu.

"waalaikum salam. Eh," ucap Taufiq seketika terhenti.

Perlahan perempuan itu meletakkan minuman tepat di depan Taufiq lalu berangsur pergi. Bagai di terjang ombak meskipun hanya sebentar ia yakin pasti itu Najah. Ya, tidak- salah lagi meskipun sudah 3 tahun tidak memandangnya dari jauh. Tepatnya ketika Najah dikirim ke Mesir

"Bagaimana...ustadz," ucap Kiai Munir memecah lamunan Taufiq.

"Euuu...permisi kiai, apa yang bagaimana..," ucap Taufiq.

"Ustadzah yang ingin saya nikahkan sama ustadz itu yang membawa minuman tadi," jawab Kiai Munir menjelaskan.

Taufiq merasa sangat senang. hampir saja ia menampar mukanya sendiri, untuk memastikan bahwasanya ini bukan bunga mimpi. Bagaimana bisa, perempuan yang selalu ia amati dari jauh, Ia jaga dalam doa di setiap sepertiga malam. Kini telah siap menjadi pendampingnya, terlebih lagi Kiai Munir yang menjodohkannya. Apapun itu, semua akan indah pada waktunya bukan.

"Sami'na wa atokna Kiai" ucap Taufiq sedikit malu

"Alhamdulillah," ucap Kiai Munir.

***

Pagi itu akad dilaksanakan, Kiai Munir yang langsung menikahkan ustadz dan ustadzah tersebut. Senyum merekah di wajah Taufiq begitu juga dengan Najah. Ya perempuan itu juga sudah pernah menaruh hati kepada pria nya. Cinta mereka berdua seperti sayyidina Ali dan Sayyidatuna Fatimah. Saling mencintai dalam diam dan saling menjaga dalam doa. Begitu juga cerita cinta santri. Tidak perlu bunga bucket dan surat cinta apalagi hingga video call sampai larut malam, karna pada dasarnya santri mengetahui siapa tuhannya dan apa yang dibencinya. Maka ia akan melambungkan doa nya setinggi mungkin. Karena ia akan meminta kepada sang pemilik hati.

"Ya allah jika dia memang jodohku maka dekatkan lah, jikalau bukan maka gantilah dengan sesuatu yang lebih baik, jika bukan kepadamu lah aku meminta lantas kepada siapa lagi ya rabb."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun