Keunikan dan Hidden Agenda Penjabat Kepala Daerah
"Dari Euforia Mutasi Pejabat ASN, Disrupsi Netralitas, Conflict of Interest, dan Potensi Abuse Of Power Jelang Tahapan Pemilu 2024"
Oleh: Hidayatullah
Para pejabat kita memang tak pernah berubah dari karakter ambigu, yang tergopoh-gopoh melakukan sesuatu kebijakan tanpa mempertimbangkan batas kewenangan dan wewenang yang dimiliki, tanpa memprediksi sebuah efek guncangan politik dan instabilitas pemerintahan berpengaruh erat dengan kondisi sosial yang akan ditimbulkan, tanpa mempertimbangkan bahwa konflik sosial ditengah masyarakat maupun pemerintahan itu akan dibiayai dan dirawat oleh masyarakat itu sendiri. Pejabat kita ini nanti sesudah kejadian baru tersadar akan kekeliruan karena tergopoh-gopoh (tergesa-gesa).
Nanti setelah digugat didepan hukum, diprotes dengan aksi massa, terjadi konflik sosial, dilapor sana-sini, didebat secara publik baru terkaget-kaget sibuk klarifikasi sana-sini. Tergopoh-gopoh lagi setelah Presiden marah atau perintahkan hal yang berbeda.
Sama hal dengan para penjabat Kepala Daerah kita ini yang proses kelahirannya bukan karena hasil kedaulatan yang dipilih rakyat tetapi karena pengaturan rezim UU Pilkada yang transisional mengharuskan mengisi kekosongan jabatan Kepala Daerah. Tetapi alam pikiran dan tindakan para Penjabat Kepala Daerah ini seolah-olah dia adalah Kepala Daerah definitif.
Tiba-tiba begitu setelah dilantik bagai ada beban politik langsung ingin merubah kebijakan sebelumnya, revisi ini dan itu, rencana mutasi jabatan ASN? Mendikte dan menekan mental dan moral para pegawai ASN. Memang ada apa dengan mental para Penjabat Kepala Daerah ini?
Lama-lama publik mulai gerah lihat tingkat laku yang grasa-grusu, tergopoh-gopoh ini, dan atas nama kedaulatan dan demokrasi rakyat menggugat balik eksistensi para penjabat Kepala Daerah yang tidak dipilih langsung tetapi lagaknya seperti punya daulat rakyat.
Masa Jabatan yang Sementara dan Wewenang yang Terbatas
Padahal penjabat Kepala Daerah statusnya bersifat sementara dengan kewenangan terbatas dan tidak diberi wewenang maupun kewenangan artibutif oleh Undang-Undang (UU) untuk melakukan mutasi Jabatan-jabatan ASN yang berdampak hukum (civil effec).
Para penjabat Kepala Daerah kita ini dengan jabatan sementara tetapi durasi waktu yang panjang bisa sampai satu dan dua tahun lebih. Kita bisa lihat pengaturan rentang waktunya dalam Pasal 201 ayat (9) UU 10 Tahun 2016 Perubahan Kedua UU Pilkada menyebutkan untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 dan 2023, maka diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota. Berlaku sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada 2024 mendatang.
Maka secara singkat, penjabat Kepala Daerah merupakan seorang yang mengisi posisi sementara kepala daerah selama masa transisi. Sampai kembali terpilihnya Kepala Daerah yang baru secara sah dan konstitusional melalui pemilihan langsung oleh rakyat (Pilkada).
Penjabat Kepala Daerah dari aspek hukum ketatanegaraan maupun administrasi pemerintahan tidak memiliki wewenang dan kewenangan secara atributif yang diberikan langsung oleh UU baik UU yang bersifat lex generalis (UU Pemda) apalagi yang bersifat lex spesialis (UU Pilkada). Hanya saja pengangkatannya yang ditunjuk atas usulan yang diatur dalam UU Pemda berdasarkan keadaan yang diatur dalam UU Pilkada perubahan kedua (UU No. 10 Tahun 2016).
Maka tidak ada wewenang dan kewenangan pemerintahan yang secara terang termuat diberikan atas atributif oleh UU, kecuali atribusi pimpinan diatasnya yang memberikan mandat bertugas untuk menjalankan tugas sementara sebagai penjabat Kepala Daerah yang biasanya termuat dalam surat keputusan pengangkatan dan surat-surat susulan dalam bentuk edaran dan petunjuk.
Olehnya itu, penjabat Kepala Daerah hanya dikenal mengisi kekosongan jabatan yang kewenangannya dijalankan atas "Mandatori" (menjalankan mandat) atau yang diberi izin melaksanakan kewenangan yang berdampak hukum dari pemberi kewenangan yaitu Mendagri untuk penjabat Bupati dan Walikota dan penjabat Gubernur oleh Presiden.
Maka tidaklah tepat "penjabat" disebut "Pejabat" karena "penjabat" hanya mengisi kekosongan "Pejabat". Tapi uniknya terdapat penjabat Kepala Daerah (contoh ada di Sultra), yang pada atribut baju dinas lapangan tertulis BUPATI padahal dia bukan BUPATI tetapi penjabat BUPATI, maka harusnya atribut itu tertulis penjabat (Pj) Bupati.
Sehingga kalau ada penjabat Gubernur atau penjabat Bupati atau penjabat Walikota menyatakan diri dia adalah Gubernur, dia adalah Bupati dan dia adalah Walikota maka dia disebut Gubernur PALSU, Bupati PALSU dan Walikota PALSU. Sebab jabatan dengan sebutan GUBERNUR, BUPATI dan WALIKOTA itu disematkan dalam konstitusi UUD NRI 1945 dan UU dibawahnya yang bersifat lex spesialis dimana mereka diangkat atas nama kedaulatan rakyat yang dipilih secara demokratis dalam Pilkada bukan ditunjuk seperti penjabat Kepala Daerah.
Keunikan Pola Tingkah Penjabat Kepala Daerah
Keunikan lainnya, para penjabat Kepala Daerah soal keprotokoleran salah satu penjabat Bupati dengan pengawalan super ketat (pengawalan voorijder muka-belakang), nampak dua kali lipat dari pengawalan Bupati definitif. Ada juga Penjabat Bupati yang memakai atribut baju warna menyolok yang sama dengan warna salah satu partai politik, tetapi karena adanya protes warga masyarakat entah mengapa baliho tersebut saat ini sudah di cabut.
Tak kalah dari lainnya, adapula penjabat Kepala Daerah begitu habis dilantik langsung launching dengan tagline yang akronimnya identik sama dengan salah satu tagline Partai Politik. Uniknya tagline ini menjadi sebuah ajakan, seruan, dan imbauan untuk bekerja seolah-olah penjabat itu memiliki visi-misi sendiri atau apa sebenarnya targetnya. Karena apapun dalihnya itu adalah simbol-simbol yang mengarah kepada sikap keberpihakan politik. Lain soal apabila tagline itu lebih duluan sebagai ide gagasan oleh penjabat Kepala Daerah dan kemudian partai politik mengikut tagline itu, maka tentu branding-nya atau hak ciptanya milik ide dan gagasan penjabat. Tetapi kenyataannya tagline itu jauh sejak Pemilu 2019 lalu adalah milik partai politik tertentu sebagai branding image dalam konsolidasinya.
Keunikan dan polah tingkah yang sarat makna politis penjabat Kepala Daerah diatas itu tidak menyadari bahwa sesuai PKPU No. 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilu 2024 sedang sementara berjalan dimulai sejak 14 Juni 2022 lalu, yang berarti menurut UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dalam Pasal 283 ayat (1) dan ayat (2) adanya larangan yang berupa ajakan, seruan, imbaun yang dapat menguntungkan salah satu peserta Pemilu. Para penjabat Kepala Daerah tidak menyadari justru salah satu tugas utamanya adalah menfasilitasi penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada serentak nasional ditahun 2024.
Belum lagi saat ini telah ada Surat Keputusan Bersama (SKB) 5 Kementerian dan Lembaga yakni MenpanRB, Mendagri, BKN, KASN dan BAWASLU ditandatangani bersama tanggal 22 September 2022 di Kantor KemenPANRB tentang pedoman pembinaan dan pengawasan netralitas pegawai ASN dalam penyelenggaraan Pemilu yang pada pokoknya seluruh pegawai ASN wajib menjaga netralitas dalam menyikapi situasi politik dan tidak terpengaruh atau mempengaruhi pihak lain untuk melakukan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan atau ketidaknetralan.
Kenyataan dilapangan seolah-olah tidak ada tahapan Pemilu 2024 yang sedang berjalan dan SKB tersebut hanyalah angin lalu. Sehingga menimbulkan kecurigaan para akademisi, praktisi hukum dan politik serta kalangan civil society (prodemokrasi) mencium aroma busuk dari agenda rahasia (hidden agenda) atau praktek yang diduga ada pesanan politik tertentu dengan cara invisible hand dalam aspek kepegawaian dengan rencana mutasi (pergeseran) pejabat-pejabat ASN di daerah.
Hidden Agenda
Agar nampak profesional dengan pendekatan akademis dengan alih-alih melahirkan kebijakan seperti assessment (uji kompetensi). Entah seperti apa hasilnya nanti kita tunggu dari hasil kerja tim seperti apa rekomendasinya.
Hanya saja kebijakan dadakan seolah-olah keadaan darurat lahir kebijkan assessment itu untuk tujuan apa? merubah apa? kepentingan apa? apakah soal adagium the right man, in the right place, in the right choice, in the right time (orang yang tepat, di tempat yang tepat, di pilihan yang tepat, di waktu yang tepat)?
Pertanyaannya adalah, apakah para penjabat Kepala Daerah ini dipilih karena adagium itu? Jawabannya tentu tidak. Aib ini tercium publik karena penjabat Kepala Daerah dipilih tidak murni karena memenuhi kepangkatan dan golongan sebagai pejabat tinggi karier sebagai pegawai ASN. Tetapi karena lobby politik melalui elit partai politik yang mempunyai pengaruh di kekuasaan.
Mereka menerobos aib dalam birokrasi yang secara integritas dituntut netral dan dilarang berpolitik dalam keadaan apapun, dikecualikan mundur dari ASN apabila ingin berpolitik praktis. Tetapi kenyataannya minta direkomendasikan dengan jalur partai politik di DPRD, menggunakan tangan-tangan petinggi partai politik untuk mempengaruhi pimpinan yang juga jabatannya adalah jabatan politik yang diperolah dengan jalan politik.
Hasilnya, jabatan penjabat Kepala Daerah yang diemban itu semula adalah jabatan promosi karier birokrasi menjelma menjadi jabatan yang  bersifat politis bukan murni karena karier dan prestasi sebagai pegawai ASN. Lalu disaat yang sama dibebani tanggungjawab untuk bekerja secara netral dan profesional tanpa beban politik.
Apakah penjabat Kepala Daerah ini sanggup memilkul beban itu? tentu tidak, karena beban politik itu berat sehingga mencari cara bagaimana merekrut sejumlah aparat pada jabatan-jabatan pegawai ASN untuk bersama-sama agar dapat diajak bekerja-sama untuk tujuan tunduk dan patuh menjalankan agenda yang ada dialam pikiran penjabat Kepala Daerah demi perpanjangan jabatan dan target politik tertentu di masa transisi ini untuk tujuan politik pada pagelaran Pemilu dan Pilkada serentak nasional di  tahun 2024.
Ketergopoh-gopohan paska pelantikan sebagai penjabat Kepala Daerah dengan melakukan serangkaian uji kompetensi (assessment) pegawai/pejabat ASN daerah  dengan mengangkangi kewenangan yang terbatas. Padahal jelas dalam aturan bahwa uji kompetensi misal eselon II (Kepala Dinas/Kepala Badan), harus melalui izin rekomendasi Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) sebelum dilakukan uji kompetensi.
Apakah telah ada izin rekomendasi dari KASN? Bukankah hasil rekomendasi uji kompetensi itu untuk memutasi (geser-menggeser) penjabat ASN? Apakah sudah mendapat izin dari Mendagri? Apakah izin Mendagri itu dibenarkan dalam kewenangan yang dibatasi dalam UU dan sejumlah beleid kepegawaian?
Sementara itu, fakta dilapangan pegawai ASN didaerah saat ini dibuat kocar-kacir, bekerja seolah-olah mesin pengering, terjadi kegaduhan sistem bekerja yang tidak menciptkan keteduhan dan kenyamanan karena ancaman mutasi ASN dengan taktik culas berpola asessment atau seleksi uji kompetensi. Bagaimana tidak gaduh dan kocar-kacir diluar target kerja yang telah terukur dan terprogram sebelumnya dan setelah berganti kepemimpinan dengan hadirnya penjabat Kepala Daerah yang membuat kebijakan baru dan dadakan ditambah lagi memasuki akhir tahun menjadikan momok penjabat Kepala Daerah menjadi memuakkan dengan sejumlah kesewenangan. Â
Dipihak lain ada entitas tertentu baik entitas politik, entitas alumni yang sama, entitas paguyupan studi atau adat, atau ASN yang merasa tidak kebagian kue jabatan dimasa sebelumnya, tiba-tiba muncul dengan  sumringah bagaikan gladiator peneror seolah-olah dengan hadirnya penjabat Kepala Daerah dapat meneror sesuka hati para ASN lainnya. Kalau ada problem "sedikit-sedikit akan lapor Pj" menurut pengakuan salah seorang ASN yang pernah terintimidasi.
Memang siapa sih penjabat Kepala daerah ini harus menjadi sosok menyeramkan? penjabat Kepala Daerah itu bukanlah sosok yang harus ditakuti. Mereka ini kalau dianalogikan memang secara fisik bagaikan "singa betina" tetapi tanpa taring dan terbelenggu rantai mulai leher, keempat kaki terikat rantai yang kuat. Bisa mengaung tetapi tidak bisa menerkam apalagi sparing partner. Begitu mudahnya penjabat Kepala Daerah ini di copot ditengah jalan hanya dengan secarik kertas dari Mendagri apabila sedikit membuat kesalahan fatal.
Pun tim penguji assessment yang dibentuk terdapat beberapa orang diambil dari luar daerah (pejabat ASN Pusat) yang secara kompentensi sebenarnya tersedia pejabat penilai ini dari stok para akademisi lokal maupun widyaiswara di daerah. Tentu, tidak bisa dielakkan terjadi pemborosan dan tidak efisiennya anggaran pada aspek pembiayaan transportasi maupun akomoasi selama tim pusat itu berada daerah. Anggarannya dari mana ? apakah itu tersedia dalam APBD? jangan-jangan membebani Sekda dan Kepala BPKAD atau Kepala BKPSDM untuk comot sana-sini anggaran.
Bukankah itu kebijakan baru (tiba-tiba) tanpa melalui usulan program dan anggaran tahun berjalan? dari mana Penjabat Kepala Daerah memperoleh pos anggaran biaya (APBD) untuk assessment dengan mengadirkan tim uji kompetensi dari luar (Pempus). Inilah yang disebut kebijakan yang cenderung kolutif dan nepotisme yang berpotensi membuka peluang terjadinya korupsi akibat sebuah kebijkan tidak terukur, tidak memiliki kepastian hukum dan tidak berdasarkan program terencana.
Bagaimana dengan Aspek Kewenangan, Aspek Prosedur, dan Aspek Substansi lahirnya Kebijakan Assessment
Bahwa tindakan Penjabat Kepala Daerah yang menerbitkan keputusan pembentukan tim assessment untuk uji kompetensi jabatan ASN daerah apakah sesuai dengan Asas Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) yang dimaksud dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yakni kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, kepentingan umum, dan pelayanan yang baik.Â
Lalu keputusan pembentukan tim assessment untuk uji kompetensi jabatan ASN daerah tidak bertentangan dan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan memperhatikan 3 (tiga) aspek, yaitu aspek kewenangan, aspek prosedur maupun aspek substansi.
Aspek Kewenangan ini berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki Penjabat Kepala Daerah dalam melahirkan kebijkan assesment didasarkan kepada kewenangan apakah mandiri, terikat (gebonden beshikking) atau karena perintah atau telah mendapatkan izin dari Mendagri atau mendapatkan rekomendasi KASN.
Aspek Prosedur berkaitan bahwa prosedur penerbitan kebijakan assesment telah dilakukan sesuai dengan peraturan Perundang-undangan berlaku dan dibuka secara transparan sebagaimana tuntutan keterbukaan informasi publik.
Aspek substansi berkaitan apakah penjabat Kepala daerah dalam menerbitkan kebijakan assessment telah memperhatikan aspek substansi pembentukan suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan alasan hukum.
Maka publik secara umum dan khusus para ASN bertanya apakah kebijakan assessment pejabat ASN daerah oleh kebijkan dadakan dari Penjabat Kepala daerah dan nantinya berimplikasi kepada lahirnya rekomendasi mutasi (geser dan pergantian) para pejabat ASN ini benar dan sungguh-sungguh sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik? yang dijadikan dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa?, sehingga penyelenggaraan pemerintahan didaerah menjadi baik, sopan, adil, terhormat dan bebas dari kezaliman, bebas dari prilaku KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), pelanggaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang serta tindakan sewenang-wenang.
What Really Happened?
Memang apa sebenarnya yang terjadi? seolah-olah penjabat Kepala Daerah ini seperti punya beban politik dan nampak seperti habis berkompetisi dan merasa menang. Nampak kelihatan ada dendam politik yang ingin menganulir bagian-bagian produk kebijakan sebelumnya dengan kesan yang getol ingin perombakan struktural dan aspek-aspek personil pada organ-organ kepegawaian di daerah.
Padahal jelas dan tegas pesan Menteri Dalam Negeri disampaikan kepada para penjabat Kepala Daerah agar bekerja dengan menjaga netralitas, profesionalitas, dan tidak memiliki beban politik sedikitpun karena tidak berkompetisi layaknya Kepala Daerah definitif yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam Pilkada.
Perbuatan Melawan Hukum
Mutasi pejabat ASN oleh Penjabat (Pj) Kepala Daerah yang berdampak hukum (civil effec) adalah Perbuatan Melawan Hukum (PMH) ditegaskan dalam UU 30 Tahun 2104 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 14 ayat 7 mengatur bahwa; "badan atau pejabat pemerintah yang memperoleh wewenang melalui mandat, tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi kepegawaian"
Hal yang sama surat Kepala BKN No. K-26.30/V.100-2/99 tahun 2015, hal penjelasan atas kewenangan Penjabat Kepala Daerah dibidang kepegawaian salah satu pointnya Pj Kepala Daerah tidak memiliki wewenang mengambil atau menetapkan keputusan yang memiliki akibat hukum (civil effec) pada aspek kepegawaian untuk melakukan mutasi pegawai yang berupa pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dalam/dari jabatan ASN.....dst, kecuali setelah mendapat persetujuan tertulis Mendagri.
Terbaru terkait Surat Edaran (SE) Mendagri No. 821/5492/SJ tertanggal 14 September 2022, hal Persetujuan Mendagri kepada Pelaksana tugas/Penjabat/Penjabat sementara Kepala Daerah dalam aspek kepegawaian perangkat daerah, yang saat ini menjadi standar hukum digunakan para Penjabat Kepala Daerah melakukan mutasi kepegawaian daerah.
Padahal SE Mendagri No. 821 itu hanya terbatas 2 (dua) hal, yakni pemberhentian/pemberhentian sementara/penjatuhan sanksi bagi ASN yang melakukan pelanggaran disiplin atau tindaklanjut proses hukum serta mutasi antar daerah dan instansi. Yang mana untuk urusan tersebut tidak perlu lagi izin Mendagri atau tidak perlu mengajukan permohonan persetujuan tertulis.
SE Mendagri No. 821 adalah izin atau persetujuan itu sendiri demi efisiensi dan efektifitas pemerintahan di daerah. Hanya saja SE Mendagri No. 821 bisa jadi dalam implementasinya seperti Supersemar ditahun 1966 yang berakibat pada tindakan melampaui mandat yang diberikan sehingga berakibat penyimpangan dan perbuatan melawan hukum serta penyalahgunaan wewenang "abuse of power".
Posko Pengaduan Layanan Hukum Gratis
Oleh karena itu, para Advokat Prodemokrasi di Kendari membuka Posko Pengaduan dan Layanan Konsultasi Hukum Gratis Bagi Rakyat dan Pegawai ASN yang dirugikan atas kebijkan yang melawan hukum yang dikeluarkan Penjabat Kepala Daerah untuk area wilayah hukum Sulawesi Tenggara.
Atas itikad baik ini banyak pihak yang akan disambangi dalam pendampingan hukum dengan berbagai bentuk laporan/pengaduan seperti; Gugatan hukum pada PTUN, Pengaduan kepada BAWASLU, Laporan kepada Ombudsman, serta Pengaduan kepada KASN.
Termaksud para Advokat yang tergabung dalam Prodemokrasi ini akan melakukan evaluasi publik yang akan disampaikan kepada Presiden, Gubernur, serta Mendagri terkait rekam jejak para Penjabat Kepala Daerah yang berpotensi abuse of power, disrupsi netralitas ASN, dan terdegradasinya profesionalisme yang menciptakan konflik unterst, ketidakpastian hukum, ketidakstabilan pemerintahan, politik dan sosial didaerah.
Demikian.
Bumi anoa, 29 November 2022
Penulis: Praktisi Hukum/Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Sulawesi Tenggara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H