Rizal Zero ... hampir tidak bisa kupercaya dengan kesopanannya. Menilik ia orang mandailing, biasanya suku yang berdarah medan selalu punya watak kasar dan keras. Tapi tidak demikian dengan Rizal. Pria ini sangat manis, sopan, meskipun dingin dan hobi buru-buru. Yang jelas aku tetap suka.
Rasa suka membuatku diam dan takluk walaupun aku sering kesal padanya, seiring dengan itu Ia juga membuatku tersenyum saat mata terpejam.
Aku suka dia ... sungguh, aku sangat suka dia.
Kakiku membawa kembali ke hadapan Bang Rizal. "Ada apa, Bang?"
Ia tersenyum padaku. Sambil merapikan posisi kacamatanya. Nanti antar aku beli kaus sebentar, ya."
Aku mengangguk. Lalu kami pergi melanjutkan perjalanan.
Boulevard kelapa gading dihujani lampu jalan. Terang benderang bagai siang hari. Tak ada manusia sengsara di sana. Semua wajah tampak tertawa menikmati suguhan kemajuan zaman.
Dari restauran kecil-kecilan hingga mall besar berjejer saling melengkapi. Udara kota seperti bukan di negara sendiri yang dalam berita terkenal sebagai negara orang demo. Karena hampir tiap saat ada saja berita warga yang protes terhadap kebijakan pemerintah.
Sesampainya di depan Distro Kaus Bandung, kendaraan kami berhenti. Bang Rizal mengeluarkan lima lembar uang seratus ribuan, kemudian diberikannya padaku.
"Belikan aku kaus, aku tunggu di sini. Aku malu kalo ke dalam. Ya ... kamu pasti ngerti lah."
Tanpa bertanya, kuturuti permintaannya. Kasihan juga ia. Kemeja mahalnya jadi bernoda saos.
Aku pilihkan polo berwarna yang tampak serasi dengan kulitnya. Sedikit susah memang, tapi kurasa setiap pria pasti cocok dengan warna abu atau kemerahan agak tua sedikit.
Sambil menjinjing belanjaan aku menuju parkiran mobil yang letaknya cukup jauh dari gedung distro.
Melihat aku sudah datang, di kejauhan Bang Rizal keluar dari dalam mobil. Aku datang dan menyerahkan kaus pesanannya.