Dalam tulisan saya berjudul Internet Membuat Makin 'Bodoh', laporan British Library tahun 2008 menyebutkan, pembaca buku dan pembaca digital punya perilaku berbeda. Otak pun bekerja dengan cara berbeda antara membaca buku dan digital.Â
Pembaca digital cenderung tak menyortir, tak konsisten, tak kritis, melompat-lompat dan tak sabar. Rata-rata pembaca online hanya menghabiskan 4 menit untuk sebuah buku elektronik.
Setelah itu melompat ke buku elektronik lain atau internet. 60% pembaca buku elektronik hanya membaca 3 halaman, dan 65% tidak pernah membaca ulang halaman sebelumnya.Â
Sebenarnya, sebut British Library, pembaca online atau digital tidak benar-benar membaca, tapi 'memindai' (scanning/skimming) halaman. Pemindaian inilah yang kita kenal dengan istilah power browse: cepat dan melompat-lompat.
Sialnya lagi, perilaku membaca konten digital ini turut terbawa saat membaca konten cetak. Yang membaca berita koran dari paragrap satu sampai paragrap akhir mungkin hanya kakek atau ayah kita. Sementara kita melakukannya dengan cara 'memindai', persis seperti membaca konten digital.
Dihadapkan pada perubahan perilaku pembaca ini kebanyakan pelaku media tradisional tergagap. Dari kebiasaan membuat laporan panjang dan lengkap, menjadi tulisan yang ringkas dan cepat.Â
tulisan yang ringkas dan cepat itu berpotensi menerobos kaidah dan etika jurnalistik. Namun kalau tulisan berpanjang-panjang tak akan dapat pembaca. Capek bacanya. Sebagai langkah terakhir, mereka melakukan pembelaan bahwa jurnalisme (cetak) mereka adalah yang paling sejati dibandingkan jurnalisme digital. Sambil terus berharap 'jurnalisme sejati' itu bisa mendapatkan traffic.
SMARTPHONE DATANG MENGUBAH PERMAINAN
Tahun 1990-an, surat kabar Jawa Pos mengadopsi ukuran koran spreadsheet 7 kolom. Ukuran ini lebih ringkas ketika dibawa dan dibaca dibandingkan ukuran koran broadsheet 9 kolom yang saat itu mayoritas dipakai di dunia.Â
Kemudian di awal 2000-an, Koran Tempo rilis dengan ukuran berliner 5 kolom yang jauh lebih ringkas dan kecil. Klaimnya sama: lebih bersabat dan memudahkan ketika dibaca. Koran yang sampai saat ini masih saya kelola, Koran Kaltim, juga memakai ukuran berliner ini.
Perlombaan mengecilkan dan memperingkas ukuran jadi salah satu ladang pertempuran bagi media cetak. Masing-masing berlomba menjadi yang lebih ringkas dan lebih bersahabat ketika ditenteng kemana-mana dan tak menyusahkan ketika lembaran dibuka.Â