Tak banyak persamaan di antara kami. Justru yang paling kukhawatirkan adalah perbedaan yang tajam itu. Bahkan kalimat PERNIKAHAN SEKUFU, seolah momok yang sangat menakutkan. Aku takut kapalku karam di tengah perjalanan. Lalu, kehilangan menjadi pedang tajam yang kemudian menyayat hatiku.
"Aku takut, Bang. Keluargamu tidak menerimaku. Kita bukan dari keluarga yang sederajat."
"Tapi kita dari keluarga yang seiman."
"Kalau ke depannya kita ribut terus, Â gimana? Atau keluargamu terus tidak menyetujui kita, gimana?"
"Kayak anak kecil kamu, Dian. Coba lihat aku ... aku sudah tua, tidak ada orang tua yang tidak siap dengan itu."
Aku diam. Sejuta kembang api merayakan malam tahun baru di kepalaku. Sorak sorai dan dentumannya tercatat sebagai tahun baru perjalananku, dengan pria medan yang manis dan bertubuh atletis ini.
Jika tenggelamku dalam kesunyian begitu penuh hiruk pikuk. Itu adalah renyahnya rasaku pada sosok yang begitu memesona. Rizal zero.
Fin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H