Mohon tunggu...
Hidayatullah
Hidayatullah Mohon Tunggu... Pengacara - Hidayatullahreform

Praktisi Hukum/Alumni Fakultas Hukum UHO

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Keunikan dan Hidden Agenda Penjabat Kepala Daerah

29 November 2022   14:50 Diperbarui: 29 November 2022   15:06 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Maka secara singkat, penjabat Kepala Daerah merupakan seorang yang mengisi posisi sementara kepala daerah selama masa transisi. Sampai kembali terpilihnya Kepala Daerah yang baru secara sah dan konstitusional melalui pemilihan langsung oleh rakyat (Pilkada).

Penjabat Kepala Daerah dari aspek hukum ketatanegaraan maupun administrasi pemerintahan tidak memiliki wewenang dan kewenangan secara atributif yang diberikan langsung oleh UU baik UU yang bersifat lex generalis (UU Pemda) apalagi yang bersifat lex spesialis (UU Pilkada). Hanya saja pengangkatannya yang ditunjuk atas usulan yang diatur dalam UU Pemda berdasarkan keadaan yang diatur dalam UU Pilkada perubahan kedua (UU No. 10 Tahun 2016).

Maka tidak ada wewenang dan kewenangan pemerintahan yang secara terang termuat diberikan atas atributif oleh UU, kecuali atribusi pimpinan diatasnya yang memberikan mandat bertugas untuk menjalankan tugas sementara sebagai penjabat Kepala Daerah yang biasanya termuat dalam surat keputusan pengangkatan dan surat-surat susulan dalam bentuk edaran dan petunjuk.

Olehnya itu, penjabat Kepala Daerah hanya dikenal mengisi kekosongan jabatan yang kewenangannya dijalankan atas "Mandatori" (menjalankan mandat) atau yang diberi izin melaksanakan kewenangan yang berdampak hukum dari pemberi kewenangan yaitu Mendagri untuk penjabat Bupati dan Walikota dan penjabat Gubernur oleh Presiden.

Maka tidaklah tepat "penjabat" disebut "Pejabat" karena "penjabat" hanya mengisi kekosongan "Pejabat". Tapi uniknya terdapat penjabat Kepala Daerah (contoh ada di Sultra), yang pada atribut baju dinas lapangan tertulis BUPATI padahal dia bukan BUPATI tetapi penjabat BUPATI, maka harusnya atribut itu tertulis penjabat (Pj) Bupati.

Sehingga kalau ada penjabat Gubernur atau penjabat Bupati atau penjabat Walikota menyatakan diri dia adalah Gubernur, dia adalah Bupati dan dia adalah Walikota maka dia disebut Gubernur PALSU, Bupati PALSU dan Walikota PALSU. Sebab jabatan dengan sebutan GUBERNUR, BUPATI dan WALIKOTA itu disematkan dalam konstitusi UUD NRI 1945 dan UU dibawahnya yang bersifat lex spesialis dimana mereka diangkat atas nama kedaulatan rakyat yang dipilih secara demokratis dalam Pilkada bukan ditunjuk seperti penjabat Kepala Daerah.

Keunikan Pola Tingkah Penjabat Kepala Daerah

Keunikan lainnya, para penjabat Kepala Daerah soal keprotokoleran salah satu penjabat Bupati dengan pengawalan super ketat (pengawalan voorijder muka-belakang), nampak dua kali lipat dari pengawalan Bupati definitif. Ada juga Penjabat Bupati yang memakai atribut baju warna menyolok yang sama dengan warna salah satu partai politik, tetapi karena adanya protes warga masyarakat entah mengapa baliho tersebut saat ini sudah di cabut.

Tak kalah dari lainnya, adapula penjabat Kepala Daerah begitu habis dilantik langsung launching dengan tagline yang akronimnya identik sama dengan salah satu tagline Partai Politik. Uniknya tagline ini menjadi sebuah ajakan, seruan, dan imbauan untuk bekerja seolah-olah penjabat itu memiliki visi-misi sendiri atau apa sebenarnya targetnya. Karena apapun dalihnya itu adalah simbol-simbol yang mengarah kepada sikap keberpihakan politik. Lain soal apabila tagline itu lebih duluan sebagai ide gagasan oleh penjabat Kepala Daerah dan kemudian partai politik mengikut tagline itu, maka tentu branding-nya atau hak ciptanya milik ide dan gagasan penjabat. Tetapi kenyataannya tagline itu jauh sejak Pemilu 2019 lalu adalah milik partai politik tertentu sebagai branding image dalam konsolidasinya.

Keunikan dan polah tingkah yang sarat makna politis penjabat Kepala Daerah diatas itu tidak menyadari bahwa sesuai PKPU No. 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilu 2024 sedang sementara berjalan dimulai sejak 14 Juni 2022 lalu, yang berarti menurut UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dalam Pasal 283 ayat (1) dan ayat (2) adanya larangan yang berupa ajakan, seruan, imbaun yang dapat menguntungkan salah satu peserta Pemilu. Para penjabat Kepala Daerah tidak menyadari justru salah satu tugas utamanya adalah menfasilitasi penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada serentak nasional ditahun 2024.

Belum lagi saat ini telah ada Surat Keputusan Bersama (SKB) 5 Kementerian dan Lembaga yakni MenpanRB, Mendagri, BKN, KASN dan BAWASLU ditandatangani bersama tanggal 22 September 2022 di Kantor KemenPANRB tentang pedoman pembinaan dan pengawasan netralitas pegawai ASN dalam penyelenggaraan Pemilu yang pada pokoknya seluruh pegawai ASN wajib menjaga netralitas dalam menyikapi situasi politik dan tidak terpengaruh atau mempengaruhi pihak lain untuk melakukan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan atau ketidaknetralan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun