Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kita Berada dalam Pusaran Propaganda Kebencian

13 September 2016   22:19 Diperbarui: 26 September 2016   11:30 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster gerakan No Hate Speech Movement di Eropa. (sumber: nohatespeechmovement.org)

Produk yang dihasilkan dalam industri ini adalah segala bahan bakar yang mampu meletupkan kebencian dan menggalang perasaan sebagai korban serta menciptakan musuh bersama. Key Performance Indicator (KPI) keberhasilan produknya juga bisa diukur sehingga mudah untuk dipantau dan dikembangkan. Mulai dari basis user, jumlah impresi, trafik, tingkat interaksi, sentimen, reaksi, hingga konversi. Sekilas orang akan menganggapnya sekedar gerakan kontra-public relation. Namun ketika yang digelorakan adalah kebencian dan permusuhan, maka nasib tatanan sosial, politik, ekonomi dan keamanan sebuah bangsa dan umat manusia sedang diletakkan di meja taruhan.

MELAWAN DENGAN HARAPAN

Sekarang anda sudah tahu bagaimana kebencian itu difabrikasi di dunia maya dan segelintir orang tengah meraup keuntungan dari sana. Mungkin anda akan merenungkan kembali soal kebencian yang tengah melilit diri anda: apakah ia murni produk kesadaran anda, atau produk orang lain?

Bila kelompok teroris memanfaatkan media sosial untuk menyebarluaskan kebencian, memecahbelah, dan merekrut anggota baru dengan sumberdaya yang sangat banyak, mampukah kita melawannya juga melalui media sosial?

Google, Facebook dan Twitter memiliki peraturan ketat akan konten terorisme dan kebecian. Tanpa toleransi, konten sejenis ini akan dihapus dan akun penggunanya akan diblokir. "Tak ada tempat bagi teroris di Facebook," tulis Facebook dalam aturan pemakaian. Namun seberapa pun sumberdaya yang dikerahkan para raksasa teknologi ini tak akan sanggup untuk membendung total konten kebencian. Setiap konten dengan mudah ditransmisikan dan direplikasi, terlebih menggunakan teknologi seperti pada Fajr Al-Basheer. Seberapa pun banyaknya akun yang diblokir, akan datang kembali ribuan akun baru dalam sekejap.

Namun ada yang lebih pelik ketimbang hal di atas: kebebasan berekspresi dan sifat alamiah media sosial. Sebagai sebuah platform global yang menyanjung hak kebebasan berekspresi dan berpendapat, kebijakan yang diadopsi oleh raksasa teknologi ini seringkali tidak sejalan dengan regulasi penyensoran negara. Sebuah konten bisa saja dilihat sebagai ujaran kebencian, namun sekaligus sebagai hak kebebasan berpendapat.  Penyensoran bisa dipandang sebagai upaya melindungi masyarakat, sekaligus upaya represif mengebeiri hak warga atas informasi.

"Masalah besar juga terdapat pada perilaku alamiah di media sosial secara global yang bergantung pada kebijakan pribadi masing-masing pengguna dalam mengidentifikasi konten yang pantas atau tidak bagi mereka," tulis kolumnis Wired, Julia Greenberg.

Di antara kepelikan ini, COO Facebook Sheryl Sandberg menawarkan solusi: alih-alih fokus membungkam ujaran kebencian dan intoleransi di media sosial, tenggelamkan suara mereka dengan pesan-pesan harapan.

Dengan menggunakan media sosial untuk menyebarluaskan suara mereka yang paham bagaimana organisasi teror ini dijalankan, kata Sandberg, kita bisa membalik narasi yang tengah berkembang. Strategi ini telah diujicoba di Jerman. Kelompok masyarakat sipil di sana meluncurkan gerakan yang disebut Sandberg sebagai 'Like Attacks' yang secara masif 'menyerang' sebuah laman Facebook neo-Nazi dengan pesan cinta dan toleransi.

"Kontra-ujaran adalah cara terbaik sejauh ini dalam melawan ujaran kebencian," ujar Sandberg.

Kontra-ujaran ini terbukti tak hanya berhasil dalam melawan ujaran intoleransi dan kebencian. Namun juga tindakan teror. Dua jam selang bom Sarinah meletup, jagad maya Nusantara langsung beralih percakapan pada #KamiTidakTakut. Sebuah hashtag yang mencerminkan kesadaran kolektif virtual yang mewakili ekspresi keberanian dan harapan orang banyak. Dalam sesaat teror bom itu sempat menghadirkan ketakutan dan kesedihan massal -- sesuatu yang menjadi tujuan kelompok teror. Namun dengan segera bangsa kita bangkit menggalang harapan dan keberanian sebagai upaya perlawanan terhadap kelompok teroris.

KONTRA-TERORISME LEWAT KONTRA-NARASI

Oktober 2015 lalu Google bekerjasama dengan Facebook dan Twitter melakukan eksperimen melawan radikalisasi online yang dilancarkan ISIS dan kelompok supremasi kulit putih. Mereka merilis tiga kampanye video berjudul Average Mohamed, ExitUSA, dan Harakat. Video ini menargetkan setiap pengguna Facebook, Youtube, dan Twitter di AS, Inggris dan Pakistan. Lebih dari setengah juta anak muda di 3 negara itu yang pernah mempublikasikan dan mencari konten dengan kata kunci sharia, mujahideen, burqa, Aisha dll, menyaksikan video tersebut.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun