Bara api di antara puing masjid Baitul Muttaqin di Tolikara belum juga dingin. Namun angka nominal donasi untuk pembangunan kembali masjid itu di situs crowd funding kitabisa.com sudah mencapai lebih dari Rp 150 juta dalam waktu kurang dari 24 jam sejak diluncurkan 18 Juli 2015, satu hari setelah musibah. Adalah Panji Pragiwaksono, seorang aktivis yang memulai penggalangan dana tersebut dengan target pengumpulan Rp 200 juta dalam waktu 30 hari.Â
Namun hanya dalam waktu 3 hari donasi yang dikumpulkan secara online itu sudah terhimpun lebih dari Rp 300 juta. Ketika donasi dikirim ke Tolikara untuk membangun kembali masjid, para politisi, aparat dan pengamat kita belum selesai bertikai mencari siapa yang salah. Awal Agustus masjid kembali dibangun menggunakan uang donasi ini, sementara beberapa kelompok justru menggaungkan ajakan berangkat berperang.
"Kita menang!" tulis Panji dalam halaman penggalangan dananya setelah donasi selesai terkumpul.
Panji benar. Bukan hanya aksi nyata baik yang menang atas sikap saling menyalahkan, tapi juga kemenangan tindakan konstruktif menyelesaikan masalah ketika persatuan bangsa kita tengah terancam.
"Banyak yang menghardik, banyak yang mengamuk, banyak yang berniat membalas dendam. Namun di antara itu semua, beberapa orang memutuskan untuk bersatu, berkorban, menyumbangkan rezekinya via kitabisa.com agar saudara-saudara kita umat muslim di Tolikara punya kembali rumah ibadah. Dan inilah hasilnya," tulis Panji dua bulan kemudian yang disertai foto rumah ibadah itu telah kembali tegak berdiri.
TERORIS DI RUMAH KITA
Media sosial adalah alat yang sangat kuat dengan segala kebaikan dan keburukannya. Seperti Pandji, kita bisa dengan mudah menggalang dana untuk misi-misi mulia melalui media sosial karena ia dengan mudah menjangkau miliaran orang dalam sekejap dan tanpa biaya. Dan organisasi teroris menyadari hal itu.
Sebenarnya kita tengah berada dalam dunia mengerikan yang tak pernah dikenal oleh kakek atau orangtua kita dulu -- ketika organisasi teroris dengan mudah menelusup hingga ke dalam rumah kita menggunakan saluran media baru (new media). ISIS dan para kaki tangan serta simpatisannya tak hanya gencar menyebarluaskan propaganda lewat berbagai saluran seperti Facebook, Twitter dan Youtube. Namun sekaligus menggelar rekrutmen melalui media sosial. Berdasarkan analisis IHS Global Strategies, ISIS menyediakan bujet US$ 29 juta atau Rp 377 miliar per tahun atau 3% dari total anggaran untuk pembiayaan propaganda.
"Gerakan teroris luar negeri saat ini memiliki akses langsung ke negara kita, sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya," ujar Michael Steinbach, Asisten Direktur FBI Divisi Kontrateroris pada Juni lalu setelah polisi menembak mati Usaamah Rahim di Boston.
Rahim adalah warga AS keturunan Timur Tengah berusia 26 tahun yang direkrut dan diradikalisasi oleh ISIS melalui new media. Ia ditugaskan untuk memancung kepala Pamela Geller, seorang aktivis blog yang memimpin kampanye Stop Islamization of America sekaligus inisiator Muhammad Art Exhibit and Contest. Dalam proses penyelidikan, FBI mengungkap ada ribuan pesan pribadi antara Rahim dan anggota ISIS di luar negeri, termasuk pesan instruksi pembunuhan Geller yang dikodekan sebagai 'Boy in Blue'.
Rahim hanyalah satu dari ribuan warga AS yang telah direkrut dan diradikalisasi oleh ISIS menggunakan media sosial. Sampai 2015 setidaknya sudah ada 3.400 warga AS, Kanada dan Eropa yang berangkat ke Timur Tengah dan bergabung dengan ISIS. Para analis sepakat pada hal ini: ISIS memiliki keahlian dalam 'memikat' orang lain yang jumlahnya jauh lebih besar dibanding Al-Qaeda.