Mari renungkan ini dulu. Mengapa bukan Rupert Murdoch yang mendirikan The Huffington Post? Mengapa raksasa telekomunikasi AT&T tidak membuat Twitter? Mengapa bukan Yellow Pages yang membuat Facebook? Mengapa bukan NBC yang membuat Youtube?
MEMBERI TEMPAT BAGI YANG TAK TERDENGAR
Tahun 2005 Arianna Huffington melobi Arthur Schlesinger Jr, wartawan peraih Pulitzer, untuk menulis di The Huffington Post. Blog keroyokan dari Amerika Serikat yang biasa disebut Huffpo itu baru memulai debutnya.Â
Arianna ingin setiap orang berkontribusi mempublikasikan tulisan di Huffpo, apalagi seorang dengan reputasi besar seperti Arthur. Tapi Arthur malah bertanya, "Apa pula itu blog?".
Sebagai wartawan berusia 89 tahun, Arthur mengaku bisa menggunakan komputer. Namun ia tak tahu apa-apa soal blog. Ia bertanya apakah bisa mengirim tulisan ke Huffpo lewat faksimili.
"Aku tak peduli kau mengirimkan tulisanmu lewat faksimili atau burung merpati. Pokoknya tulisanmu harus ada di Huffpo. Kami ingin mendengar suaramu," kata Arianna kepada Arthur.
Dua minggu kemudian, dari Yalta Arthur mengirimkan tulisannya ke Huffpo saat ia ikut rombongan Presiden George W Bush. Isinya tak hanya reportase, tapi juga analisa dan opini soal Bush yang ia sebut terdelusi atas Konferensi Yalta 1945. Tulisan Arthur menjadi salah satu capaian terpenting bagi Huffpo di masa-masa rintisan.
6 tahun sejak kelahirannya, Huffpo sudah memiliki 12.000 jurnalis warga (citizen journalist), 3.000 kontributor tetap, dan 150 staf. Sedikitnya ada 2 juta tulisan yang dimasukkan setiap bulan. Tahun 2011 raksasa American Online (AOL) mengakuisisi Huffpo dengan nilai $ 315 juta atau Rp 4,4 triliun dan mendudukkan Arianna sebagai Pemimpin Redaksi sekaligus CEO.Â
Setahun kemudian Huffpo menjadi media digital pertama di Amerika Serikat yang meraih Pulitzer sebagai penghargaan tertinggi di bidang jurnalistik. Hingga sekarang Huffpo adalah salah satu media kunci di AS yang berpengaruh besar dalam politik, ekonomi dan sosial.
Di Indonesia, kita punya Kompasiana, blog crowdsourcing kesayangan kita ini. Dengan 300.000 pengguna terdaftar, 700 artikel tayang per hari dan 18 juta pengunjung per bulan, Kompasiana menjadi salah satu media kunci di jagad informasi di negeri ini. Popularitas dan pengaruhnya sudah sampai ke Istana. Berkali-kali pula menjadi sumber informasi pertama peristiwa-peristwa besar di Indonesia.
"Kami memberi tempat bagi mereka yang tak terdengar," ujar Arianna.
Motivasi itulah yang sebenarnya membunuh koran.
DEMOKRASI DAN KEMERDEKAAN ATAS INFORMASI
Pendapat soal akan matinya media cetak (mari sebut saja koran), sudah ada sejak siaran pertama radio mengudara. Ramalan koran dan radio akan mati, muncul sejak siaran televisi masuk rumah.Â
Prediksi koran, radio dan televisi akan mati, dibuat ketika internet lahir. Tapi toh nyatanya sampai awal 2000-an tidak ada satupun dari media di atas yang tutup karena jadi korban disrupsi teknologi. Sehingga saat itu muncul pendapat: kehadiran medium baru di bisnis media tidak akan membunuh medium yang telah ada sebelumnya.
Pendapat ini begitu populer dan diyakini hampir seluruh perusahaan koran di dunia, termasuk Indonesia. Pada Kongres Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) yang saya hadiri di Denpasar 2010 lalu, seorang konsultan media yang diundang penyelenggara dengan yakin mempresentasikan bahwa kue iklan koran akan selalu naik. Tak ada tanda-tanda kematian. Long live newspaper, deh pokoknya! Seratus lebih bos media dari seluruh Indonesia di hadapannya bertepuk tangan.
Awalnya, koran santai saja dengan hadirnya 'kompetitor baru' penyedia konten digital (content provider) di masa awal internet seperti Yahoo! atau Detikcom. Toh perbedaannya hanya soal medium: yang satu di kertas, satu lagi di layar.Â
Cara kerja editorialnya tak jauh-jauh amat, sama-sama content delivery. Ketika berita online tayang lebih cepat, koran bergeming dengan pendapat bahwa konten mereka lebih lengkap, lebih dalam, lebih bisa dipertanggungjawabkan dan lebih dibutuhkan pembaca.
Tanda-tanda kematian itu memang belum tampak. Sampai Web 2.0 lahir.
Istilah Web 2.0 pertamakali diperkenalkan oleh O'Reilly Media tahun 2003 merujuk pada perkembangan teknologi web satu arah menjadi multiarah. Web tak lagi hanya sebatas content delivery. Ia berkembang menjadi medium komunikasi, partisipasi dan kolaborasi massal. Bentuknya adalah media sosial, blog, wiki, forum, video/audio streaming dll.Â
Web 2.0-lah yang menyebabkan semua manusia di dunia ini terkoneksi dan kemudian mampu berkolaborasi menghadirkan hal-hal baru yang mengejutkan.
Web 2.0 adalah implementasi paling nyata atas demokrasi informasi. Setiap orang dengan perangkat komputasi dan sambungan internet memiliki kontrol dan tenaga untuk meningkatkan nilainya masing-masing di ranah informasi. Ia mampu menyelesaikan masalah manusia atas 'tirani informasi' yang sebelumnya dikendalikan oleh penyedia konten: pemerintah dan kantor berita.Â
Orang tak mau lagi terpaku seperti patung dicekoki informasi yang dipilihkan penyedia konten. Setiap orang ingin suaranya didengarkan, mereka ingin 'menjadi ada'. Maka, minimal mereka akan ikut berkomentar atas sebuah berita. Lebih dari itu, mereka bisa menulis berita mereka sendiri dan membuatnya jadi lebih populer daripada berita content provider sekalipun. Media telah masuk dalam era prosumer dimana pembaca tak lagi hanya ingin duduk pasif.
Web 2.0 tak hanya menjadi mesin demokrasi informasi paling masif.Ia juga adalah bentukkemerdekaan kita terhadap informasi serta kekuatan kerumunan berkolaborasi memenuhi kebutuhaan tersebut.Kontrol dan tenaga berpindah dari pemerintah atau korporasi ke tangan kerumunan. Demokrasi ini dijalankan dalam semangat openess (keterbukaan), peering (kebersamaan), sharing (berbagi) dan acting globally (bertindak global).Â
Media digital bukanlah sekedar tren atau entitas baru media. Ia adalah revolusi atas pemenuhan hak-hak dasar manusia dalam informasi. Inilah alasan pertama mengapa media digital membunuh koran: karena ia berhasil menyelesaikan masalah dasar manusia yang sebelumnya tak bisa dipecahkan media tradisional.
Dikatakan Don Tapscott dalam buku international best sellingMacro Wikinomic: Solution For A Connected Planet, 'pembunuhan' atas media tradisional ini terjadi secara sistemik dan mengakar.
Media apakah yang saat ini paling banyak dibaca manusia? Facebook dan Twitter. Keduanya tak punya wartawan.
CARA MEMBACA TAK LAGI SAMA
Masa dimana orang berjalan ke kios dan membeli koran sudah selesai. Berlangganan koran hanya dilakukan oleh Ayah dan kantor kita. Sementara kita sendiri sudah tidak lagi mengetik alamat web berita. Masa-masa berita jadi sesuatu yang dicari sudah usai. Kini, berita yang mencari kita.
"If news is important to me, it will find me".
Darimana anda sehari-hari membaca berita atau membuka tautan? Dari Facebook dan Twitter. Ia tayang di newsfeed dan timeline anda dari kawan-kawan, grup atau fanpage yang anda ikuti. Kemungkinan besar anda membaca tulisan saya di Kompasiana ini berawal dari tautan dari akun media sosial salah seorang kawan. Muncul begitu saja tanpa pernah dicari.
Begitulah adanya berita di era ini. Ia tak hanya harus mendatangi pembaca, tapi juga tak cukup lagi hanya dibaca. Berita harus bisa dibagikan (menjadi viral) dan bisa diinteraksikan (engagement). Semua itu berlangsung dalam jejaring masif serta ekosistem komoditas yang tak berbayar.
Salah kaprah yang amat parah juga terjadi pada media tradisional dalam melakukan diversifikasi atau penganekaragaman produk untuk menjangkau pembaca online. Mereka berpikir dengan mempublikasikan tulisan versi cetak ke versi online lewat website sudah cukup. Tapi kenyataannya pembaca cetak dan pembaca online punya perilaku sangat berbeda.
Dalam tulisan saya berjudul Internet Membuat Makin 'Bodoh', laporan British Library tahun 2008 menyebutkan, pembaca buku dan pembaca digital punya perilaku berbeda. Otak pun bekerja dengan cara berbeda antara membaca buku dan digital.Â
Pembaca digital cenderung tak menyortir, tak konsisten, tak kritis, melompat-lompat dan tak sabar. Rata-rata pembaca online hanya menghabiskan 4 menit untuk sebuah buku elektronik.
Setelah itu melompat ke buku elektronik lain atau internet. 60% pembaca buku elektronik hanya membaca 3 halaman, dan 65% tidak pernah membaca ulang halaman sebelumnya.Â
Sebenarnya, sebut British Library, pembaca online atau digital tidak benar-benar membaca, tapi 'memindai' (scanning/skimming) halaman. Pemindaian inilah yang kita kenal dengan istilah power browse: cepat dan melompat-lompat.
Sialnya lagi, perilaku membaca konten digital ini turut terbawa saat membaca konten cetak. Yang membaca berita koran dari paragrap satu sampai paragrap akhir mungkin hanya kakek atau ayah kita. Sementara kita melakukannya dengan cara 'memindai', persis seperti membaca konten digital.
Dihadapkan pada perubahan perilaku pembaca ini kebanyakan pelaku media tradisional tergagap. Dari kebiasaan membuat laporan panjang dan lengkap, menjadi tulisan yang ringkas dan cepat.Â
tulisan yang ringkas dan cepat itu berpotensi menerobos kaidah dan etika jurnalistik. Namun kalau tulisan berpanjang-panjang tak akan dapat pembaca. Capek bacanya. Sebagai langkah terakhir, mereka melakukan pembelaan bahwa jurnalisme (cetak) mereka adalah yang paling sejati dibandingkan jurnalisme digital. Sambil terus berharap 'jurnalisme sejati' itu bisa mendapatkan traffic.
SMARTPHONE DATANG MENGUBAH PERMAINAN
Tahun 1990-an, surat kabar Jawa Pos mengadopsi ukuran koran spreadsheet 7 kolom. Ukuran ini lebih ringkas ketika dibawa dan dibaca dibandingkan ukuran koran broadsheet 9 kolom yang saat itu mayoritas dipakai di dunia.Â
Kemudian di awal 2000-an, Koran Tempo rilis dengan ukuran berliner 5 kolom yang jauh lebih ringkas dan kecil. Klaimnya sama: lebih bersabat dan memudahkan ketika dibaca. Koran yang sampai saat ini masih saya kelola, Koran Kaltim, juga memakai ukuran berliner ini.
Perlombaan mengecilkan dan memperingkas ukuran jadi salah satu ladang pertempuran bagi media cetak. Masing-masing berlomba menjadi yang lebih ringkas dan lebih bersahabat ketika ditenteng kemana-mana dan tak menyusahkan ketika lembaran dibuka.Â
Pertarungan ini jadi rusak ketika pendatang baru yang benar-benar ringkas dan bersahabat masuk ke area pertempuran. Namanya smart phone dan tablet.
Pendatang baru ini bukan hanya bisa dipergunakan untuk membaca konten. Tapi sekaligus jadi perangkat yang 'melekat tetap' pada manusia untuk berkomunikasi, mendapatkan informasi, menciptakan konten, menonton video, mendengarkan musik, gaya hidup, hobi dan lainnya. One device for all.Â
Semua kontennya gratis. Dengan kehadiran smart phone, perlombaan memperingkas koran jadi tak relevan lagi. Permainannya sudah berubah.
KEHANCURAN MODEL BISNIS LAMA
Sebagai salah satu direksi di sebuah surat kabar, saya merasakan betapa pusingnya mengelola bisnis koran. Pembelanjaan tiap tahun naik: harga kertas, harga tinta, tarif listrik, upah pekerja, biaya operasional, sewa properti, BBM dll. Sementara dari sisi pendapatan terasa meredup: pengiklan memperketat bujet, kue anggaran iklan koran yang makin mengecil, makin sulitnya mendapatkan pelanggan, dll.
70-80% sumber pendapatan rata-rata koran berasal dari periklanan. Sehingga tugas koran bukan hanya membuat produk yang berkualitas bagi pembaca, tapi juga atraktif bagi pengiklan. Turunnya pendapatan atas iklan, berarti hilangnya pekerjaan bagi para wartawan. Model bisnis ini sudah lama mapan di bisnis media tradisional. Di sisi seberang, media digital bukan hanya berhasil merebut pembaca dan pengiklan, tapi sekaligus dioperasikan dengan biaya sangat rendah.
Bob Garfied, penulis buku The Chaos Scenario mengatakan, "Media tradisional baru sebatas mengaku mereka sedang melakukan efisiensi. Tapi sebenarnya mereka sadar bahwa kiamat mereka sudah di depan mata."
Clay Shirky, pengajar media di New York University mengatakan pebisnis media tradisional terus mencari tahu bagaimana model bisnis lama mereka bisa diaplikasikan di internet. "Jawabannya adalah tidak ada. Model bisnis lama mereka sudah hancur. Karena semua masalah yang dulu dihadapi oleh media tradisional seperti persebaran, biaya produksi dan upah, telah diselesaikan oleh media digital."
Sudah nyaris mustahil menciptakan keuntungan dari bisnis media cetak dengan media digital sebagai kompetitor. Alasannya sederhana. Planet ini telah dilingkupi oleh sensor, dan sensor itu bernama manusia.Â
Ketika sebuah peristiwa berlangsung, ia langsung dilaporkan diFacebook, Twitter, blog, Youtube dan lainnya. Tak perlu lagi birokrasi berlapis dan bisa langsung tersebar serta didiskusikan.
"Ketika model bisnis lama sudah hancur, cara yang tepat adalah melakukan kapitalisasi data. Hal yang sama juga berlaku dalam dunia penerbitan," ujar Clark. Hal ini saya jelaskan dalam tulisan Mata Uang Baru Itu Bernama Data.
MEDIA SEBAGAI OPEN PLATFORM: MEMBERI TENAGA PADA PEMBACA
Tahun 2009, The New York Times (NYT), salah satu koran terbesar di AS dihadapkan pada angka-angka yang muram. Oplah turun 3,6% dan penghasilan iklan jatuh 40%. John Landman, Deputy Managing Editor, diberi 'misi suci' untuk reinvent koran mereka di internet.
John segera keluar dari zona nyamannya yakni pendapat bahwa wartawan adalah profesi yang sakral dan superior. Ia membuat sebuah platform yang ditenagai 2 pihak: wartawan top dan pembaca top. Berita yang dipublikasikan oleh wartawan NYT secara online tak hanya bisa dikomentari dan didiskusikan.Â
Namun berita tersebut juga disunting dan dikembangkan berdasarkan hasil diskusi para pembaca. Kualitas dialog itulah yang akhirnya meningkatkan nilai konten.
"Editor menyimak diskusi yang dilakukan pembaca, menarik kesimpulan, lalu menyunting konten kembali. Anda sebagai pembaca bisa mengatakan sebuah paragrap keliru atau tak dipahami orang, lalu anda memperbaikinya," kata John.
NYT berhasil menghadirkan sebuah open platform yang memberi tenaga dan kontrol kepada kerumunan, tanpa kehilangan samasekali kontrol dan tenaga milik mereka. Dengan berbagi tenaga dan kontrol itu artikel-artikel NYT memiliki kualitas tinggi dibanding kantor berita lain.
John mengatakan metode ini adalah ia adopsi dari Wikipedia, ensiklopedia paling besar di planet ini yang dijalankan oleh tenaga dan kontrol kerumunan. Desember 2015 lalu NYT versi online telah memiliki 1 juta pelanggan. NYT berhasil mengubah dirinya dari content creator atau content provider menjadi community builder. Slogan mereka yang 'All The News That's Fit to Print' telah diubah menjadi 'It's All About The Conversation'.
Surat kabar The Guardian's juga telah melangkah lebih jauh dalam mengkonversimedia cetak menjadi media online berbasis open platform. Mereka membuka semua aset data artikel, video dan video dari tahun 1999 kepada publik, dan mengizinkan semua orang melakukan remixing.Â
Emily Bell, Digital Content Director The Guardian's mengatakan, mereka ingin aset data itu digunakan seluas-luasnya dan dipergunakan semua orang di berbagai tempat. Mulai dari Youtube hingga blog, dari media sosial sampai forum. Dari sana mereka bisa menggali sumber-sumber pendapatan baru melalui persebaran aset tersebut.
MASA DEPAN MEDIA CETAK
Di awal tahun 1980-an di masa awal hadirnya personal computer (PC), konsorsium penerbit suratkabar di Amerika Serikat membuat sebuah iklan televisi. Bunyinya begini: "Bayangkan, suatu pagi anda duduk menyeruput kopi, menyalakan komputer dan membaca koran terbaru." Dua dekade kemudian apa yang disebut di iklan itu terjadi, dan hasilnya tidak membuat mereka senang.
Bicara tentang koran akhir-akhir ini cenderung menguras emosi. Desember 2015 lalu kita disuguhi kabar koran sore tertua di Indonesia, Sinar Harapan, tutup per 1 Januari 2016. Wartawan senior Kompas, Bre Redana, menulis artikel Inikah Senjakala Kami yang banyak diperbincangkan.
Dalam masanya, koran telah menghasilkan begitu banyak konten yang mengekspos masalah di masyarakat kita dibanding medium lain, dan menjadi salah satu pilar perubahan sebuah bangsa. Kini mereka dihadapkan pada tantangan mesti bertahan ketika tanda-tanda kehidupan di depan makin redup. Dan solusinya samasekali belum jelas.
Sayangnya, untuk mencari solusi itu para pelaku bisnis koran hanya berkutat pada pertanyaan ini: "Bagaimana cara kita menghasilkan uang dari konten?", atau "Bagaimana cara kita menghasilkan uang dari sebuah produk lama dimana peminatnya terus turun?".
Harusnya, inilah yang mesti mereka pertanyakan: "Apa produk baru yang harus kita buat berdasarkan kompetensi kita?", dan "Apa saja kapabilitas baru di luar sana yang bisa kita gabungkan menjadi sebuah orkestra untuk menghasilkan nilai baru bagi konsumen?".
Namun, industri besar media cetak berdiri di atas paradigma bisnis lama yang akan sangat kesulitan menciptakan hal-hal baru Mereka telah mapan dengan expertise-nya masing-masing dan berada dalam zona nyaman. Sebagai organisasi besar, mereka butuh stabilitas dan cenderung menghindari risiko, termasuk risiko membanting setir ke model bisnis lain. Sebagai gantinya, mereka mengurung diri dalam benteng yang mereka sebut 'jurnalistik yang sejati', sampai benteng itu benar-benar runtuh.
Saat ini koran tengah dalam perburuan atas model bisnis baru dan mendapatkan hati para audiens yang telah bermigrasi ke dunia maya. The New York Times adalah salah satu yang berhasil melaluinya.Â
Namun ia membutuhkan kerelaan besar, yakni menyerahkan atau berbagi kontrol dan tenaga kepada kerumunan. Tidak semua pelaku media rela melakukannya, seperti juga Rupert Murdoch dengan Wall Street Journal-nya. Profesi dan kompetensi wartawan terlanjur dianggap terlalu sakral untuk dibagi. Wartawan melihat dirinya sebagai pendekar di jalur pedang yang diberi misi suci menjaga jurnalistik setia di jalurnya.
EMPAT LANGKAH PENYELAMATAN
Di depan sana bukan hanyaNew Media yang tumbuh begitu subur, namun terompet kiamat bagi koran juga sudah tampak mengambang di horison. Lalu bagaimana cara koran melakukan mereposisi nilai dan model bisnisnya? Setidaknya ada 4 strategi yang patut diperhatikan.
Pertama, cermati perilaku anak muda.
Di tahun 2004 saya pernah menjadi project manager rubrik anak muda di sebuah surat kabar jaringan media nasional. Para pimpinan saya berpendapat bahwa melayani kebutuhan anak muda melalui koran adalah investasi karena mereka adalah pembaca masa depan koran. Tapi saya merasa sangat janggal dengan tugas ini. Karena saya yakin kultur membaca di masa depan tidak akan sama lagi. Dan memang itulah yang sekarang terjadi.
Cara dan kultur anak muda sebagai generasi mendatang tak lagi sama dalam mengonsumsi berita dan informasi. Anak muda tak lagi membaca koran, setidaknya tidak membaca dengan cara lama. Mereka mengonsumsi informasi sebagai komoditas gratis di internet dan mereka temukan dari jejaring pertemanan media sosial. Maka, model bisnis informasi atau berita berbayar tidak akan berhasil untuk generasi selanjutnya.
Kedua, fokus pada niche atau ceruk informasi.
Orang akan bersedia membayar demi nilai unik yang terkandung dalam komoditas. Dan tak ada satu komoditas generik yang cocok bagi semua orang. Lupakan model ragam rubrik seperti yang terdapat di koran yang niatnya untuk melayani semua kalangan. Internet tak akan bekerja seperti itu. Contohlah The Economist yang fokus pada niche informasi seputar ekonomi dan bisnis serta berhasil membangun reputasinya di sana. Saat ini The Economist versi online telah berhasil menghimpun hampir 1 juta pelanggan melampaui majalah Newsweek, dan berhasil membangun preposisinya.
Ketiga, fokus pada user experience.
Tantangan bagi para pengembang di era ini adalah menghadirkan produk mereka di berbagai platform. Orang tak lagi mengakses internet hanya melalui komputer, tapi juga smart device. Para pengguna memiliki perilaku masing-masing ketika menggunakan berbagai perangkat tersebut. Tidak akan sama cara membaca di layar komputer dengan di smart phone.Â
Memuaskan pembaca di berbagai perangkat dengan segala perilaku uniknya (user experience), menjadi tantangan berat berikutnya. Begitu juga dengan tantangan memaksimalkan pengalaman atas konten multimedia di berbagai perangkat itu. Bukan hanya user experience dari sisi pembaca yang mesti diperhatikan, tapi juga pihak pengiklan.
Keempat, media sebagai open platform.
Profesi wartawan tak bisa lagi hanya bertindak sebagai content creator dan media sebagai content provider. Lebih jauh dari itu, mereka sudah harus mewujud sebagai kurator dan kolaborator dalam menghimpun semua potensi yang berada di luar dinding perusahaan untuk bersama-sama menciptakan nilai baru. Seperti yang dilakukan The New York Times atau The Guardian's.
Masa depan informasi berada dalam ekosistem terbuka dimana setiap manusia sanggup memproduksi konten masing-masing: artikel, foto, video. Semua orang adalah 'sensor yang hidup'. Setiap orang dengan kecerdasan dan modal pengetahuannya masing-masing adalah sumberdaya konten bernilai tinggi. Huffpo telah mewujudkan sebuah patron dimana organisasi media era digital dijalankan secara ideal, dan akan makin banyak yang mengikuti model ini.
***
Beberapa tahun lalu, koran The Washington Post membentuk sebuah focus group yang mencaritahu mengapa orang di bawah usia 45 tahun tak mau berlangganan koran harian. Mereka yang mayoritas gemar membaca berita di perangkat digital ini merasa tumpukan koran 'mengacaukan' hidup mereka. "Aku tidak mau tumpukan benda itu (koran) mengacaukan rumahku," kata seorang responden.
Lupakan kertas, mesin, tinta, pelat dan sebagainya. Dari hari ke hari biaya yang dikeluarkan untuk itu tak akan turun.Generasi Y akan jadi generasi terakhir yang (pernah) membaca koran dan sudah jadi penghuni planet digital. Ke depan kita akan melihat makin banyak online content creator mendapatkan Pulitzer dan anugerah jurnalistik. Sekarang kita juga sudah kenal istilah 'Blogger Istana' merujuk pada kebijakan Presiden Jokowi membawa serta 2 orang blogger Kompasiana setiap kunjungan kerja. Profesi social media developer makin panen project untuk mengembangkan reputasi figur atau institusi di jejaring sosial dan mewujudkan transparansi publik.
Nyawa koran di daerah memang akan sedikit lebih panjangkarena mayoritas pendapatannya digantungkan dari iklan atau advertorial pemerintah daerah (Pemda)yang nilainya miliaran per tahun. Koran juga masih mendapat tempat besar di masyarakat daerah karena penetrasi internet yang tidak secepat di kota-kota besar di Pulau Jawa.Â
Namun pertumbuhan penetrasi internet di Indonesia, terutama daerah, adalah kenyataan dan sedang terjadi. Presiden Jokowi telah menggandeng Google mewujudkan Google Loon sebagai penyedia internet di remote area Indonesia. Kebijakan pemerintah juga dengan mudah berubah tergantung rezim. Setelah Pemerintah Pusat melarang Pemda beriklan display di koran, maka pengetatan anggaran iklan advertorial Pemda tinggal tunggu waktu.
Tak ada yang bilang bahwa cara-cara atau jalan keluar menghindari kiamat bagi koran ini mudah ditemukan atau diwujudkan. Dengan model bisnis koran yang telah mapan berabad-abad, besarnya infrastruktur dan mengkristalnya kultur lama, membuat industri ini kesulitan bermanuver. Evolusi dan seleksi alam mengajarkan kita bahwa yang mampu bertahan hidup bukanlah yang tercerdas, terkuat, terlama atau terkaya. Tapi yang paling mampu beradaptasi.Â
Koran akan mati, namun medium akan tetap hidup selamanya. Menghadapi ini, sebagian memilih merengek, sebagian lagi lebih memilih mati sebagai legenda. Tapi sebagian besar akan mati sebagai pecundang. (***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H