"Mudah-mudahan warnanya cocok, Bang. Aku pilih abu dan merah agak tua sedikit."
"Hmm ... ok gak pa pa. Kemarikan."
Rizal membuka bungkusan tas dari distro. Dilihat olehnya, sepertinya ia suka, lalu menyerahkan bungkusannya kembali padaku.
"Tolong pegangin." Pria itu seketika membuka kemeja dan kaus dalamnya di depanku.
Tampak barisan otot menegangkan di sana. Tubuhnya yang atletis seperti terlatih berolah raga. Tonjolan yang tertata rapi dengan kulit yang halus dan berwarna hangat, membuatku terpana. Tak hendak kupalingkan mataku dari pemandangan yang menakjubkan itu.
Sekali lagi aku menjadi seorang wanita. Yang dapat berdebar saat merasakan hujan hipnotisme rahsa. Memburuku pada oksigen coba kuredupkan, agar 'tak nampak olehnya, kilat di mataku yang berdosa ini.
"Dian ...," tegurnya yang tidak kusadari. "Dian ... Kemarikan kausnya." Kembali ia meminta padaku.
Sejenak telingaku enggan hidup. Yang kudengar hanya hening bersama sosok paling bening.
Bagai bentuk kristal porselen. Tubuhnya terbentuk dengan sangat baik. Lekuk-lekuk ototnya merupakan bukti Tuhan menciptakan kesempurnaan karya seni dengan keindahan. Rizal Zero, selain sifat dan kelakuannya yang menggemaskan. Sosoknya pun tampak menggairahkan.
Tanpa sadar mataku mulai melukis dosa atas nama keindahan.
"Hai ...," bisik Bang Rizal perlahan. Suara bassnya menerobos indra pendengaran. Seketika mencairkan kebekuan aliran darah di tubuhku. Akhirnya neuron-neuron otakku terisi ion kembali, dan kulihat pria berwajah manis itu sudah berada  persis sejengkal dari wajah. Dengan tangan memegang daguku.